Dia bukan cucu kyai, bukan pula keturunan keluarga pesantren. Namun mendadak ia harus hidup di lingkungan pesantren sebagai istri, cucu dari salah seorang pemilik pesantren.
Hidup Mecca, jungkir balik setelah ditinggal cinta pertamanya dulu. Siapa sangka, pria itu kini kembali, dengan status sebagai suami.
Yuukk, ikuti cerita Mecca dengan segala kisahnya yang dipermainkan oleh semesta. Berpadu dengan keromantisan dari Kenindra, suami sekaligus mantan kekasihnya yang pernah sangat ia benci dulu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yazh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salting Brutal
.
.
.
Di sinilah Mecca sekarang, berada di sebuah ruangan yang sudah disiapkan khusus oleh Eyang sebagai ruang kerjanya. Gedung itu cukup besar dan masih berada di area pesantren. Nantinya, akan ada beberapa santri yang tertarik mengikuti kelas fashion desain. Mereka akan belajar bersama Mecca untuk mengembangkan ide bisnis butik muslimah yang dicetuskan oleh Eyang.
Mecca menyadari, pesantren yang dikelola oleh Eyang Ilyas dan Eyang Prawira adalah pesantren modern. Mereka banyak mengelola dan mengajarkan bisnis kepada para santri. Diharapkan, setelah selesai menimba ilmu di sini, para santri juga sudah mendapatkan bekal pengetahuan bisnis atau wirausaha. Penghasilan dari bisnis-bisnis di sana juga sebagian bisa digunakan untuk meringankan beban biaya pesantren para santri yang tidak mampu melalui program beasiswa. Sebuah sistem yang sangat bijak menurutnya.
"Memangnya di sini ada bisnis apa saja yang Eyang jalankan?" tanya Mecca penasaran, setelah membereskan beberapa barang, dibantu oleh Kenindra.
Ken menghentikan aktivitasnya sejenak. Ia menunjuk sebuah mobil boks besar yang baru saja meninggalkan area pesantren. "Itu salah satunya. Di belakang pesantren ada perkebunan sayur organik yang pemasarannya sudah cukup luas. Eyang Prawira mempunyai akses untuk memasukkan berbagai hasil perkebunan itu ke supermarket-supermarket besar di kota."
Ken melanjutkan penjelasannya dengan antusias. "Terus, besok setiap hari Ahad ada jadwal pengiriman madu ke luar kota juga. Dan masih ada panen buah lokal dan impor di belakang pesantren. Pemasarannya lewat online, jadi begitu buah panen, sudah pasti bisa langsung mendapat konsumen. Cukup banyak, kok, bisnis beliau di sini. Eyang-eyang kita sangat pandai menjalankan bisnis di sini tanpa mengganggu sistem pembelajaran di pesantren. Justru para santri sangat antusias," Ken tersenyum bangga.
Mecca mengangguk-angguk paham, "Eyang mah daun aja bisa dia sulap jadi duit." gumamanya tak heran dengan sepak terjang eyangnya dalam menyusupi dunia bisnis dari berbagai aspek. Kemudian Mecca mulai melangkah menuju pintu keluar.
"Eh, mau ke mana?" tegur Ken, sedikit terkejut.
"Ke kantin. Aku lapar," sahut Mecca sambil terus berjalan.
"Pakai jilbabnya dulu," peringat Ken. Mecca berdecak pelan. Inilah hal yang paling ia anggap merepotkan di sana. Ke mana-mana ia harus memakai jilbab dan pakaian panjang, kecuali saat di rumah saja.
Tanpa aba-aba, Kenindra meraih jilbab Mecca dan mulai membentangkan di kepalanya dengan perlahan, membuat posisi wajah mereka sangat dekat.
Mecca terkesiap. Ia segera tersadar. Tidak boleh dilanjutkan. Ia menarik jilbab pashmina yang Ken pakaikan tadi dan memakainya sendiri asal-asalan, hanya untuk menutupi rambutnya. "Ng-nggak... nggak usah, aku bisa sendiri."
"Aku rapikan. Rambut kamu masih kelihatan," kata Ken lagi. Tangannya sudah hampir menyentuh jilbab Mecca lagi untuk merapikannya. Namun, Mecca dengan cepat menghindar. "Iya, iya, aku bisaaa," gerutu Meca.
Ken hanya menggeleng pelan seraya tertawa kecil. Bukan hanya MEcca yang mendadak gugup, ia pun menjadi salah tingkah dengan kelakuannya tadi. Ken mengikuti Mecca dari belakang.
Mecca jadi kepikiran, bagaimana bisa Ken membuatnya salah tingkah seperti ini? Kemarin bahkan ia masih sangat kesal dengan pria itu.
Di tengah perjalanan menuju kantin, seorang wanita yang kelihatannya seumuran dengan mereka berjalan menghampiri Ken. "Assalamualaikum, Ustaz Arsalan. Afwan, saya mau kasih ini," ucap wanita itu sambil mengulurkan sebuah kotak bekal. Mecca sempat melihat adegan itu, namun ia memilih abai, memutuskan untuk kembali lanjut berjalan, tidak ingin tahu lebih jauh.
"Apa ini?" tanya Ken tanpa menatap wanita itu.
"Itu makan siang, Ustaz. Saya kebetulan memasak banyak tadi," jawabnya dengan suara lembut.
"Lain kali tidak perlu," jawab Ken singkat, datar, dan tanpa ekspresi. Sikapnya cenderung kaku, seperti istilah anak Gen Z, ia mirip kanebo kering. Wanita itu hanya bisa melongoia harus berusaha lebih keras lagi untuk bisa menarik perhatian ustaz populer seantero pesantren Al Qalam itu.
Ken melanjutkan langkahnya untuk mengejar Mecca. Sebelum sampai di kantin, ia terlebih dahulu memberikan kotak bekal itu pada temannya, Zayn, seorang ustaz muda juga di sana. "Zayn, buat kamu."
Zayn sedikit heran, namun tetap menerimanya. "Apaan, Bang? Tumben banget kasih aku hadiah."
"Makan saja. Mubadzir kalau dibuang," jawab Ken, lalu kembali berjalan menghampiri Mecca.
Di meja kantin, Mecca melirik ponselnya yang sudah berdering sejak siang tadi. Ia mengacuhkannya karena memang sedang makan dan juga karena ia malas menjawabnya.
"Nggak mau diangkat?" tanya Ken, ikut menatap layar ponsel Mecca.
"Biar saja. Malas," jawab Mecca. Ia tahu itu Darren yang menelepon sejak tadi. Mecca tidak berniat mendengar penjelasan apa pun darinya. Tidak ada dalam cerita hidupnya untuk balikan dengan mantan. Dan lagi, yang kali ini Mecca hampir dilecehkan secara terang-terangan olehnya.
Lalu, Ken... Bukankah dia juga mantannya? Kenapa Mecca masih saja berhubungan dengannya seperti ini? Ah, ini pengecualian karena Ken mengambil jalur dari 'Yang Mulia' yang sama sekali tidak bisa Mecca bantah.
"Tadi siapa? Istri kamu?" tanya Mecca, mencoba mengalihkan pembicaraan. Entah kenapa pikirannya begitu konyol, tiba-tiba saja terlintas sebuah pikiran kalau perempuan berhijab besar tadi adalah istrinya. padahal tidak mungkin juga istrinya menghampiri dia disaat Mecca sedang bersamanya.
Ahh! tidak. Mecca jadi menebak-nebak, apa Ken ingin menjadikannya istri kedua? Huwaaa....
"Mana? Bukanlah. Yang perempuan tadi?"
"Iya, cewek berjilbab besar tadi."
"Dia ustazah yang mengajar di sini. Aisyah namanya."
"Oh," respons Mecca singkat.
***
Darren tidak ada bosannya terus menghubungi Mecca dengan berbagai cara, sampai menggunakan nomor baru, padahal tidak sekali pun Mecca mengangkatnya. Entah apa yang diinginkannya. Paling hanya permintaan maaf. Mecca terlalu banyak pekerjaan untuk menanggapinya.
"Susu hangat," ucap Ken, meletakkan segelas susu hangat di depan meja Mecca.
Tangan gadis itu masih sibuk dengan pensil dan kertas. Mecca sedang mencoba mencoret-coret papan sketsanya dengan sebuah bentuk baju. "Aku bisa ambil sendiri, kok," sahut Mecca.
"Ada aku yang mau ambilin. Lagian kamu lagi sibuk banget kelihatannya."
Satu tangan Ken bersandar pada meja, tubuhnya sedikit membungkuk untuk melongokkan kepalanya, ingin melihat apa yang sedang Mecca gambar. Oh Tuhan, demi apa pun, ini pose macam apa? Dan kenapa juga jantung Mecca harus mendadak berdebar kencang seperti ini? Apa ia sakit?
"Mmm... bisa tinggalkan aku nggak? Aku nggak bisa konsen bikin sketsanya, nih," ucap Mecca, sedikit gugup.
Kenindra bisa menangkap kegugupan dalam ucapan Mecca. Dia terkekeh pelan kemudian menegakkan kembali tubuhnya. "Maaf kalau udah ganggu kamu. Aku cuma mau pamitan, mau mengajar di pondok putra, mungkin sampai jam sepuluhan. Lampunya nggak ada yang aku matikan, tapi kalau kamu butuh sesuatu, telepon aku saja, ya?"
"Hm," ucap Mecca singkat tanpa berani melihat ke arahnya.
_____
Malam semkain larut. Sudah jam sepuluh lebih. Mecca memang terbiasa sendiri di apartemennya, namun kali ini sendirian di rumah sebesar itu dan di daerah yang di kelilingi oleh pegunungan yang sepi, mendadak ia jadi merinding. Apalagi di daerah seperti itu pasti sering ada tragedi mati lampu.
Sebelum terlalu larut, Mecca memberanikan diri untuk keluar rumah menuju rumah utama yang biasnaya disebut Ndalem oleh para santri, tempat kediaman Umma, Abbah, dan Eyang.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumussalam," sahut Umma, yang keluar bersama Eyang. "Eh, sayang, Mecca. Ada apa?"
Mecca meringis, sudah tidak peduli lagi kalau setelah ini dibilang penakut atau apa. Lebih baik ia melakukan ini daripada terus panik dan ketakutan sendirian di rumah. "Hehehe... Ummi, mmm... Ken, maksud Mecca Mas Kenindra lagi mengajar katanya sampai malam. Terus aku nggak berani di rumah sendirian. Boleh nggak kalau aku menunggu sampai Mas Kenindra pulang di sini?"
Umma tersenyum kemudian mengusap lengan Mecca. "Boleh, sayang. Yuk, masuk."
"Kalau Mecca mengantuk, tidur di kamar Arsalan saja di atas, ya," sahut Eyang. Arsalan adalah nama panggilan Ken di Pesantren, nama lengkapnya adlah Kenindra Delfin Arsalan. Ia tidak dipanggil gus seperti kebanyakan panggilan untuk cucu kyai, hampir semua memanggilnya ustaz Arsalan.
"Mmm... boleh, Eyang?"
"Boleh, Nduk. Kamu sudah capek seharian, pasti mengantuk. Tidur saja sana. Biar Umma yang antar. Nanti Eyang kasih tahu Arsalan," ujar Eyang.
Umma mengantar Mecca ke sebuah kamar yang cukup besar di lantai dua. Begiotu memasuki kamar, Mecca dibuat takjub dengan kamar yang super rapi dan wangi. Di sana, selagi Mecca berisitrahat Umma menceritakan banyak hal tentang Kenindra saat di Kairo dulu, hingga akhirnya Mecca terlelap dengan mudahnya di kamar itu.
Tepat pukul sebelas malam, Kenindra berlari tergesa-gesa menuju rumah utama, menemui Eyang dan Abbahnya di teras. "Assalamu'alaikum Eyang, Abbah, ada yang lihat Mecca nggak? Arsalan cari di rumah kosong..."
"Wa'alaikumussalam. Dia sudah tidur di kamar kamu," jawab Eyang. "Dia ketakutan di rumah sendirian tadi jadi minta untuk menunggu di sini, tapi kelihatannya lelah banget, jadi Eyang suruh tidur di atas."
"Oh, alhamdulillah," Ken Indra menghela napas lega. "Arsalan sudah khawatir saja, Eyang. Tadi pulang ke rumah dia nggak ada. Dia takut gelap soalnya." Ken sudah ingin beranjak masuk ke dalam rumah.
"Dia sudah tidur. Biarkan saja tidur di sini, ya, kasihan sudah nyenyak," Umma menahan Ken. "Lain kali jangan tinggalkan Mecca sendirian kalau malam. Kalau memang dia takut gelap, kamu bilang Abah saja nanti Abah badalin kelas kamu."
"Nggih, Umma Arsalan mau cek saja sebentar, ya," pamit Ken.
"Eh, sayang," tegur Ummi. "Kamu belum juga mengatakan yang sebenarnya pada Mecca?"
Ken terdiam. "Mmm... belum, Umma. Arsalan belum berani berterus terang. Takutnya Mecca kaget dan malah kembali membenci Arsalan. Pelan-pelan saja, ya."
"Tapi dia juga kasihan, kan? Dia terus berpikiran kalau dia merasa bersalah berada di rumah kamu karena kamu sudah beristri, setahu dia, loh. Dia takut dianggap kurang sopan berada serumah dengan suami orang," terang Umma. "Tadi Umma sedikit bercerita sama dia. Pemikirannya ada benarnya juga. Kamu mulai kasih tahu dia pelan-pelan, ya."
"Nggih, Umma, Arsalan akan kasih tahu Mecca secepatnya, ya."
"Iya, Nang. Jangan kelamaan kamu bohongi dia seperti ini. Tidak baik," Eyang ikut menegaskan.
"Nggih, Eyang."
Bersambung.
Mohon maaf kalau ada kesalahan penggunaan kata atau ada typo, kalian koreksi yaaa. Terima kasih.
easy going lah crtanya, menghibur tp gak menjemukan👍👍👍