Rika, mahasiswi sederhana, terpaksa menikahi Rayga, pewaris mafia, untuk menyelamatkan keluarganya dari utang dan biaya operasi kakeknya. Pernikahan kontrak mereka memiliki syarat: jika Rika bisa bertahan 30 hari tanpa jatuh cinta, kontrak akan batal dan keluarganya bebas. Rayga yang dingin dan misterius memberlakukan aturan ketat, tetapi kedekatan mereka memicu kejadian tak terduga. Perlahan, Rika mempertanyakan apakah cinta bisa dihindari—atau justru berkembang diam-diam di antara batas aturan mereka. Konflik batin dan ketegangan romantis pun tak terelakkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhamad Julianto, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6
Flashback selesai...
Aku tersentak kembali ke dunia nyata saat mendengar teriakan keras dari arah pintu luar area altar. Orang-orang berlarian keluar dalam kepanikan. Salah satu dari mereka bahkan terjatuh di lantai saat hendak keluar.
Keadaan dalam Altar berubah menjadi benar-benar kacau. Aku menoleh ke kiri dan ke kanan, memastikan bahwa tak satu pun dari anak buah Pak Ryandra—termasuk beliau sendiri—melihat ke arahku.
Seperti nya di area tengah dan di pinggiran Altar telah terjadi penyerangan. Entah penyerangan apa itu, tapi yang jelas aku mendengar suara tembakan begitu memekakkan telinga para tamu termasuk aku di seluruh area Altar.
Mengingat situasi seperti nya cocok aku keluar dari sini tanpa ketahuan.
Aku menggenggam gaunku erat-erat dan langsung berlari keluar dari area Altar yang masih satu area dengan Mansion D'Amato.
Seketika, sebuah taksi muncul entah dari mana. "Taksi!!" Teriak ku dengan sekuat tenaga. Aku membuka pintunya dengan cepat dan langsung masuk ke dalam.
"Tolong cepat antar aku ke Rumah Sakit Intermedika," kataku pada sopir, dan ia langsung melaju kencang. Aku menoleh ke belakang untuk memastikan apakah ada yang mengikuti ku. Aku menghela napas lega ketika tak melihat siapa pun mengejar ku. Aku tahu, aku harus segera melihat kakek, atau aku bisa kehilangan kendali seperti Rayga yang sekarang masih berada didalam area Altar. Sikap Pak Ryandra hari ini membuatku meragukan semua ucapannya. Bisa saja ia berkata satu hal, tapi diam-diam merencanakan hal lain.
Saat ku lirik kaca spion, aku bisa melihat sopir taksi sesekali mencuri pandang ke arahku. Aku menahan diri agar tidak tertawa. Ia pasti penasaran dan heran kenapa seorang pengantin bisa lari dari pernikahannya, atau darimana aku akan mendapatkan uangnya nanti. Untungnya, aku ingat aku sudah menyelipkan uang di bawah wig yang sedang ku kenakan.
Aku memang memaksa penata rambut untuk memasangkan wig, meskipun dia bilang rambut asliku sudah sangat indah. Tapi hanya aku yang tahu alasanku.
Begitu rumah sakit terlihat di depan mata, aku mulai melepas wig ku. Aku bisa melihat mata sopir membelalak saat melihatku melakukannya. Aku memberikan uangnya dan nyaris melompat keluar dari mobil sebelum benar-benar berhenti. Aku menerobos masuk ke rumah sakit seperti seekor Harimau yang menyergap mangsanya.
Semua mata tertuju padaku, tapi aku tak peduli—itu bukan masalahku sekarang.
Aku berdiri bingung, tak tahu harus ke mana. Aku tak tahu nomor kamar kakek, bahkan nama apa yang digunakan saat ia didaftarkan oleh pak Ryandra. Akhirnya, aku memutuskan untuk bertanya pada resepsionis tempat pasien pasca operasi dirawat.
"Permisi, tolong di mana saya bisa menemukan pasien yang ada di ruang pemulihan?" Tanyaku, karena yang ku tau biasanya jika seorang telah dioperasi maka akan dipindahkan ke ruangan pemulihan. Ada kemungkinan kakekku juga ada disalah satu nomor bilik di ruangan pemulihan '
"Ruang pemulihan?" tanyanya sambil menaikkan alis.
"Tolonglah, Kakek saya dibawa ke sini. Ia baru saja menjalani operasi jantung kemarin," kataku panik, tapi ekspresi wajahnya tampak bingung.
Jelas ia tak mengerti apa yang ku maksud. Aku segera meninggalkan meja itu dan mencoba bertanya pada orang lain. Kali ini aku memilih bertanya lebih spesifik.
"Dok, permisi. Bisa tunjukkan arah ke ruang pemulihan pasien?"
"Naik ke atas, lalu belok kiri," jawabnya singkat. Aku buru-buru mengucapkan terima kasih dan langsung berlari naik ke lantai atas. Tapi begitu sampai di sana, aku lagi-lagi bingung. Aku tak tahu kamar mana yang harus ku masuki.
Tiba-tiba, sebuah pintu terbuka dan seorang perawat keluar dari dalamnya. Dari balik pintu, aku melihat sekilas sosok kakekku.
"Kakek!" aku berseru. Perawat itu mencoba menghentikan ku, tapi kakekku ikut bersuara.
"Biarkan dia! Dia cucuku!" katanya dengan suara serak. Melihat kakekku memaksakan diri bicara, aku dan perawat itu segera menghampirinya.
"Anda tidak boleh memaksakan diri, Pak. Anda baru saja menjalani operasi," perawat itu memperingatkan.
"Kakek, tolong tenang. Aku di sini. Aku tidak akan ninggalin Kakek," kataku sambil menggenggam tangannya.
Setelah memastikan kondisinya stabil, perawat itu akhirnya meninggalkan ruangan dengan pesan agar aku tidak membuat kakek kelelahan.
"Kakek, keadaan nya bagaimana sekarang? Rika kangen banget Kek. Apa yang mereka lakukan pada kakek? Apakah mereka menyakiti kakek?, Kakek tau, Rika sangat khawatir waktu itu" tanyaku bertubi-tubi. Kakekku menutup mata dan tersenyum.
"Tenang dulu, Rika. Tanyakan satu-satu dulu. Mana bisa Kakek jawab semuanya sekaligus," katanya masih tersenyum.
Aku ikut tersenyum dan berkata, "Oke deh, Kakek. Sekarang cerita ya, gimana keadaan Kakek, dan apa yang terjadi setelah aku dibawa pergi kemarin?"
Kakek menarik napas panjang, masih dengan senyum tipis. Ia mulai bercerita bagaimana orang-orang berbaju hitam yang awalnya tampak kasar, justru mengangkatnya dengan lembut dan membawanya dengan mobil lain ke rumah sakit. Mereka bahkan menemani Kakek sampai pagi tadi, dan berjanji bahwa aku akan datang menjenguk.
Mendengar itu Aku sulit mempercayai ceritanya. Orang-orang yang sama yang mengancam ku, justru bersikap lembut pada kakekku? Tapi aku juga tak yakin kakekku berbohong.
Aku membantunya duduk dan memberinya air minum. Ia membersihkan tenggorokannya, dan dari raut wajahnya, aku tahu ia ingin mengatakan sesuatu yang serius.
"Kakek tidak papa?" tanyaku khawatir.
"Iya, Kakek baik-baik saja." Ia diam sejenak lalu melanjutkan, "Rika, Kakek ingat waktu ayahmu sedang sangat membutuhkan uang. Dia pernah cerita soal tawaran dari mafia itu. Kakek udah melarang keras dia untuk mengambilnya."
"Serius, Kakek?" tanyaku kaget.
"Iya. Tapi ternyata, diam-diam dia tetap ambil uang itu. Waktu Kakek tanya dari mana dia dapat uang untuk membangun perusahaannya, dia bilang temannya yang bantu. Tapi ternyata dia bohong," katanya dengan senyum sedih. Ucapan kakek membuatku terdiam. Semua pertanyaan yang ingin kutanyakan tersangkut di tenggorokan. Karena aku tahu, jawabannya tidak akan kutemukan dari kakek.
Kami hanya duduk dalam diam, hingga aku akhirnya pamit pulang dengan janji akan menelepon atau menjenguk lagi.
Aku keluar dari ruangan pemulihan, dan berjalan menuruni tangga menuju pintu keluar.
Begitu aku tiba di halaman rumah sakit, udara sore terasa pengap walau angin berhembus. Baru saja aku hendak memanggil taksi pulang ketika suara beberapa mobil mewah berhenti tepat didepan ku.
Aku terkejut bukan main, 'bukannya kondisi di Altar beberapa waktu lalu sempat kacau balau. Apakah secepat itu pak Ryandra menanganinya.'
Pikirku.
"Rika," suara berat itu memanggilku. Aku kembali membeku. Pak Ryandra turun dari mobil dengan setelan hitamnya yang rapi, wajahnya serius tapi tidak menyeramkan sebagaiman saat aku baru diseret ke mansion nya waktu itu. Saat ini dia lebih seperti... ayah yang kecewa.
"Kau tetap pergi saat hari pernikahanmu... aku tahu kau akan ke rumah sakit ini. Tapi dengarkan aku, Rika," katanya, perlahan menghampiriku.
Aku meneguk ludah. "Tuan Ryandra... aku—"
"Ayah," ia menyela, matanya menatap penuh arti. "Kau sudah setuju untuk menikahi Rayga. Ini bukan hanya soal utang... ini juga soal keluarga. Aku sudah menganggap mu seperti anak sendiri, Rika."
Aku menunduk. Dalam hatiku, rasa takut bercampur penyesalan. Tapi juga amarah. Semua ini terjadi terlalu cepat. Aku ingin kabur, tapi aku juga tidak ingin kehilangan kakekku.
"Pernikahan tetap akan dilanjutkan, malam ini kau harus istirahat di rumah," katanya tegas namun lembut.
"Tapi aku... aku belum siap... Bukankah kondisi Rayga belum membaik?"
Dia mendekat, menaruh tangan di pundakku. "Ayah tahu ini berat, tapi percayalah... kau akan baik-baik saja. Rayga bukan pria buruk, dan ini akan membebaskan mu dari semua beban. Dan kau tidak perlu mengkhawatirkan anakku, dia pria yang kuat. Aku yang melatih nya untuk tidak mudah jatuh"
Aku tidak sempat menjawab saat dua Pria dewasa berpakaian hitam datang menghampiri. Mereka membungkuk ringan.
"Silakan ikut dengan kami, Nona Rika. Kami akan mengantarkan mu ke dalam mobil."ucapnya sopan.
Aku menoleh, tapi Pak Ryandra hanya mengangguk pelan. Tatapannya seperti mengatakan: Ini satu-satunya jalan.
Dengan langkah pelan, aku pun mengikuti mereka masuk ke mobil hitam di belakang. Sepanjang perjalanan, aku tidak berbicara sepatah kata pun. Di luar jendela, lampu kota berkelebat cepat, tapi pikiranku kosong, hingga aku terlelap tanpa sadar.
--------
Aku terbangun dengan kaget.
Langit-langitnya sedikit asing di mataku. Ini kamar yang luas, megah, dengan tirai tebal berwarna merah marun dan lampu gantung kristal. Perabotannya mahal, semuanya serba mewah. Tempat tidur ini empuk seperti awan.
Aku langsung bangun dan menatap sekeliling.
"Apa aku... di mansion keluarga D'Amato?"
Aku berjalan menuju jendela. Di luar, halaman luas penuh bunga mawar yang disusun rapi. Tak salah lagi. Ini rumah keluarga mafia itu.
Aku ingat terakhir aku di rumah sakit... lalu Pak Ryandra muncul, bicara tentang pernikahan... lalu aku—oh Tuhan, aku dibawa ke sini.
Pernikahan akan tetap berlangsung.
Aku menyandarkan diri ke dinding, mencoba menenangkan napas ku. Semua ini nyata. Aku benar-benar akan menikah dengan Rayga. Anak dari Pak Ryandra. Dan aku bahkan belum pernah berbicara panjang dengannya. 'Bahkan dari segi nada bicara nya kepada ku , ia sepertinya sangat membenciku, apalagi dengan memanggil ku dengan sebutan "'jal*ng'" sungguh aku kembali merasa sakit hati mengingat itu.
Aku menarik napas dalam-dalam. Aku berusaha melupakan kejadian tidak mengenakkan di Altar waktu itu dengan berusaha menutup mataku untuk kembali tidur. Tapi aku tidak bisa tidur.
"Mungkin segelas susu bisa menenangkan ku," bisikku, berjalan keluar kamar mencari dapur.