Janetta Lee, dikhianati saat mengandung, ditinggalkan di jalan hingga kehilangan buah hatinya, dan harus merelakan orang tuanya tewas dalam api yang disulut mantan sang suami—hidupnya hancur dalam sekejap.
Rasa cinta berubah menjadi luka, dan luka menjelma dendam.
Ketika darah terbalas darah, ia justru terjerat ke dalam dunia yang lebih gelap. Penjara bukan akhir kisahnya—seorang mafia, Holdes Shen, menyelamatkannya, dengan syarat: ia harus menjadi istrinya.
Antara cinta yang telah mengkhianati, dendam yang belum terbayar, dan pria berbahaya yang menggenggam hatinya… akankah ia menemukan arti cinta yang sesungguhnya, atau justru terjebak lebih dalam pada neraka yang baru?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linda huang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Malam hari.
Tempat tinggal Janetta, dan kedua orang tuanya.
Malam itu yang telah larut, Janetta telah terlelap, begitu pula dengan kedua orang tuanya yang di kamar sebelah.
Terlihat kepulan asap masuk dari bawah pintu kamarnya, disusul oleh cahaya api yang menyala dari luar jendela.
Janetta yang terbangun segera terbatuk-batuk. Kepalanya terasa pening, matanya perih. Ia melihat asap pekat mulai memenuhi kamarnya.
Dengan panik, Janetta meraih ponselnya dan segera berlari membuka pintu kamar.
Api sudah melahap gorden jendela, menjalar cepat ke sofa, bahkan cahaya merahnya sudah terlihat menembus celah pintu menuju ruang tamu.
“Pa! Ma!” teriak Janetta sambil berlari ke kamar orang tuanya.
Pintu kamar orang tuanya ia dobrak, dan pandangannya langsung menangkap tubuh kedua orang tuanya yang tergeletak pingsan di lantai.
“Pa, Ma!” jeritnya penuh kepanikan. Suaranya parau bercampur tangis.
Dengan tangan gemetar, Janetta segera menekan nomor darurat. “Halo, tolong aku! Rumahku kebakaran, kedua orang tuaku tidak sadarkan diri!” ucapnya terburu-buru, dan menyebutkan alamat rumahnya.
Ia berlari ke lemari, mengambil handuk, lalu merendamnya ke dalam bak hingga basah kuyup. Dengan penuh usaha, ia menutup hidung dan mulut kedua orang tuanya dengan kain itu.
“Pa, bangun! Cepat bangun!” suaranya memecah di tengah gemuruh api dan suara benda yang terbakar.
Namun kepulan asap semakin menebal. Matanya pedih, tenggorokannya terbakar, napasnya semakin sulit. Ia berusaha menahan diri, tetapi tubuhnya mulai melemah.
“Pa… Ma… bangunlah…” tangisnya pecah.
Dengan sisa tenaga, Janetta mengambil kursi dan melemparkannya ke arah jendela. Kaca pecah berderai, asap keluar dari celah itu, dan sedikit udara segar masuk.
“Tolong! Kebakaran! Tolong selamatkan orang tuaku!” teriak Janetta dengan suara serak, berharap ada warga sekitar yang mendengar.
Ia mengguncang tubuh orang tuanya, mencoba membuat mereka sadar, tapi tubuh itu tetap terkulai, tak lagi bergerak.
Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba ponselnya berdering. Nama panggilan di layar membuat hatinya mencelos—Alex.
Dengan tangan gemetar, ia menekan jawab. “Halo…” suaranya parau, terputus oleh batuk.
“Besok ingat datang ke kantor. Kita segera menandatangani surat cerai,” suara Alex terdengar dingin, tanpa sedikit pun rasa peduli.
“Alex!” teriak Janetta dengan sisa tenaga. Air matanya jatuh bercampur keringat dan debu asap. “Tolong selamatkan orang tuaku! Rumah kebakaran! Aku mohon… Aku akan datang besok, aku akan turuti semua keinginanmu. Aku tidak akan menuntut aset darimu. Tapi tolong… selamatkan mereka!” tangis Janetta pecah, memohon dengan segenap jiwa.
Namun suara di seberang begitu menusuk hatinya. “Janetta, jangan berpura-pura lagi. Bukankah tadi kau begitu sombong? Kenapa sekarang menangis seperti anak kecil. Mengenai anakku yang meninggal, aku belum membuat perhitungan denganmu. Datanglah tepat waktu besok, karena aku ingin menikahi Anna,” ucap Alex dengan ketus, lalu memutuskan sambungan telepon tanpa ragu.
“Alex… Alex!” teriak Janetta histeris, ponselnya hampir terlepas dari tangannya. Air matanya jatuh deras, tubuhnya terguncang hebat.
Sementara itu, di hadapannya, kedua orang tuanya masih terbaring tak sadarkan diri, diapit api yang terus menjalar.
“Pa… Ma… jangan tinggalkan aku…” isaknya, menjerit di tengah neraka yang melahap rumahnya.
Dengan sekuat tenaga Janetta berusaha memapah tubuh ibunya yang sudah lemah. Langkahnya goyah, napasnya berat karena asap semakin tebal menyesakkan paru-parunya. Setiap tarikan napas terasa seperti ditusuk pisau.
Namun, tubuhnya tak lagi sanggup menahan beban. Janetta ambruk ke lantai, terjatuh bersama ibunya. Pandangannya berkunang-kunang, udara terasa semakin menipis.
“Tolong… selamatkan orang tuaku…” batin Janetta lirih, sebelum kesadarannya hilang sepenuhnya.
Tak lama kemudian, pintu rumah berhasil didobrak. Beberapa orang masuk, wajah mereka panik diterangi cahaya api yang semakin menjalar. Salah satu dari mereka segera mengangkat tubuh Janetta yang tak sadarkan diri, sementara yang lain bergegas membawa kedua orang tuanya keluar dari rumah yang kini sudah hampir habis dilahap si jago merah.
Rumah sederhana itu tak lagi bisa diselamatkan—api melahapnya sampai rata dengan tanah.
Keesokan harinya.
Di depan kantor, Alex mondar-mandir dengan wajah kesal. Tangannya terus-menerus menatap jam di pergelangan tangan, lalu menggerutu sendiri.
“Sudah pukul sebelas… masih juga tidak datang. Sepertinya dia memang tidak berniat bercerai denganku,” gumamnya dengan wajah mengeras.
Ia segera menghubungi nomor Janetta, namun panggilan hanya berakhir dengan nada mati.
“Berani sekali mematikan ponselnya. Jangan mengira kau bisa menghindar dariku, Janetta. Kali ini, meski kau berlutut dan memohon, aku tidak akan bersikap lembut lagi!” geram Alex, matanya menyipit penuh amarah.
Hospital.
Di koridor rumah sakit, Holdes Shen berdiri dengan wajah dingin. Tatapannya tajam mengarah ke kamar tempat Janetta dirawat. Tangannya bersedekap, seolah tengah menahan emosi yang dalam.
“Bos, pelakunya sudah tertangkap. Dalang utamanya juga sudah terungkap,” lapor Bowie, asistennya, dengan suara hati-hati.
“Tahan pelakunya! Dan mengenai dalang utamanya," ucap Holdes pelan namun tegas. “Biarkan Janetta Lee yang memutuskan apa yang akan terjadi pada mereka.”
Bowie mengangguk. “Baik, Bos. Tapi ada hal lain. Hari ini Alex Yang sedang menunggu di depan kantor. Dia ingin segera bercerai dengan Nona Lee.”
Sekilas, mata Holdes menyipit. Namun suaranya tetap tenang, meski mengandung ketegasan yang tak terbantahkan.
“Sebarkan berita kebakaran itu. Pastikan dalangnya diawasi, jangan sampai ada yang kabur.”
“Bos, apakah kita tidak menyerahkan dalang kebakaran ini ke polisi? Kita sudah punya saksi dan bukti kuat,” tanya Bowie lagi.
Holdes menoleh, sorot matanya dingin. “Menyerahkan ke polisi tidak akan membuat kita puas. Akan lebih puas kalau kita membalas dengan tangan kita sendiri. Tunggu sampai wanita itu sadar. Biar dia yang memutuskan.”
Bowie menunduk hormat. “Baik, Bos.”
Sejenak ia melirik ke arah kamar Janetta. Dalam hatinya, ia bergumam, “Bos begitu perhatian pada Nona Lee… sepertinya dia akan menjadi calon kakak ipar kami.”
Plotwist nya dah di spill meski sedikit, tp gk pp 🤗