NovelToon NovelToon
Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Wanita Di Atas Ranjang Suamiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:7.2k
Nilai: 5
Nama Author: Shinta Aryanti

Suaminya tidur dengan mantan istrinya, di ranjang mereka. Dan Rania memilih diam. Tapi diamnya Rania adalah hukuman terbesar untuk suaminya. Rania membalas perbuatan sang suami dengan pengkhianatan yang sama, bersama seorang pria yang membuat gairah, harga diri, dan kepercayaan dirinya kembali. Balas dendam menjadi permainan berbahaya antara dendam, gairah, dan penyesalan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shinta Aryanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Luka Yang Terus Menganga...

Rumah itu tak berubah.

Langit - langitnya masih tinggi dan putih, lantainya msih dingin dan mengilap, wangi pengharum ruangan yang lembut masih menggantung di udara. Tapi bagi Rania, rumah itu kini terasa asing. Sepulang dari kampung dengan hati remuk, ia berdiri di ambang pintu seperti tamu di tempat yang dulu ia sebut rumah.

Tak ada Niko.

Tak ada tanya, tak ada peluk hangat, tak ada suara marah atau cemas yang menuntut kenapa ia pergi tanpa kabar. Hanya sepi.

Di dalam rumah, hanya ada suara halus dari sendok dapur yang diputar pembantu di dapur. Ibra terlihat di ruang tengah, duduk sambil menonton video di tablet. Ia menoleh sekilas, tersenyum kecil saat melihat Rania.

"Mama pulang ya," katanya ringan, lalu kembali menunduk, fokus pada tabletnya.

Dan hanya itu.

Tak ada yang mencari. Tak ada yang peduli kenapa Rania menghilang semalaman. Dunia tetap berjalan seperti biasa, meski hatinya porak poranda.

Rania duduk di samping Ibra, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh kecurigaan.

    "Ibra," suaranya lembut namun gemetar.

    "Kemarin... kalian pergi ya? jalan - jalan?"

Ibra mengangguk, antusias.

    "Iya! Ke tempat yang Mama dulu bilang itu loh... yang ada jembatan kacanya, terus ada taman bunga warna warni itu..."

Rania menahan napas. Tempat itu... tempat yang berkali - kali ia minta agar dikunjungi bersama. Tempat yang dulu ia rancang jadi liburan keluarga kecil mereka. Tapi Niko selalu bilang sibuk, atau terlalu jauh.

     "Kalian nginap di sana?" tanyanya pelan.

     "Iya," jawab Ibra sambil mengunyah keripik.

     "Ibra tidur sama siapa semalam?"

     "Sendiri."

Rania menoleh, menatap anak tirinya dengan lembut.

     "Terus... Papa tidur di mana?"

Ibra tiba - tiba terdiam. Matanya menghindar.

Ada jeda panjang.

Kemudian, tubuh kecil itu bangkit.

     "Aku ngantuk, Ma. Mau ke kamar dulu..."

Dan sebelum Rania sempat menahan, Ibra sudah menutup pintu kamarnya. Meninggalkan Rania yang duduk membatu.

Hening. Tapi jawabannya jelas.

Tak ada tempat lain bagi Niko semalam..

Selain satu kamar dengan Wulan.

Napas Rania tercekat. Ia meraih ponsel.

Tangannya gemetar. Ia menekan nama Niko di daftar kontak... suara nada sambung terdengar. Satu... dua... tiga...

Tak diangkat.

Ia menelpon lagi. Kali ini lebih lama. Tapi hasilnya sama.

Hening.

Tangannya terkulai di pangkuan.

Pandangannya menatap lantai kosong yang dingin. Ia merasa seperti bayangan.. tak terlihat, tak dianggap, tak dibutuhkan.

Tiba - tiba, ponselnya bergetar. Bukan darI Niko. Sebuah nomor kantor masuk. Rania mengangkat cepat.

    "Bu Rania?"

    "Ya, saya sendiri."

    "Kami mohon maaf harus mengganggu. Tapi hal ini penting, Bu. Ada masalah besar di kantor. Pak Martin meminta ibu untuk datang secepatnya."

Deg.

Masalah apa lagi? Belum cukupkah hari ini menghancurkannya?

Tapi ia tak bertanya.Ia tak bisa. Hanya menjawab dengan suara pelan, datar:

    "Baik. Saya ke sana sekarang."

Ia menurunkan ponsel perlahan, lalu menatap kosong ke depan.

Dicari... tapi bukan oleh suaminya. Bukan oleh orangtuanya. Bukan pula oleh kakak - kakaknya.

Dicari.. hanya saat dibutuhkan. Saat ada masalah yang perlu diselesaikan. Saat kantor panik dan tak ada yang cukup mampu menangani, barulah ia dianggap penting.

Bukan karena keberadaannya, tapi karena fungsinya.

Seolah - olah seluruh hidupnya hanyalah tentang berguna... bukan dicintai.

Rania memejamkan mata sejenak, mencoba menelan rasa getir yang menggumpal di tenggorokannya. Lalu ia menarik napas panjang, membuangnya perlahan.

Ia bangkit dari sofa. Tak berpamitan pada siapapun. Tak menoleh ke arah kamar suaminya, yang kosong. Atau kamar anaknya, yang tertutup rapat menyimpan kebenaran kecil yang tak berani diucapkan.

Dengan langkah pelan, Rania berjalan keluar rumah.

Langit di atas masih terang, tapi hatinya gelap. Dan di ujung langkahnya.. badai baru sedang menunggu.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...

Rania melangkah masuk ke kantor tempatnya bekerja selama bertahun - tahun, tempat ia memberikan semua dedikasinya. Pada kantornya. Pada mertuanya.

Tapi hari ini, rasanya begitu asing.

Tak ada senyuman. Tak ada sapaan ramah. Tak ada tatapan hangat seperti yang ia harapkan setelah ditelepon dengan nada penuh urgensi tadi.

Tatapan yang diberikan padanya kini kosong, dingin, bahkan beberapa terlihat mencibir.

Ah... jadi begitu.

Tiba - tiba semuanya masuk akal. Nada cemas dan sopan dalam panggilan telepon tadi hanya pemanis.. umpan agar ia mau datang. Bukan karena mereka peduli... tapi karena mereka butuh kambing hitam.

Seorang karyawan yang lumayan senior disitu, berdiri dengan tangan disilangkan. Senyum tipisnya lebih terasa seperti sindiran.

    "Pak Martin menunggu di ruangannya, Bu," ucapnya degan nada nyaris angkuh. Rania mengangguk pelan, mengabaikan nada suaranya. Ia melangkah menuju ruang utama.

Saat pintu dibuka, hatinya sedikit berdebar. Di dalam ruangan itu, duduk Pak Martin, mertuanya, dengan wajah tegang dan rahang mengeras. Di sisi lain, Bu Ayu, Ibu mertuanya, duduk bersilang kaki, dengan ekspresi sinis dan tatapan melengos ke arah jendela. Tak ada senyum. Tak ada pelukan. Tak ada sekedar bertanya "apa kabar".

Hanya dingin. Mencekam.

Namun Rania mencoba menguatkan diri. Ia mendekat dengan sopan, lalu mencium tangan Pak Martin dan Bu Ayu.

    "Maafkan saya, Pa. Kemarin saya pulang ke rumah orangtua, ada keperluan keluarga. Saya..."

    "Cukup," potong Pak Martin, suara beratnya terdengar seperti palu yang memukul meja sidang.

Tanpa berkata apa pun, Pak Martin melempar sebuah map coklat tebal ke atas meja, tepat di hadapan Rania. Bunyi dokumen itu jatuh membuat suasana makin mencekam.

    "Kamu jelaskan ini."

Rania mengernyit, meraih dokumen itu dan membuka lembar demi lembar. Di sana tertera laporan bahwa sebuah perusahaan besar menolak membayar jasa kerja sama mereka dengan nilai fantastis yang bisa membuat keuangan kantor goyah. Rania membaca cepat, memetakan masalah yang dituduhkan padanya.

    "Maaf, tapi ini bukan proyek saya," ucap Rania hati - hati. "Saya ingat betul, ini dikerjakan oleh Aditya dan Ria. Saya hanya diminta membuat surat kontrak, setelah revisi final dikirim oleh mereka berdua."

Bu Ayu mendecih pelan.

   "Jangan lempar - lempar tugas, Rania. Kamu pemimpin mereka, kamu harus bertanggung jawab penuh atas apa yang mereka kerjakan."

   "Saya tidak melempar tanggung jawab, Ma. Tapi saya memang tidak menangani teknis proyek ini. Bahkan mereka tidak mendiskusikan apa pun lagi dengan saya, fungsi saya dalam proyek ini hanya sebagai administrasi."

Pak Martin menatap tajam.

  "Kami tak mau tahu. Hari ini juga kamu datangi perusahaan itu. Jangan pulang sampai kamu bawa tanda tangan pimpinan mereka. Kantor ini tidak bisa rugi hanya kelalaian satu orang."

Rania terdiam.

Ia ingin membela diri lebih jauh. Ingin berkata bahwa semua orang tahu kalau ia tak pernah diajak kompromi apa pun terkait proyek ini, ia dianggap tak ada. Hanya sebagai pembuat surat. Tapi percuma. Mertuanya sudah punya kambing hitam sejak awal. Dan siapa lagi kalau bukan dirinya. Satu - satunya yang mereka ingat... hanya ketika kantor ini butuh diselamatkan.

   "Baik, saya berangkat sekarang."

Tanpa menunggu balasan, Rania mengambil dokumen itu dan melangkah keluar ruangan. Punggungnya terasa dingin, tapi langkahnya tetap tegak. Di luar ruangan, para karyawan kembali melirik... namun bukan dengan hormat. Lebih seperti menonton seseorang yang hendak berjalan masuk ke medan tembak.

Tapi Rania tetap berjalan.

Karena dia tahu tidak ada yang melindunginya. Tidak dari keluarga, tidak dari pekerjaan. Tidak dari suaminya.

(Bersambung)....

1
Halimatus Syadiah
lanjut
Anonymous
buat keluarga Niko hancur,, dan buat anak tirinya kmbali sama ibux,, dan prlihatkn sifat aslix
Simsiim
Ayo up lagi kk
Kinant Kinant
bagus
Halimatus Syadiah
lanjut. ceritanya bagus, tokoh wanita yg kuat gigih namun ada yg dikorban demi orang disekelilingnya yg tak menghargai semua usahanya.
chiara azmi fauziah
kata saya mah pergi aja rania percuma kamu bertahan anak tiri kamu juga hanya pura2 sayang
Lily and Rose: Ah senengnya dapet komentar pertama 🥰… makasih ya udah selalu ngikutin novel author. Dan ikutin terus kisah Rania ya, bakal banyak kejutan - kejutan soalnya 😁😁😁
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!