Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara
ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 6 GALIH SUMBU PENDEK
Galih menggebrak meja. Gelas hampir loncat dari hidupnya.
“Dasar anak tidak tahu diuntung! Sudah bagus aku biayai kuliahmu! Sekarang malah mau berhenti?” bentaknya, urat lehernya menari-nari seperti mau konser tunggal.
Reza menghela napas, lalu mendongak. Matanya berkaca-kaca, menunjukan kalau dia memang seorang pecundang sejati
“Yah... aku lelah... Di rumah aku disiksa...” katanya dramatis, lalu menoleh sedikit ke samping, memastikan lampu ruangan cukup dramatis untuk efek air mata.
“Di kampus aku dihina...” lanjutnya, sekarang dengan nada merengek yang pas di antara korban dan pengkhianat.
“Kenapa sih aku harus kuliah yah? Manusia pecundang kayak aku... nggak pantes kuliah yah...”
Dia menatap Galih, seolah berharap dipeluk.
“Diam kamu!” bentak Galih, suaranya seperti letusan petir di tengah ruangan sempit. Wajahnya merah padam seperti sambal kebanyakan cabai setan.
“Kamu harus tetap kuliah! Kalau tidak kuliah, aku... aku akan menyiksa kamu!” lanjutnya, kali ini dengan ancaman level ortu zaman perang.
Reza meringis kecil. Sekilas tampak takut, padahal dalam hati dia sedang menulis skenario telenovela penuh penderitaan agar mengundang simpati Galih
Di dalam kepala Galih, badai pikiran berkecamuk.
“Kalau anak ini nggak kuliah di tempat yang sama dengan anak-anakku yang lain, maka setengah warisanku bakal diambil Dinas Sosial. Gila, kan?”
“Memang bapakku sialan, udah mati masih aja bikin hidupku ribet. Wasiat goblok macam apa itu? membuatku terpaksa mengkuliahkan anak sialan itu, dan setiap hari aku harus dibenci anak-anakku yang lain"
Galih menggerutu dalam hati, tapi wajahnya tetap sangar.
“Yah!” bentak Vanaya, nyaris seperti alarm kebakaran.“Apa lagi kamu?”
Galih menggeram, pelipisnya berdenyut.
“Aku nggak mau satu kampus sama dia! Aku malu tiap hari dihina!”
“Tidak ada bantahan!” potong Galih galak. “Ini keputusan ayah, bukan voting keluarga!”
“Yah... dia itu bikin malu saja,” gerutu Dimas, nada suaranya penuh jijik. “Aku punya alasan kuat kenapa dulu aku hajar dia!”
“Memangnya apa alasannya?” tanya Galih, nada curiga mulai naik.
“Dia ngintip Ratna di toilet, Yah! Kalau nggak ada aku yang narik, dia mungkin udah mati dipukuli mahasiswa lain!” ucap Dimas, napasnya naik turun seperti habis ikut loba panjat pinang.
Mata Galih langsung menyorot tajam ke arah Reza, seperti laser ultramen
“Benar apa yang dikatakan Dimas?” tanyanya, suara menahan amarah.
Reza terisak, suaranya lirih tapi cukup menusuk.
“Yah... percuma aku membantah. Toh, pada akhirnya aku tetap akan disalahkan ayah.”
Ia menatap Galih dengan mata basah.
“Kenapa ayah nggak bunuh aku aja sih, Yah? Biar selesai semua...”
“Kadang aku kesal sama Tuhan. Kenapa aku masih hidup padahal rasanya aku sudah sekarat?”
“Di kantor polisi aku mau bunuh diri. Tapi anak buah Pak Leon malah mencegah. Mereka bilang, kalau aku mati, aku cuma akan menyusahkan ayah.”
Reza menarik napas berat, penuh sandiwara.
“Walau ayah dan semua orang benci aku... aku nggak pernah bikin ayah susah. Bahkan niat bunuh diri pun aku urungkan... demi ayah.”
“Setiap hari aku dihina, dipanggil pecundang, anak haram... disiksa sampai nyaris mati...”
“Aku heran, kenapa aku nggak mati-mati? Padahal aku pengin...”
“Tapi demi ayah... aku bertahan.”
Suasana hening. Galih terdiam.
Sementara itu, dalam hati Reza tertawa dingin: “Aku harus buat mereka lengah. Jadi lemah adalah jalan tercepat untuk membunuh mereka... pelan-pelan.”
“Dasar pecundang! Kenapa kamu nggak melawan kalau memang nggak salah?!” bentak Dimas dengan suara membakar.
Reza menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya pelan-pelan, dengan mata merah dan nada suara nyaris seperti orang yang sedang mengheningkan cipta mengenang jasa para pahlawan
“Bagaimana aku bisa melawan, Yah... kalau orang yang menjebakku justru kakakku sendiri—Ka Dimas dan Ka Vanaya?” ucap Reza lirih.
Galih melotot, sementara Dimas refleks melangkah maju, tinjunya sudah nyaris melayang.
“Mereka sekongkol sama Toni, anak keluarga Sigit. Mereka permalukan aku di kampus, seolah-olah aku penjahat... padahal aku cuma korban.”
Nada Reza begitu menyayat, seolah ia menanggung beban dunia. Padahal dalam hati ia tersenyum kecil. “Laporan berjalan mulus.”
“Reza, bajingan kau!” bentak Dimas, napas memburu.
“Hentikan, Dimas!” bentak Galih lebih keras, tangannya menahan dada Dimas.
“Yah! Dia itu cabul! Terus memfitnah aku!” pekik Dimas, frustasi karena kalah strategi dari adik yang pura-pura lemah.
“Iya, dia memang mesum, Yah! Setiap hari matanya nempel terus ke Ratna!” sembur Vanaya kesal.
“Mana berani aku ngintip wanita, Yah... Aku ini pecundang,” ucap Reza lirih, pura-pura pasrah.
“Kenyataannya, aku disuruh Ka Vanaya untuk nemenin Ratna ke toilet. Terus... Ratna tiba-tiba robek bajunya sendiri. Lalu Ka Dimas datang, teriak-teriak, manggil mahasiswa lain. Aku dijebak, Yah.”
Reza menarik napas panjang, wajahnya sayu. “Aku sudah biasa dihina, Yah... Tapi yang aku sesalkan, Toni Sigit terus menghina keluarga Baskara—dan Ka Dimas serta Ka Vanaya cuma diam saja.”
“Aku diam bukan karena takut, Yah. Tapi karena aku nggak sanggup dengar nama keluarga kita dicemooh. Kalau aku melawan, si Toni itu pasti akan buka suara... soal siapa dalangnya.”
“Bayangkan, Yah... Kalau itu terbongkar, kehormatan keluarga kita hancur.”
“Dimas... Vanaya!” bentak Galih geram, matanya membelalak.
“Bagus,” pikir Reza. “Dasar sumbu pendek. Dikasih api sedikit aja langsung meledak.”
“Aku tahu kalian benci Reza,” kata Galih dengan suara berat. “Tapi jangan sampai kalian mempermalukan keluarga Baskara sendiri.”
Ia menatap tajam Dimas dan Vanaya.
“Bulan depan, uang jajan kalian aku potong 25 persen. Kalian harus perbaiki kesalahan kalian!”
Galih berdiri tegak, penuh wibawa.
Dimas dan Vanaya terdiam, wajah mereka pucat—antara malu, kaget, dan ingin meledak.
Sementara itu, Reza menunduk. Tapi matanya berkilat licik.
“Bagus, bodoh. Gampang banget disulut emosi,” pikirnya sambil menahan senyum yang hampir bocor di ujung bibirnya.
“Kalian jangan membodohi ayah!” bentak Galih. Tatapannya menusuk seperti pisau dapur dilempar pakai tenaga dendam.
“Lihat Reza itu… pecundang! Jangankan melecehkan wanita, ngelirik aja dia gemetar! Lain kali kalau mau bikin jebakan, bikin yang cerdas sedikit!” semprot Galih tajam.
Dimas dan Vanaya tertunduk. Geram. Tapi kali ini, mereka benar-benar kehabisan peluru.
Reza menunduk lebih dalam, wajahnya penuh luka palsu. Dari luar, dia tampak remuk. Tapi dalam hati...
“Dasar anjing tua...” pikirnya dingin.
“Dia marah… tapi malah nyuruh mereka cari cara jebak yang lebih cerdas. Lucu juga. Mereka pikir menjebakku itu gampang? Tidak semudah itu, Ferguso.”
Sudut bibir Reza nyaris naik. Tapi ia tahan. Belum waktunya. Saat ini, kelemahan adalah senjata paling mematikan.
“Sekarang bubarlah,” ucap Galih tegas.
Dengan langkah gontai, benar-benar seperti pecundang sejati, Reza berjalan menuju kamarnya—kamar kecil di ujung dekat dapur, sejajar dengan kamar para pembantu.
Ironisnya, kamar pembantu bahkan lebih luas dan lebih layak. Kamar Reza hanya sepetak sempit dengan ranjang tua berderit dan dinding yang mengelupas, seperti harga dirinya di rumah itu.
Ia melempar tas ke lantai. Bunyinya seperti beban hidup yang sudah terlalu lama dipikul. Lalu menjatuhkan tubuh ke atas kasur lepek, yang entah sudah berapa tahun tidak diganti. Mungkin sejak zaman Firaun masih masih hidup.
Reza menatap langit-langit kamar. Matanya kosong, tapi pikirannya sibuk.
“Aku lahir bukan untuk jadi pahlawa, aku lahir untuk mengacau, jangan harap hidup kalian akan damai lagi.”
.............
Sementara itu, di kamar Vanaya, Dimas mondar-mandir seperti setrika gosong. Wajahnya penuh amarah.
“Bajingan itu... selalu aja bikin kita naik darah!” geram Vanaya, melempar bantal ke dinding.
Dimas berhenti di depan jendela, menatap pekarangan gelap dengan sorot mata licik.
“Tenang... tunggu tengah malam. Si Rangga sudah siap. Dia akan menyekap Reza di toilet belakang. Kau tahu sendiri, Reza itu paling takut sama tikus.”
“Jadi...?” tanya Vanaya, mulai tertarik.
“Rangga udah masukin tiga ekor tikus ke dalam toilet. Ukurannya... segede bayi kucing,” jawab Dimas dengan puas.
Vanaya bergidik, lalu tertawa kecil. “Bagaimana kalau ayah tahu?”
“Tenang saja. Ayah tadi udah berangkat keluar kota. Paling pulang besok pagi. Malam ini... kita punya kesempatan malam ini”
Mereka saling bertukar pandang, senyum licik menghiasi wajah.