Ada satu komunitas muda-mudi di mana mereka dapat bersosialisasi selama tidurnya, dapat berinteraksi di alam mimpi. Mereka bercerita tentang alam bawah sadarnya itu pada orangtua, saudara, pasangan, juga ada beberapa yang bercerita pada teman dekat atau orang kepercayaannya.
Namun, hal yang menakjubkan justeru ada pada benda yang mereka tunjukkan, lencana keanggotaan tersebut persis perbekalan milik penjelajah waktu, bukan material ataupun teknologi dari peradaban Bumi. Selain xmatter, ada butir-cahaya di mana objek satu ini begitu penting.
Mereka tidak mempertanyakan tentang mimpi yang didengar, melainkan kesulitan mempercayai dan memahami mekanisme di balik alam bawah sadar mereka semua, kebingungan dengan sistem yang melatari sel dan barang canggih yang ada.
Dan di sini pun, Giziania tak begitu tertarik dengan konflik yang sedang viral di Komunitaz selain menemani ratunya melatih defender.
note: suka dengan bacaan yang berbau konflik? langsung temukan di chapter 20
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Juhidin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chap 6 Penculikan
"Apa dia (Hen Hen) juga ngeblok path gue, Ras?"
"Nih antar timeline nggak. Ntar gue warning kalo ada indikator merah ini."
Path atau jalan pintas yang Jihan tanyakan adalah lorong-waktu. Entah kenapa Jihan menanyakannya pada Sorrow lewat transmisi brainwave. Yang pasti begitu dapat jawaban, sekitar Jihan, termasuk Dito, kembaran si teknisi, laptop, lantai, kursi penonton, lapangan segi enam berserta langitnya terhisap masuk ke dalam perut Jihan dalam seper sekian detik.
Jihan langsung mengganti lokasi tanpa bergerak sesenti pun, berpindah tempat hanya dengan nyala di pusarnya.
Saking cepatnya hisapan yang berlangsung, Jihan membiarkan diri diliputi kegelapan buta yang berlangsung seper seribu detik cahaya tersebut.
Claph!
Jihan muncul di depan satu rumah, di dalam sebuah gang.
Eksisnya Jihan di ruang-waktu Hen Hen ini didahului cahaya potret tadi sebagaimana munculnya kembaran Dito yang hadir untuk berterima kasih.
Lokasi sepi dan tidak ada satu pun orang di sekitar Jihan. Tengah malam sendirian di tempat yang mati, Jihan santai walau tiada kehidupan di tempatnya berada.
"Kok deket sih ya, sama rumah si Voin?"
Usai mengamati langit yang tampak wajah besar di balik Bimasakti sana, Jihan sadar telah mengenal tempat yang di kunjunginya.
Rrrghh..! Suara pagar digeser, bergerak sendiri.
Jihan melangkah masuk ke halaman rumah setelah bertelekinetis dengan pikirannya.
Setibanya di depan pintu, Jihan melihat-lihat sekeliling.
"Oke batu yang buletan ini aja."
Weett..! Ada batu, yang tiba-tiba berhenti melesat di depan pintu.
Jihan diam, berpikir sejenak. Dia menghela nafas, melemaskan badan. "Hhh.. Manual."
Plukh..! Batu yang Jihan "setir" jatuh.
Jihan mengetuk pintu. Tok! Tok! Tok!
"Hen, plis.. Buka dong."
Tidak ada jawaban.
"Hen. Kalo gue ada salah kata pas latihan kita kemarin-kemarin, lo protes aja langsung. Jangan pundung gini. Besok masuk ya. Plis.. Hen."
Tok-tok..!
"Lo buka we-anya, baca deh chat gue Hen.."
Jihan diam sebentar, lalu..
"Iya, gue yang minta Ras. Bilangin ke April sekarang gue mau ke situ. Eh, ya. Ini si Hen Hen kayaknya lagi di luar deh. Soalnya.. Ada hawa-hawa yang ngejauh dari gue tadi pas mau ngetok."
Blitz..!! Jihan langsung pergi setelah memberitahukan keadaan dirinya.
Claph!
Jihan muncul di ruangan heksa. Dia kali ini berjalan menapaki lantai yang ada, tidak melesat.
FOS DOPPELGANGER. Itulah yang terbaca di muka lorong milik lokasi.
Beberapa pemuda muncul dengan cara yang sama seperti Jihan. Dua di antaranya melangkah biasa dan tiga lainnya melesat menggerakkan rambut Jihan saat menembus punggung si gadis.
Di sini, hukum fisika telah dimanipulasi, namun Jihan sudah terbiasa dengan aktivitas yang ada di dunia jadi-jadian ini.
Jam bubar ini Jihan mencari Ira.
"Ke mana Han?" tanya gadis sebaya sambil lewat di samping Jihan, arahnya berlawanan alias sedang menyapa.
"Jalan-jalan."
"Aaw..! Aduh."
Ketika melewati Jihan, si penyapa langsung bersandar ke dinding.
"Bantu, bantu!" pinta yang terpincang ini, di punggung rompi yang dikenakannya terbaca: ALUMNUS. "Anjrit. Kaki gue kumat lagi, Han."
Jihan yang masih senyum-senyum sejak disapa, tidak komentar, sibuk mengangkat badan si teman.
Yang ditolong berubah bingung, lalu membiarkan Jihan membopongnya bak pengantin pria pada istrinya.
"Ke mana, War? Biar gue yang jadi si Rose."
"Panti, Panti."
Dengan mudahnya Jihan melayang membawa si teman keluar lorong.
"Duh, anjir. Nguras banget nih urusan.. Han. Ya ampun. Mawar, Mawar.. Duit lo gak cukup, War. Ngegaji guru telkin..."
"Diem, Kampret. Bokin gue di kantor lo."
"Fresh banget, Han. Titipan lagi. Duh, kena-lah dua puluh empat jam.."
"Shut up.. Mawar."
"Udah serong bebas jealous. Wuhuy, gue kebagian ati dah pas lagi prihatinnya."
Sesampainya di depan dinding yang dituju, tampak garis merah vertikal terpisah membuka jalan. Grrrtthh...! Namun..
". . .???"
Ke-tegang-an yang berlangsung di balik dinding terhenti saat tiga orang di situ melihat Jihan memangku Mawar ke hadapan mereka.
"Jawab, bangsat.. Lo betah di sini? Heu..? Jadi apa jawaban lo sekarang?" tanya pemudi ini, memiliki tanda lingkaran di ubun-ubunnya.
Perlahan-lahan Jihan mendarat dan menurunkan Mawar sambil terus bingung pada akting mereka yang kedapatan terbantu oleh kehadirannya.
"Pergi dari sini, Lin. Udah ada yang lebih efesien dari lo. Ini (menunjuk penonton yang sedang bersandar), bahkan ada itu (menunjuk pada Jihan). Mana buktinya Jihan lewat nyuekin si Mawar? Heu..? Tai lo bisa ngantiin mbak Enik."
Pemuda yang ditanyai masih duduk termenung di kursi, menatap kosong ke arah bangunan rumah tua. Dia berdecak sembari tunduk kepala mengerjap-ngerjap mata mengusir lamunannya.
"Fix. Bisu total. Tim, catat ini. Aku ke ruangan sekarang," kata pemuda ini, selesai mengamat dirinya yang sedang diinterogasi.
"Lin. Tetap gue benci lo," terang Mawar ketika si pemuda berjalan masuk melewatinya.
"Ah iya. Aku lupa berterima kasih," balas si efesien tak melirik dan masih berjalan.
"Trims, Han. Lo ditakdirkan peduli sama gue."
"Hadeeh., War. Gue cuma pengen nemenin Ratu gue. Udah males ribut serius kayak gini. Udah tau dia gak bisa ngomong, malah diwawancara."
Mawar senyum membiarkan Jihan pergi meninggalkannya. Ekspresi Mawar berubah galak ketika si bisu datang hendak mengikuti Jihan.
"Stop.."
Dukh!
Sesuatu yang keras di udara menghentikan langkah si pemuda, ada kaca invisible yang membuatnya kesulitan untuk mendekati Mawar.
"Pintu keluar lo di sana, Lin."
Di ruang heksa yang lebih besar dari ruang sebelumnya, Jihan mendapati April sedang bicara pada Ira. Di sekitar mereka berdua banyak muda-mudi yang sibuk mengolah laporan atau mungkin data penting layaknya aktivitas pasar saham.
Ira masih saja terpukau dengan dunia sang kakak, Tifani, diam melihat-lihat ruang dan kesibukan orang-orang di dalamnya. April tetap bicara sambil memegang sebuah map ukuran rapor.
"Di sini ada cerita tentang senior bernama Enik. Lintang meragukan pekerjaan Enik dan terus menekannya dengan banyak pertanyaan.
Enik punya kemampuan seperti peliput berita, apa yang dibicarakannya sedang kejadian di timeline lain. Enik berjulukan dewi ucapan, apa yang dikatakannya akan muncul jika misalkan berkata gelas.
Lintang ragu dengan pekerjaan Enik karena tidak ada surat tugasnya, hanya Enik yang mendengar siaran protokol sementara lusid lainnya tidak.
Enik selalu melayani keluhan Lintang namun ketika dibawa ke pertanyaan tentang tuhan, sang dewan menangis dan langsung meninggalkan Lintang. Saat itulah Lintang sadar bahwa seniornya sedang ketakutan, bukan seorang yang tidak beragama seperti sangkaannya.
Semua jawaban Enik berefek global pada alternatif timeline milik tiap lusid, puncaknya menampakkan sosok pria besar di luar planet Bumi, yaitu Linpar.
Project Corrupt menyita stok xmatter (bahan baku benda) miik komunitas."
"Terus?"
"Dari situ kita tau, napa belakang tahun ini gak pernah ada lagi lusid yang baru. Kata Versus, suatu hari dalam percakapannya dengan Lia. Dia koruptornya. Kata Versus lagi," beritahu April, membacakan sebuah rangkuman event berdasarkan isi map yang sedang dipegang.