Sebelum ada bintang, sebelum Bumi terbentuk, dia sudah ada.
Makhluk abadi tanpa nama, yang telah hidup melewati kelahiran galaksi dan kehancuran peradaban. Setelah miliaran tahun mengembara di jagat raya, ia memilih menetap di satu tempat kecil bernama Bumi — hanya untuk mengamati makhluk fana berkembang… lalu punah… lalu berkembang lagi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Semut
Pria itu makin penasaran. “Pakai reservasi?”
> “Tidak. Dia datang begitu saja dan ambil tempat. Tapi entah kenapa, bos besar bar ini malah meminta kami untuk tidak mengganggunya,” ucap bartender dengan suara rendah. “Katanya, kalau pria itu datang, jangan tanya, jangan tunda, layani langsung.”
Kalimat itu membuat banyak orang yang mendengar diam-diam semakin penasaran.
Sosok pria yang duduk sendirian di sudut ruangan dengan tenang—seolah dunia tak ada hubungannya dengan dia—mendadak menjadi pusat perhatian.
Namun Alex tetap tak menggubris.
Ia masih menyesap wine-nya, pandangan menerobos jauh ke depan, tenang seolah tak terjadi apa-apa.
Sementara itu, Shen Qingran sudah kembali ke lantai atas bar, menuju lounge pribadi. Tapi langkahnya sedikit goyah. Bukan karena alkohol, melainkan karena perasaannya yang mendadak kacau.
‘Jika dia benar-benar orang itu bagaimana mungkin dia tidak berubah sedikit pun?’
‘Dan… kenapa jantungku berdetak seperti ini?’
Di sudut lain bar, seorang pria muda berkemeja putih berdiri setengah bangkit dari sofa mewahnya. Ia memandangi punggung Shen Qingran yang baru saja pergi… lalu mengalihkan pandangannya tajam ke arah Alex Chu yang duduk tenang seorang diri.
Matanya menyipit.
Ekspresinya berubah dingin. Ada bara api tak terlihat yang mulai menyala.
Pria itu bernama Jiang Wei, pewaris kedua keluarga Jiang—salah satu keluarga konglomerat properti ternama di ibu kota. Ia sudah lama mengejar Shen Qingran, meskipun belum pernah mendapat tanggapan sedikit pun darinya.
Namun malam ini… wanita itu, yang selama ini menolak semua ajakan makan malam dan pertemuan pribadi, justru berbicara duluan kepada pria asing?
Dan bukan hanya bicara.
Cara Shen Qingran menatap pria itu… berbeda. Ada keraguan, ada memori, bahkan seolah ada keterhubungan batin yang Jiang Wei sendiri belum pernah lihat sebelumnya.
> “Siapa dia?” gumamnya pelan, setengah membentak.
Di sebelahnya, dua rekan sosialita yang ikut bersamanya mencoba meredam emosi Jiang Wei.
> “Wei-ge, mungkin cuma salah paham… Dia bukan siapa-siapa.”
“Iya, tidak usah ambil hati. Shen Qingran memang kadang... ramah ke orang asing.”
Namun Jiang Wei mengangkat tangannya, memotong.
> “Diam.”
Mata Jiang Wei menajam. Ia melangkah santai ke arah meja tempat Alex duduk, masih dengan senyum tipis dan wine di tangannya.
Begitu sampai, Jiang Wei menghentakkan tangan ke meja.
Suara keras menghentak, membuat beberapa orang menoleh.
Alex Chu hanya menoleh sedikit. Sekilas.
Tatapan Alex datar, bahkan cenderung meremehkan.
> “Ada masalah?”
Nada suaranya ringan, tapi bukan ramah—melainkan dingin, tenang, dan tajam seperti pisau.
> “Kau baru saja berbicara dengan Shen Qingran,” kata Jiang Wei, tersenyum paksa. “Kurasa kau tidak tahu siapa dia.”
Alex hanya diam.
> “Jadi kuperingatkan, orang seperti kau… sebaiknya tahu diri.”
Beberapa tamu di bar mulai memperhatikan. Aroma konflik menguar di udara.
Namun Alex tak memberi respons. Ia hanya kembali menyesap wine-nya dengan lambat, seolah lawannya bahkan tidak pantas untuk dijawab.
Sikap itu membuat Jiang Wei naik darah.
> “Kau tuli? Atau memang tidak bisa bicara?”
Gelas wine Alex akhirnya diletakkan perlahan ke meja. Tangannya menyentuh sapu tangan, mengusap jari dengan tenang.
Ia berdiri.
Namun bukan untuk marah.
Sosoknya tegak dan tenang, wajahnya datar seperti patung es, dan tatapan matanya menembus Jiang Wei seperti pisau tanpa ampun.
Alex mendekat, sangat dekat, lalu berbisik dengan suara rendah, hanya mengucapkan dua ata
> “brisik, semut