Irish kembali, membawa dua anak kembar dan luka lama yang telah berubah menjadi kekuatan. Ethan, pria yang dulu mengabaikannya tanpa rasa, kini tak bisa mengalihkan pandangan. Ada yang berbeda dari Irish, keteguhan hatinya, tatapannya, dan terutama... anak-anak itu. Nalurinya berkata mereka adalah anaknya. Tapi setelah semua yang ia lakukan, pantaskah Ethan berharap diberi kesempatan kedua?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 6
Sejak hari saat Hanna pergi bersama Erick mengantar Irish menjemput anak-anaknya, ini adalah pertama kalinya dia datang menemui Irish atas inisiatifnya sendiri.
Selama beberapa hari terakhir, Irish sempat mencoba mendatangi dan menghubungi Hanna, tapi Hanna selalu punya cara untuk menghindar. Kini, saat Hanna muncul di hadapannya, Irish tak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Namun, di balik ekspresi datarnya, Hanna hanya menatap Irish dengan pandangan rumit, lalu perlahan menarik tangannya yang sempat digenggam Irish.
Irish segera menyadari jarak yang terasa di antara mereka. Ia pun melonggarkan genggamannya dan menunduk, tak tahu harus mulai dari mana.
"Ini undangan untuk pesta ulang tahun pernikahan Kak Ethan dan Kak Carisa. Jangan lupa datang," ucap Hanna dengan nada datar, menyerahkan amplop ke arah Irish.
Irish menatap undangan itu sejenak, tapi tidak segera menyambutnya. Sebelumnya, ia memang berencana datang, karena tak ingin mengecewakan Hanna. Tapi kini, melihat Hanna yang tampak enggan menjalin hubungan, bahkan sebagai teman, keinginannya goyah.
Melihat Irish tak mengambil undangan itu, Hanna menghela napas panjang, lalu meletakkannya di atas meja dengan sedikit keras. Dia berbalik, berniat pergi.
Irish sempat melangkah maju, ingin menahannya. Tapi kemudian ragu. Kalau pun dia menahan Hanna, apa yang bisa dikatakannya? Dia tidak ingin mengungkap masa lalunya bersama Ethan kepada siapa pun, termasuk Hanna. Dan jika Hanna bertanya, apakah dia siap menjawab?
Lebih baik membiarkan semuanya berlalu. Toh, tak semua pertemanan harus saling membuka luka lama. Mungkin beberapa hal memang seharusnya dikubur dalam diam.
Namun, saat Hanna hampir mencapai pintu, Irish tak kunjung bergerak. Hanna akhirnya berhenti, lalu berbalik dengan kesal.
"Irish, aku sudah mau pergi, dan kamu bahkan tidak berusaha menahan aku?"
Irish terdiam, tidak menyangka akan pertanyaan itu. "Hah?"
"Jadi temanmu itu melelahkan!" Hanna mendengus, menahan perasaannya yang campur aduk. Awalnya ia memang datang karena ingin menjaga Irish untuk Erick, tapi seiring waktu, ia tahu, dia tulus menganggap Irish sebagai teman.
Namun, semua menjadi rumit karena kehadiran... Ethan.
"Irish, hari itu kamu menggandeng tangan Erick di depan mataku, dan pergi begitu saja. Bahkan kalau kamu tidak mau menjelaskan soal itu, sekarang saat aku pergi, kamu pun membiarkanku begitu saja?"
"Aku..." Irish membuka mulutnya, lalu buru-buru melangkah maju untuk menggenggam tangan Hanna. Tapi Hanna langsung menepisnya.
“Sudah terlambat sekarang!” seru Hanna, masih terluka.
"Iya, aku mengerti..." Irish menatapnya dalam-dalam, kemudian berkata lirih, "Hanna, mungkin aku tidak bisa menjelaskan semuanya, tapi aku ingin kamu tahu dua hal. Pertama, antara aku dan Ethan... sekarang ini, tidak ada apa-apa. Kedua, soal Erick... hari itu terjadi begitu cepat, aku tidak siap, makanya aku bersikap seperti itu. Tapi malam itu aku sudah menjelaskan semuanya pada Erick."
Hanna menatap Irish dengan sorot tajam. Kata “sekarang” yang diucapkan Irish jelas menyisakan celah masa lalu. Tapi ia mengingat penjelasan Erick, dan mengingat bahwa Irish memang menjelaskan sesuatu malam itu.
"Benarkah kamu sudah bicara dengan Erick?"
Irish mengangguk. "Iya, sungguh."
Hanna akhirnya duduk di sofa, melepaskan napas panjang. "Irish, aku benar-benar suka sama Erick. Waktu lihat kalian berdua... sedekat itu, aku bilang aku baik-baik saja, tapi kamu pasti tahu, aku sebenarnya tidak."
"Aku tahu..." Irish tersenyum kecil, getir. Dia bisa memahami perasaan Hanna, seperti dirinya dulu, patah hati karena Ethan.
Tapi Irish tak ingin Hanna terluka seperti dirinya. Karena itulah dia menjauh dari Erick dan berusaha menjaga Hanna dari apa pun yang bisa menyakitinya.
“Kalau begitu...” Hanna menatap Irish dengan cermat. “Kamu benar-benar tidak punya hubungan apa-apa dengan Kak Ethan?”
Pertanyaan itu menusuk. Irish terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, "Hanna, untuk hal itu... maaf, aku tidak bisa menjelaskan. Tapi aku pastikan satu hal, aku tidak ingin punya hubungan apa pun lagi dengannya."
Hanna mengamati wajah Irish cukup lama. Pada akhirnya, dia mengangguk perlahan. “Kalau kamu tidam mau cerita, aku tidak akan memaksa. Hanya…”
Dia menatap Irish dalam-dalam, lalu berkata, “Kak Ethan dan Kak Carisa itu pasangan yang sangat harmonis. Mereka baik, saling mencintai. Aku cuma tidak mau melihat kebahagiaan mereka berubah karena siapa pun, siapa pun, Irish.”
Irish diam. Hatinya terasa pedih. Dia ingin menjawab, ingin menjelaskan bahwa cinta Ethan dan Carisa dibangun di atas luka yang dia sendiri rasakan, di atas derita yang tak siapapun tahu rasanya. Tapi, untuk apa?
Namun Irish tidak bisa menjawab apa-apa. Di bawah tatapan serius Hanna, ia hanya bisa mengangguk pelan.
Ia memilih diam. Diam... karena luka lama memang tak selalu layak dipamerkan.
Melihat anggukan itu, Hanna akhirnya menghela napas lega. Ia menepuk tangan Irish pelan. "Oke, kalau begitu, aku pergi dulu."
Ia berdiri, lalu mengingatkan dengan suara ringan namun tegas, "Tiga hari lagi, jangan lupa hadir di pesta ulang tahun pernikahan Kak Ethan dan Kak Carisa, ya."
Undangan itu awalnya ditujukan untuk mengundang Irish sebagai teman. Namun kini, Hanna memiliki maksud lain, ia ingin Irish menyaksikan langsung betapa eratnya hubungan Ethan dan Carisa, agar Irish sadar, bahwa cinta mereka tidak bisa diganggu atau dihancurkan.
Dengan pikiran itu, Hanna meraih kembali undangan dari atas meja. "Aku bawa lagi undangan ini, ya. Nanti hari-H aku telepon kamu."
Ia tahu Irish bisa saja berdalih bahwa undangannya hilang. Jadi Hanna memutuskan untuk mengamankannya.
"Oke," jawab Irish dengan pasrah. Ia tadinya berharap bisa memakai alasan itu untuk tidak hadir. Tapi Hanna rupanya lebih jeli dari dugaan.
Menangkap reaksi Irish, Hanna menghela napas. Dia bukan orang sempurna, bukan pula orang jahat. Ia hanya seseorang yang masih mencari arti hidup, cinta, dan keindahan di tengah kekacauan perasaan. Jadi meski tujuannya tidak murni, ia merasa tidak bersalah.
Tiga hari kemudian, sore hari.
Irish baru saja menjemput anak kembarnya dari taman kanak-kanak dan selesai menyiapkan makan malam. Ketika ia hendak duduk, ponselnya tiba-tiba berdering.
Suara Hanna langsung terdengar dari seberang. "Ke mana saja kamu? Setelah pulang kerja langsung menghilang, ditelepon juga tidak diangkat!"
"Aku baru jemput anak-anakku dan masak makan malam," jawab Irish santai. "Ada apa?"
"Hari ini ulang tahun pernikahan Kak Ethan dan Kak Carisa! Hari ini juga hari di mana 'Starry Bloom' kamu ditampilkan! Makan malamnya sebentar lagi dimulai! Kamu di mana, sih?!"
Irish mengernyit, baru sadar. "Apa hari ini?"
"Tiga hari lalu aku sudah ingetin, kan?" Hanna terdengar frustrasi.
"Aku lupa..." Irish tertawa kecil, tanpa niat sungguh-sungguh.
"Ayo cepat! Kamu harus hadir!"
"Tapi... aku tidak punya gaun malam," bisik Irish. "Dan bukannya pesta seperti itu seharusnya berlangsung dari pagi?"
Irish curiga, apakah pesta malam hari ini karena hubungan mereka sedang tidak harmonis?
"Karena kesehatan Carisa, Ethan memutuskan buat mengadakan pesta makan malam saja. Kamu tidak punya gaun? Tenang, sudah aku siapkan! Kamu tinggal datang!"
"Tapi..."
"Tidak ada tapi-tapian! Kamu datang! Gaunku, karyamu, pesta ini... kamu harus di sini!" Setelah berkata begitu, Hanna langsung menutup telepon.
"Halo? Hanna?" Irish memandangi ponselnya yang sudah gelap.
Ia menoleh ke kedua anaknya, ragu meninggalkan anaknya hanya berdua. Tapi sepertinya anak kembarnya itu sudah paham.
"Mam, pergi aja. Temui Tante Hanna. Siapa tahu dapat pacar baru." Kata Nathan melambaikan tangan santai.
"Pacar apa? Umurmu berapa bicara begitu?" Irish memelototi Nathan sambil tak tahan tersenyum. Anak itu makin hari makin seperti orang dewasa saja.
"Oke, oke. Aku ke Vivi akan ke kamar baca buku. Sampai nanti!" Nathan bangkit lalu mengandeng tangan Vivi dan berjalan ke kamarnya.
Irish hanya bisa menatap kedua punggung kecil itu, lalu akhirnya mengambil tas dan turun.
Ia menyetop taksi, menyebutkan alamat yang diberikan Hanna, dan bersandar lelah sepanjang jalan.
Saat tiba di venue, pesta belum dimulai. Irish berdiri di depan pintu aula, menatap dirinya sendiri yang hanya memakai pakaian kasual. Ia ragu masuk.
"Maaf, acara makan malam tertutup. Silakan pergi," ucap salah satu pelayan dengan dingin.
"Saya..." Irish membuka mulut, tapi tak jadi. Ia memutuskan berbalik. Jika tidak diizinkan masuk, anggap saja sudah berusaha. Dia bisa memberi alasan pada Hanna nanti.
Namun belum jauh melangkah, suara Hanna melengking dari belakang. "Irish! Kenapa kamu baru datang?!"
Irish hanya bisa menggelengkan kepala. Ia tak tahu apakah harus bersyukur atau menyesal.
Hanna tiba di hadapannya dalam balutan gaun putih susu, rambut disanggul rapi, dan mahkota kecil berhiaskan berlian di atas kepalanya. Cahaya malam pun terasa kalah bersinar dibandingkan dirinya.
"Oh, Hanna. Kamu cantik sekali malam ini," kata Irish tersenyum kikuk.
"Kenapa kamu telat?" Hanna memelototi Irish.
"Macet tadi," jawab Irish setengah malu.
"Ayo cepat, ikut aku!" Hanna tak mau membuang waktu, langsung menarik Irish masuk ke aula.
Pelayan yang tadi menolak Irish buru-buru menghentikan mereka. "Maaf, Nona, wanita ini tidak membawa undangan dan tidak memakai gaun..."
"Undangan dia ada padaku! Gaun pun sudah aku siapkan!" Hanna memelototi pelayan dengan tatapan tajam. "Kalau dia terlambat ganti baju karena kamu, itu salahmu!"
gemessaa lihatnya