Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 25
“Mendingan kamu jangan terlalu baik sama Bella, Hafsah, juga Bu Nurul. Mereka itu cuma pandai manfaatin orang lain. Orang kayak kamu yang terlalu lembut malah gampang dimainin,” ujar Dian sambil meraih lauk di atas meja karena makanan di piringnya tinggal sisa sedikit.
Nisa diam saja. Tidak ada niat menyela, apalagi menanggapi. Baginya percuma. Hanya menambah panjang dosa jika melawan ucapan iparnya itu.
“Mereka itu licik. Apa pun bisa mereka lakukan supaya kepentingannya tercapai. Jadi kamu harus hati-hati,” imbuh Dian sambil terus mengunyah, mulutnya tak berhenti menjelekkan keluarga suaminya sendiri.
Tak ada percakapan lagi setelah itu. Dian kembali fokus menyantap masakan yang sebenarnya khusus dimasak Nisa untuk Azhar, bukan untuknya.
Begitu Dian beranjak pergi dari dapur, Nisa menunduk dan mulai merapikan alat masak serta perabot makan yang baru saja dipakai iparnya itu. Tangannya bergerak pelan, tapi hatinya dipenuhi doa.
“Ya Allah, kenapa segelap itu hatinya Mbak Dian. Padahal Bu Nurul orangnya baik, Bella dan Hafsah juga lembut. Tolong bukakan pintu hatinya agar berhenti berburuk sangka,” gumam Nisa lirih, menahan getir yang menyesak di dadanya.
Setelah pekerjaan beres, ia melangkah menuju kamar. Pintu kamarnya terbuka lebar. Hatinya terlonjak.
“Ya Allah, kerja di rumah suami sekaligus madu sendiri ternyata harus ekstra hati-hati. Rahasia ini nggak boleh sampai terbongkar,” batinnya sembari menutup pintu.
Tapi langkahnya mendadak berhenti. Di atas ranjang, terlihat sosok lelaki yang membuatnya selalu tersenyum bahagia. Azhar Rifki Haris, suaminya selama delapan bulan terakhir, sedang duduk santai sambil memainkan ponselnya.
“Mas kenapa ke sini? Kalau Mbak Dian tahu gimana? Apa Mas nggak takut kalau rahasia kita kebongkar?” ucap Nisa dengan suara pelan sambil celingukan ke arah luar, lalu buru-buru mengunci pintu rapat-rapat.
Azhar mendongak sebentar, lalu tersenyum cuek. “Dian udah tidur. Malah dia minta aku jangan ganggu. Disuruh tidur di kamar tamu. Tapi aku lebih milih di sini, sama istri mudaku.”
Nisa menghela napas lega. Tadi ia sudah cemas setengah mati. Ketakutan kalau tiba-tiba Dian datang dan memergoki mereka.
Begitu ia melangkah mendekat, Azhar spontan menarik pinggangnya. Tubuh mungil Nisa terjatuh tepat ke dada bidang suaminya.
“Mas, astaga!” serunya kaget. Suaranya langsung terhenti karena bibir Azhar sudah menutup rapat mulutnya.
Nisa sempat melawan, tapi akhirnya pasrah. Bibir mereka saling mengunci, semakin dalam, semakin menenggelamkan. Suara isapan terdengar jelas di kamar sederhana itu.
Tangan Azhar merayap masuk ke balik piyama tipis istrinya. Nisa menahan lenguhan kecil yang keluar tanpa sengaja. Malam itu, tujuan awal mereka terlupakan. Mereka larut dalam kebersamaan yang sulit dihentikan.
Beberapa waktu kemudian, usai membersihkan diri, Nisa merias wajah seadanya di depan meja rias. Azhar mendekat dan bertanya, “Sayang, kamu udah tes belum? Hasilnya dua garis kan?”
Nisa manyun. “Belum, gimana mau tes kalau Mas tadi langsung buru-buru minta itu.”
Azhar tertawa kecil, lalu mengusap pipinya. “Maafin aku ya. Kamu itu terlalu memikat, sampai aku lupa niat awal.”
Dengan hati-hati, Nisa mengambil test pack yang disimpan Dianti. “Bismillah, semoga positif,” lirihnya sambil melangkah ke kamar mandi.
Azhar mondar-mandir di depan pintu. Jantungnya berdebar keras, tak sabar menunggu. Doa-doa meluncur dari bibirnya.
Di dalam, Nisa menatap test pack yang perlahan menampilkan garis dua. Air matanya jatuh deras. “Ya Allah, makasih atas rezeki ini.”
Beberapa menit tak ada suara dari dalam. Azhar mengetuk. “Sayang, kamu baik-baik aja? Jangan bikin aku khawatir. Kalau hasilnya negatif pun aku nggak marah, mungkin belum waktunya.”
Pintu akhirnya terbuka. Nisa keluar dengan senyum bercampur tangis, lalu langsung memeluk suaminya erat-erat.
Azhar terkejut. “Ada apa, kenapa kamu nangis gini?” tanyanya panik.
Nisa hanya menyodorkan alat kecil itu ke tangannya.
Azhar melotot, matanya berkaca-kaca. “Allahu Akbar... Masya Allah... Alhamdulillah. Istriku, kita bakal punya anak!” serunya sambil menciumi wajah Nisa bertubi-tubi.
Pelukan mereka semakin erat. Air mata bahagia tumpah tanpa bisa ditahan.
Nisa dengan tangan gemetar menyerahkan testpack itu ke suaminya. Matanya masih berkaca-kaca, senyum bahagia bercampur isak tangis.
“Mas… ini buktinya,” ucapnya lirih, suaranya serak karena menahan tangis.
Azhar menatap benda kecil itu, dua garis merah jelas terpampang. Seketika tubuhnya kaku, matanya membesar. Bibirnya bergetar tanpa bisa berkata-kata.
“Allahu Akbar… Masya Allah…” serunya pecah, lalu ia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Keningnya menempel erat di sajadah, ia sujud syukur dengan suara tersendat.
“Ya Rabb, terima kasih… Engkau kabulkan doaku sebelum aku berangkat jauh. Engkau percayakan aku titipan ini.”
Nisa menutup mulutnya, air matanya semakin deras melihat suaminya sujud begitu khusyuk. Ia ikut berjongkok di sampingnya, mengelus punggungnya.
“Mas… bangun, jangan terlalu lama. Aku ikut sujud juga, kita sama-sama berterima kasih.”
Azhar bangkit, wajahnya basah oleh air mata. Ia meraih wajah Nisa dengan kedua tangannya lalu mengecup kening istrinya.
“Sayang… kita akan punya anak. Doaku terkabul. Aku nggak nyangka Allah kasih hadiah ini sekarang.”
Nisa menyeka pipi suaminya, suaranya bergetar. “Aku juga nggak percaya, Mas. Aku pikir belum waktunya. Tapi Allah baik banget, kasih rezeki ini.”
Azhar kembali menunduk, mengecup perut istrinya yang masih rata. “Nak… kamu dengar suara ayahmu? Terima kasih sudah hadir di rahim ibumu. InsyaAllah, ayah akan jaga kalian berdua.”
Nisa terisak, tangannya menutupi wajah. “Mas… aku bahagia banget. Rasanya semua lelah dan sakitku langsung hilang.”
Azhar memeluknya erat, suaranya parau namun penuh keyakinan. “Aku janji, aku akan selalu ada di sampingmu. Kamu nggak sendirian. Kita jalani ini sama-sama, sampai anak kita lahir dengan selamat.”
Suasana kamar itu penuh tangisan bahagia. Tak ada yang lebih indah bagi mereka selain kabar kecil dari dua garis merah di testpack sederhana itu.
“Mas, akhirnya aku bisa kasih anak dari darah daging kita. Bukan cuma Bilqis dan Berliana, tapi anak kita berdua,” ucap Nisa lirih sambil mengusap perutnya yang mulai membuncit.
Azhar berlutut, mengecup perut istrinya dengan penuh syukur. “Terima kasih, sayang. Ini hadiah paling indah sebelum aku berangkat.”
Malam itu, mereka membaca doa-doa yang dianjurkan untuk ibu hamil. Surah Yusuf, Maryam, doa Nabi Zakariya. Nisa berbaring, sementara Azhar duduk di sampingnya sambil melantunkan ayat-ayat Alquran.
Namun ketika subuh menjelang, Azhar harus kembali ke kamarnya.
Ia memastikan tubuhnya bersih, lalu mengintip ke luar. “Sepertinya aman,” gumamnya.
Baru saja ia memutar knop pintu, sebuah suara menghentikan langkahnya.
“Mas, dari mana? Kenapa jalannya dari arah kamar Nisa? Rambut Mas kok basah, habis keramas subuh-subuh begini?” tanya Dian sambil menyipitkan mata, menatapnya penuh curiga.
Tubuh Azhar seketika kaku. Tangannya gemetar masih menggenggam handel pintu. Jantungnya berdegup keras, takut semua rahasia terbongkar hanya dalam sekejap.
Azhar berlutut di hadapan istrinya, kedua tangannya mengusap lembut perut Nisa yang sudah mulai membuncit. Bibirnya mengecup penuh rasa syukur, lalu ia berbisik pelan.
“Assalamualaikum anakku, semoga kamu tumbuh sehat di dalam rahim ibumu. Semoga Allah menjagamu dari segala keburukan.”
Nisa tersenyum haru. Air matanya tak berhenti mengalir. Ia mengelus kepala suaminya yang masih menempel di perutnya.
“Mas, aku masih nggak percaya kalau aku benar-benar hamil. Rasanya ini hadiah paling indah dalam hidupku.”
Azhar menatap wajah istrinya, kemudian membuka mushaf kecil yang selalu ia bawa. Dengan suara bergetar tapi jelas, ia mulai membaca Surah Maryam.
Setiap ayat yang keluar dari bibirnya terdengar begitu syahdu, memenuhi kamar yang sederhana itu dengan getaran iman.
Nisa ikut menyimak, lalu ia menggantikan membaca Surah Yusuf dengan suara lirih tapi tenang.
“Mas, katanya surah ini bagus dibaca biar anaknya jadi sholeh, ganteng, dan berakhlak baik kayak Nabi Yusuf,” ucap Nisa dengan senyum tipis di sela bacaannya.
“Iya sayang, dan doa Nabi Zakariya juga. Aku ingin anak kita jadi penerus keluarga yang taat sama Allah,” imbuh Azhar sambil kembali merapalkan doa, Rabbi habli min ladunka dzurriyyatan thayyibah, innaka sami’ud-du’a.
Mereka bergantian membaca ayat-ayat suci itu. Kadang Azhar yang memimpin, kadang Nisa yang melanjutkan.
Setelah selesai, Azhar menutup mushaf lalu meletakkan telapak tangannya di perut istrinya, sembari berdoa, “Ya Allah, jadikan anak kami kelak anak yang sholeh, sehat, penyejuk hati, juga pelindung bagi ibunya.”
Nisa menyambung dengan suara terbata, “Dan jangan Kau biarkan aku lemah ya Allah. Kuatkan aku untuk menjaga titipan ini.”
Suasana kamar berubah begitu tenang. Hanya ada isak syukur dan doa yang meluncur tulus dari hati mereka berdua.
Azhar menunduk lagi, mengecup perut istrinya sambil tersenyum. “Kamu tahu nggak sayang, aku itu baru benar-benar merasa lengkap sekarang. Kamu, aku, dan calon bayi kita. Rasanya dunia ini nggak perlu lagi apa-apa selain kalian.”
Nisa memejamkan mata, menggenggam erat tangan suaminya. “Mas, aku janji bakal jaga anak kita sebaik mungkin. Aku mau dia lahir dalam suasana penuh cinta, bukan air mata.”
Azhar mengangguk, lalu meraih wajah Nisa dan menciumnya lembut di kening.
“Insya Allah, kita jalani sama-sama. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu sendirian.”
Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:
Menikah Mantan Istri Sahabatku
Pawang Dokter Impoten
Terjerat Pesona Ustadz Tampan
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor