Cinta itu manis, sampai kenyataan datang mengetuk.
Bagi Yuan, Reinan adalah rumah. Bagi Reinan, Yuan adalah alasan untuk tetap kuat. Tapi dunia tak pernah memberi mereka jalan lurus. Dari senyuman manis hingga air mata yang tertahan, keduanya terjebak dalam kisah yang tak pernah mereka rencanakan.
Apakah cinta cukup kuat untuk melawan semua takdir yang berusaha memisahkan mereka? Atau justru mereka harus belajar melepaskan?
Jika bertahan, apakah sepadan dengan luka yang harus mereka tanggung?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jemiiima__, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 26
...Eternal Love...
...•...
...•...
...•...
...•...
...•...
...🌻Happy Reading🌻...
Saran Playlist :
🎵Firdhaus Dior ft En - Divorce In The Republic of Ghana🎵
🎵NIKI - Ocean & Engines🎵
Begitu sampai di apartemen suasana hening sejenak. Reinan menaruh tasnya, sementara Yuan meletakkan kunci di meja. Baru saja ia ingin melepas jaket, ponselnya kembali berdering. Nama 'Mama' tertera jelas di layar.
Reinan menoleh. "Angkat aja. Dari tadi ibu kamu terus nelpon."
Yuan menghela napas pelan, akhirnya menggeser layar dan mengangkat.
"Iya, Ma. Ada apa?"
Suara di seberang terdengar agak kesal. "Kamu kemana saja? Mama sudah hubungi dari kemarin. Ternyata kamu ambil cuti? Kenapa kamu gak bilang ke Hyeri? Hyeri sampai bolak-balik cari kamu."
Yuan melirik sekilas ke arah Reinan yang sedang menuang air minum. Ia menutup wajah dengan tangan, mencoba tetap tenang.
"Ma, aku cuma butuh istirahat sebentar. Hanya dua hari. Urusan kantor ada Taesung yang handle."
Ibunya menghela napas berat. "Yuan, kamu tahu Hyeri baru mulai kerja. Dia masih banyak yang perlu dibimbing, dia sudah tanya-tanya kamu berkali-kali. Jangan seenaknya pergi tanpa bilang."
Reinan yang mendengar samar-samar nama "Hyeri" menegang. Gelas yang dipegangnya hampir saja tergelincir. Ia berpura-pura sibuk minum, tapi telinganya menangkap jelas nada suara ibu Yuan yang menekankan nama itu.
"Ma, aku capek. Nanti aja kita bicara lagi, ya." Yuan akhirnya menutup telepon, meletakkannya di meja dengan sedikit kasar.
Hening sejenak.
Reinan tidak bertanya, tapi sorot matanya cukup memberi tanda kalau ia menyimpan sesuatu. Yuan tersenyum samar, mencoba mencairkan.
"Kamu haus? Sini, aku ambilin air lagi."
Tapi hatinya sendiri terasa berat. Dan tanpa sadar, retakan kecil mulai terbentuk di antara mereka.
Malam itu apartemen terasa berbeda. Biasanya setelah pulang dari perjalanan, Reinan dan Yuan akan bercanda kecil atau sekadar menonton film bersama sebelum tidur. Tapi kali ini, yang terdengar hanya suara hujan tipis di luar jendela.
Reinan berbaring miring di sisi ranjang, memunggungi Yuan. Ia tidak mengatakan apa-apa sejak telepon tadi, tapi sikapnya cukup jelas. Matanya menatap kosong ke arah tirai, sementara tangannya menggenggam selimut erat-erat.
Yuan duduk di sisi ranjang, menatap punggung Reinan dengan gelisah.
"Reinan..." suaranya pelan, ragu. "Kamu marah?"
Tidak ada jawaban. Hanya desahan napas yang berat.
Yuan menghela napas, kemudian berbaring di belakang Reinan. Tangannya terulur, mencoba meraih pinggangnya, tapi Reinan bergeser sedikit, memberi jarak. Gerakan kecil itu terasa jauh lebih menyakitkan daripada kata-kata.
"Jangan terlalu dipikirin kata-kata Mama tadi," Yuan mencoba menenangkan, meski nadanya sendiri terdengar goyah. "Aku cuma pengen habiskan waktu sama kamu. Gak ada hubungannya sama Hyeri atau siapa pun."
Reinan tetap diam. Matanya memanas, tapi ia menahan air mata. Ada sesuatu di dadanya yang sesak campuran antara takut, cemburu, dan rasa tidak aman.
Suasana makin hening. Akhirnya Yuan hanya bisa menatap punggungnya, lalu bergumam lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
"Aku nggak mau kehilangan kamu..."
Tapi malam itu berakhir tanpa kehangatan, hanya keheningan yang menusuk.
...****************...
Suasana kantor pagi itu cukup ramai, beberapa karyawan berkumpul di pantry sambil bercanda sebelum kembali bekerja. Reinan baru saja duduk di mejanya, mencoba fokus membuka laptop, ketika suara langkah hak tinggi terdengar semakin dekat.
"Baek Yuan!" suara ceria Hyeri menggema, langsung menarik perhatian beberapa orang di sekitar.
Reinan otomatis menoleh. Dilihatnya Hyeri dengan senyum lebar berjalan ke arah Yuan yang baru saja keluar dari ruang rapat. Tanpa ragu, Hyeri meraih lengan Yuan seolah sudah terbiasa.
"Kebetulan banget. Aku bawa kopi favorit kamu, masih hangat." Ia menyodorkan gelas kertas dengan wajah penuh perhatian.
Beberapa karyawan langsung saling pandang, berbisik-bisik, ada yang bahkan tersenyum menggoda. Gosip tentang kedekatan mereka seakan mendapat bahan bakar baru.
Yuan terlihat canggung. Ia menerima kopi itu dengan senyum tipis. "Terima kasih, Hyeri... tapi lain kali nggak usah repot-repot."
"Oh, nggak repot kok! Aku seneng bisa bantu kamu. Lagian... siapa lagi yang tau kesukaanmu selain aku?" jawab Hyeri, nadanya dibuat seolah menggoda.
Kata-kata itu seperti ditujukan ke semua orang yang mendengar, termasuk ke arah Reinan.
Reinan menunduk cepat, pura-pura sibuk mengetik sesuatu di layar meskipun jari-jarinya berhenti bergerak.
Yuan, yang sadar Reinan ada di situ, sempat menoleh sekilas ke arahnya. Ada rasa bersalah yang sulit disembunyikan, namun ia hanya bisa menarik napas dan mencoba menjaga sikap.
Hyeri masih menempel di samping Yuan, ikut berjalan ketika Yuan hendak kembali ke ruangannya. Ia berbicara tanpa henti, membuat seolah dirinya sudah menjadi bagian penting dari rutinitas Yuan.
Dari meja kerjanya, Reinan menatap punggung mereka berdua yang semakin menjauh. Ada rasa asing yang tumbuh di dadanya antara sakit, marah, dan takut kehilangan, bercampur jadi satu.
Saat itu Reinan masuk pantry untuk membuat kopi. Baru saja menuang air panas, suara tawa kecil terdengar dari pintu. Hyeri masuk bersama Yuan, entah sejak kapan mereka bercanda.
"Yuan, tempo lalu aku udah berkunjung ke rumah kamu. Kata ibuku kapan kamu mau main kerumahku?" Hyeri bertanya sambil menepuk lengan Yuan.
Yuan hanya tersenyum canggung. "Kapan-kapan Hyeri kalo gak sibuk."
Reinan berdiri kaku, tangannya hampir gemetar saat menuang kopi.
'Main ke rumah? Apa waktu Yuan pulang ke rumahnya disitu juga ada Hyeri?' batin Reinan.
Kopi itu jadi terlalu penuh sampai sedikit menetes ke meja. Ia buru-buru membersihkannya, tapi pandangan matanya tak bisa lepas dari bayangan Hyeri yang berdiri begitu dekat dengan Yuan.
Hyeri menoleh, "Oh, Hai Reinan! Kamu di sini? Hehe, aku lagi ngobrol sama Yuan. Mau gabung?"
Reinan memaksakan senyum tipis. "Maaf, saya rasa tidak perlu. Permisi"
Suaranya datar, tapi dadanya terasa sesak.
Saat jam kerja berakhir, Reinan turun lebih dulu, berdiri di lobi pura-pura sibuk dengan ponselnya. Tak lama Yuan keluar lift, tapi di sebelahnya ada Hyeri yang sudah menempel sejak tadi.
"Yuan, kebetulan aku pulang juga. Boleh bareng?" kata Hyeri sambil tersenyum cerah. Suaranya cukup keras hingga beberapa karyawan yang lewat menoleh.
Yuan tampak kaku. Ia sempat melirik ke arah Reinan yang berdiri agak jauh. Reinan menunduk, pura-pura sibuk dengan layar ponsel. Ada sekelibat rasa ingin mendekat, tapi ia tahu kalau itu dilakukan, semua orang pasti bertanya-tanya.
"Ah... aku ada janji dulu," jawab Yuan singkat, mencoba menghindar.
Hyeri menggembungkan pipinya pura-pura kesal. "Yaaah, padahal aku ingin pulang bareng kamu."
Suasana jadi bahan bisik-bisik kecil di antara karyawan yang keluar dari pintu. Reinan hanya bisa menahan napas, seolah menelan gumpalan pahit yang tiba-tiba naik ke tenggorokannya.