Mengetahui kebenaran identitasnya sebagai anak angkat, tak membuat perempuan berumur 18 tahun itu bergeming. Bahkan kematian ibu angkat dan ayah angkat yang mengusirnya dari rumah, tidak membuatnya membenci mereka. Arumi Maharani, gadis lulusan SMA yang dibesarkan di keluarga patriaki itu memilih mencari jati dirinya. “Aku tunanganmu. Maafkan aku yang tidak mengenalimu lebih awal.” Izqian Aksa. Siapa Izkian Aksa? Bagaimana Arumi menjalani kehidupan selanjutnya? Dan akankah pencariannya mendapatkan hasil? Haloo semuanya… ketemu lagi dengan author.. semoga semua pembaca suka dengan karya baru author…
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Meymei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ibu Tiri
Tepat setelah peringatan ke-40 Umi Im, rumah Abi Aji di gemparkan dengan kedatangan Sari dan Adiba yang merupakan istri kedua dan anak dari beliau.
Sebagian seperti Nenek Ifah, Om Yanuar dan Tante Nanik sudah tahu, tetapi yang lain tidak tahu dan mereka menentang keputusan Abi Aji.
“Sari itu istriku dan Adiba anakku. Sudah seharusnya mereka tinggal di sini karena Imamah sudah tiada!” kata Aji menyela adik-adiknya yang sedang berdebat.
“Aku tahu dan tidak akan menentangnya, Mas! Setidaknya lakukan itu ketika kamu sudah mengabarkannya kepada kami. Bukan dengan acara mendadak seperti ini.” kata anak ketiga, Om Rifani.
“Benar, Mas. Apalagi kita ini baru saja selesai memperingati 40 hari kematian istrimu. Tidak bisakah kalian menunggu sampai satu tahun?”
“Apa bedanya 40 hari dengan satu tahun? Mereka sama-sama akan masuk ke dalam rumah ini.” semua orang saling pandang tidak percaya dengan ucapan Abi Aji.
Kakak sulung yang menurut mereka adalah panutan. Kini sedang membuat mereka kehabisan kata-kata karena keputusannya yang egois.
Mereka tidak menampik kenyataan Abi Aji menikah lagi dan mereka juga menerima kenyataan kalau pernikahan yang dilakukan sudah lama. Tetapi untuk masuk ke dalam rumah saat mereka masih dalam keadaan berkabung, tidak bisa mereka terima.
Arumi yang duduk bersama Tante Nanik hanya menundukkan kepalanya karena jika semuanya berkumpul, pendapatnya tidaklah penting.
“Sudahlah! Kalau Aji mau membawanya sekarang atau nanti sama saja. Biarkan dia dengan urusan keluarganya sendiri, kalai jangan ikut campur!” kata Nenek Ifah mencegah perdebatan lebih lanjut.
Om Yanuar yang masih ingin protes, dihentikan Tante Nanik karena beliau tahu protes yang akan dilakukan suaminya akan percuma.
Mau tak mau, mereka semua menerima kehadiran Sari dan Adiba di rumah Abi Aji. Mereka hanya bisa menatap nanar ke arah Arumi yang sedari kedatangan ibu dan anak itu hanya menunduk.
“Kamu harus kuat demi umimu!” bisik Tante Nanik.
Arumi mengangguk dan memaksakan senyumnya. Meskipun ia tidak menduganya sama sekali, setidaknya ia sudah menyiapkan hatinya jika suatu saat kejadian hari ini terjadi.
Hari-hari Arumi berjalan tanpa adanya perubahan, meskipun di rumah sudah ada ibu tiri dan adiknya. Arumi tetap mengerjakan semua pekerjaan rumah, kecuali mencuci pakaian mereka. ia hanya mencuci pakaiannya sendiri karena ia tidak mengambil keranjang kotor yang ada di kamar Abi Aji.
“Arumi!” teriak Adiba dari kamar mandi.
Arumi yang sedang menjemur pakaian, berjalan menghampiri Adiba dan bertanya ada apa.
“Kenapa ini tidak di cuci sekalian?” Arumi melihat keranjang pakaian di tangan Adiba.
“Bukankah biasanya kamu cuci sendiri?”
“Aku sibuk belajar, tidak sempat! Kamu sebagai kakak, seharusnya mencucikannya.”
“Ada apa?” tanya Abi Aji yang juga menghampiri saat mendengar suara Adiba dari teras.
“Ini, Bi! Arumi tidak mencucikan bajuku padahal sudah aku letakkan di kamar mandi.”
“Arumi tidak tahu, Bi.”
“Cuci saja, apa susahnya?” kata Abi Aji yang menatap satar keduanya.
“Arumi sudah selesai mencuci. Biasanya juga Adiba mencuci sendiri.”
“Adiba! Cuci sendiri pakaianmu!” kata Sari yang baru saja bergabung.
“Tapi…”
“Tidak ada tapi! Kalau kamu masih bersikeras, kamu gantikan Arumi mengerjakan pekerjaan rumah.” Adiba menghentakkan kakinya dengan wajah masam.
Sari segera membawa Abi Aji pergi sebelum berkomentar, sedangkan Arumi pergi melanjutkan menjemur pakaiannya.
Adiba yang terpaksa mencuci pakaiannya melakukan pekerjaannya sembari menggerutu. Ia yang berharap bisa bersantai di hari minggu justru harus mencuci.
Arumi mengabaikan Adiba yang masih mengutuk saat mencuci. Ia meletakkan keranjang kembali ke tempatnya dan masuk ke dalam kamarnya. Pekerjaan rumah telah selesai, kini ia hanya perlu belajar karena besok ia sudah mulai ujian.
Di teras, Abi Aji dan Sari yang sedang berbincang, tiba-tiba membahas kuliah anak mereka. Adiba yang menginginkan universitas negeri ternyata tidak di terima sehingga ia harus masuk ke universitas swasta.
“Universitas swasta biaya masuknya lebih mahal, Mas. Bagaimana caramu membaginya?” tanya Sari.
“Membagi apa?”
“Membagi kebutuhan Adiba dan Arumi.”
“Arumi tidak akan kuliah.”
“Kenapa?”
“Dengan tabungan dan gaji yang aku terima sekarang, sulit bagiku untuk membayar uang kuliah dua orang. Biarkan saja Adiba yang kuliah, Arumi tidak.”
“Apa tidak kasihan, Mas?”
“Arumi bukan anakku. Aku tidak merasakan apa-apa.”
“Tapi Arumi sudah kamu besarkan sejak bayi.”
“Imamah yang membesarkannya selama ini.” Tante Nanik yang kebetulan sedang berada di teras Nenek Imah, mendengar percakapan mereka.
Dalam hati, beliau merasa iba dengan Nasib Arumi. Tapi beliau bisa apa? Beliau hanya orang luar yang tidak punya hak ikut campur. Mau membantu pun tidak bisa karena sebentar lagi beliau akan melahirkan.
“Andai kamu masih ada, apa yang akan kamu lakukan saat mendengarnya, Mbak?” gumam Tante Nanik mengingat mendiang Umi Im.
Malam hari, Arumi yang telah menyiapkan makan malam makan lebih dulu sebelum Abi dan keluarga barunya makan bersama. Ia melakukannya karena saat makan bersama mereka, ia seperti orang luar yang tidak berhubungan dengan mereka.
“Makan malam sudah siap, Abi.” Kata Arumi kepada abinya yang sedang bersantai di ruang tamu bersama Sari dan Adiba.
Abi Aji hanya menganggukkan kepalanya tanpa repot-repot mengatakan apapun. Sari yang melihatnya, mengucapkan terima kasih dan mengajak Arumi makan bersama mereka. Tetapi Arumi menolak dan mengatakan dirinya sudah kenyang.
Arumi masuk ke dalam kamar dan mulai belajar. Setelah membaca materi yang sudah ia rangkum, Arumi sudah merasa siap dengan ujiannya besok sehingga sisa waktunya ia gunakan untuk membuka ponselnya.
Ada beberapa pesan masuk dan email di sana. Salah satunya datang dari universitas terbuka dimana ia mendaftarkan diri.
Sebenarnya, beberapa guru yang mengenal dekat Arumi menyayangkan keputusannya yang mendaftar ke universitas terbuka karena dengan nilai dan kepandaiannya bisa masuk ke universitas negeri.
Arumi tidak mendaftar ke sana karena selama ia naik kelas 3 SMA, abinya tidak pernah membahas masalah kuliah dan ia tidak mau membebani uminya sehingga ia hanya bisa berusaha sendiri.
Bisa saja ia menggunakan tabungan yang diberikan uminya, tetapi ia tidak melakukannya karena ia tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya. Dengan adanya keluarga baru, ia sudah menjadi orang lain di rumah abinya.
“Hanya menunggu waktu sampai Abi mengusirku nanti.” Gumam Arumi yang sudah memasrahkan semuanya kepada Allah.