Di dermaga Pantai Marina, cinta abadi Aira dan Raka menjadi warisan keluarga yang tak ternilai. Namun, ketika Ocean Lux Resorts mengancam mengubah dermaga itu menjadi resort mewah, Laut dan generasi baru, Ombak, Gelombang, Pasang, berjuang mati-matian. Kotak misterius Aira dan Raka mengungkap peta rahasia dan nama “Dian,” sosok dari masa lalu yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan. Di tengah badai, tembakan, dan pengkhianatan, mereka berlomba melawan waktu untuk menyelamatkan dermaga cinta leluhur mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Vicky Nihalani Bisri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CH - 6 : Langkah Pertama Bersama
Matahari pagi menyapa Semarang dengan lembut, menyelinap melalui celah-celah daun di taman kota tempat Aira dan Raka berjalan beriringan.
Udara pagi terasa segar, membawa aroma bunga kamboja yang mekar di sepanjang trotoar taman. Aira mengenakan dress sederhana berwarna biru muda, rambut panjangnya dibiarkan tergerai, sementara Raka berjalan di sampingnya dengan kemeja putih lengan pendek dan celana jeans, kameranya tergantung di leher seperti biasa.
Mereka baru saja resmi menjadi sepasang kekasih setelah pengakuan di bawah hujan kemarin, dan pagi ini adalah "kencan pertama" mereka meskipun rasanya seperti mereka sudah sering berkencan sebelumnya.
Aira merasa jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya, meskipun dia berusaha terlihat santai.
Tangan mereka saling bergandengan, dan setiap kali Raka menoleh untuk tersenyum padanya, Aira merasa wajahnya memanas.
“Raka, kamu yakin kita cuma jalan-jalan di taman aja? Aku pikir kencan pertama harusnya… entah, lebih spesial?” tanyanya, sedikit menggoda.Raka tertawa kecil, matanya berbinar.
“Spesial itu enggak selalu harus mewah, Aira. Aku cuma mau kita nikmatin momen sederhana bareng. Lagipula, taman ini punya kenangan buat aku, aku sering ke sini sama Rani dulu. Aku pikir… aku mau bikin kenangan baru di sini, sama kamu.” Kata-kata Raka membuat Aira tersenyum, ada kehangatan yang menjalar di dadanya.
“Kamu manis banget, tahu enggak?” balasnya, sedikit malu.
“Aku seneng kamu bawa aku ke sini.” Mereka berjalan melintasi jembatan kecil yang melintang di atas kolam ikan di tengah taman.
Ikan-ikan koi berenang dengan anggun di bawah permukaan air, menciptakan riak kecil yang berkilau di bawah sinar matahari.
Aira berhenti sejenak, memandang ikan-ikan itu dengan mata berbinar.
“Lucu banget ikan-ikannya,” katanya, lalu tiba-tiba teringat sesuatu.
“Eh, Raka, kamu suka ikan? Aku punya ide cerita tentang seorang nelayan yang jatuh cinta sama putri duyung, tapi dia enggak tahu putri duyung itu cuma ilusi.” Raka tertawa, menggelengkan kepala.
“Kamu emang enggak pernah kehabisan ide, ya? Aku suka ikan, tapi aku lebih suka motret mereka ketimbang mancing. Cerita itu kedengarannya menarik, mungkin aku bisa bantu bikin cover-nya, gambarin putri duyung dengan latar laut Semarang.” Aira tersenyum lebar, antusias dengan ide Raka.
“Deal! Kita bikin proyek bareng lagi, ya. Aku nulis, kamu bikin cover-nya.” Mereka melanjutkan perjalanan, berhenti di sebuah bangku kayu di bawah pohon besar yang rindang.
Raka mengeluarkan kamera dan mulai mengambil foto Aira, yang awalnya malu-malu tapi akhirnya ikut bermain dengan pose-pose lucu.
“Raka, jangan motret aku mulu, dong! Motret pemandangannya juga,” protes Aira sambil tertawa, mencoba merebut kamera dari tangan Raka.
“Tapi kamu lebih cantik dari pemandangan,” balas Raka dengan senyum nakal, membuat Aira memukul lengan pria itu pelan sambil tersipu.
Mereka tertawa bersama, dan Aira merasa ada kebahagiaan sederhana yang melingkupi mereka pagi itu.
Setelah puas bermain di taman, Raka mengajak Aira untuk sarapan di sebuah kedai kecil di pinggir taman.
Kedai itu menyajikan bubur ayam dan kopi susu yang harum, dan mereka duduk di meja kayu kecil dengan pemandangan taman yang masih terlihat dari jendela.
Aira menyesap kopi susunya, menatap Raka yang sedang asyik membaca menu.
“Raka, boleh aku tanya sesuatu?” katanya tiba-tiba, suaranya sedikit ragu.
Raka menoleh, alisnya terangkat.
“Tentu. Apa?” Aira menggigit bibir bawahnya, mencoba memilih kata-kata yang tepat.
“Aku… aku cuma penasaran. Setelah apa yang terjadi sama Rani, apa kamu pernah… entah, takut buat deket sama orang lain? Maksudku, aku tahu kamu bilang kamu mau nikmatin setiap momen, tapi… apa kamu enggak takut kehilangan lagi?” Pertanyaan itu membuat Raka terdiam sejenak.
Matanya menatap ke arah cangkir kopi di depannya, dan untuk pertama kalinya, Aira melihat ada keraguan di wajahnya.
“Sebenarnya… iya,” akunya pelan.
“Setelah Rani pergi, aku sempet ngerasa takut buat deket sama orang. Aku takut kalau aku sayang sama seseorang, aku bakal kehilangan mereka lagi. Makanya aku lama banget enggak pacaran, enggak buka hati buat siapa-siapa.” Aira mendengarkan dengan serius, merasa ada beban di dadanya.
“Terus… kenapa kamu mau buka hati buat aku?” tanyanya, suaranya hampir seperti bisikan.Raka menatap Aira, matanya penuh kelembutan.
“Karena kamu beda, Aira. Aku enggak tahu gimana jelasinnya, tapi… kamu bikin aku merasa hidup lagi. Cara kamu ceritain kisah-kisahmu, cara kamu ketawa, cara kamu liat dunia… semua itu bikin aku mau coba lagi. Aku takut, tapi aku lebih takut kalau aku enggak coba sama kamu.” Kata-kata Raka membuat Aira terdiam.
Dia merasa ada air mata yang tiba-tiba menggenang di matanya, tapi dia buru-buru mengedipkannya pergi.
“Raka… makasih,” katanya, suaranya gemetar.
“Aku juga takut, tahu enggak? Aku takut kalau… entah, kalau aku enggak cukup baik buat kamu. Aku cuma penulis biasa, kadang aku buntu, kadang aku overthinking… aku takut kamu bosan sama aku.” Raka menggeleng cepat, tangannya meraih tangan Aira di atas meja.
“Aira, jangan bilang gitu. Kamu lebih dari cukup. Kamu… kamu bikin hidupku lebih berwarna. Aku enggak bakal bosan sama kamu, percaya deh.” Aira tersenyum, merasa ada beban yang terangkat dari dadanya.
Dia meremas tangan Raka dengan lembut, dan untuk pertama kalinya, dia merasa bahwa mungkin mereka benar-benar bisa saling melengkapi.
Setelah sarapan, mereka memutuskan untuk pergi ke pasar tradisional yang tidak jauh dari taman. Raka bilang dia ingin membeli beberapa bahan untuk masak makan malam nanti, dan dia mengajak Aira untuk ikut memilih.
Pasar itu ramai dengan pedagang yang menawarkan sayur, buah, ikan segar, dan berbagai rempah-rempah. Aroma bawang, kunyit, dan daun pandan bercampur di udara, menciptakan suasana yang hidup.Aira berjalan di samping Raka, sesekali membantu memilih tomat atau cabai yang bagus.
“Kamu bisa masak apa aja, Raka? Aku penasaran,” tanyanya sambil memandang pria itu yang sedang tawar-menawar dengan pedagang ikan.
Raka tersenyum, membayar ikan segar yang baru dia beli.
“Aku bisa masak macem-macem, tapi aku paling jago bikin ikan bakar sama sambel terasi. Nanti malam aku masakin buat kamu, ya. Kita makan bareng di studio aku.” Aira mengangguk, antusias.
“Mau banget! Aku bantu masak, ya. Tapi jangan harap aku jago, aku cuma bisa bantu iris-iris doang,” katanya sambil tertawa.
Raka tertawa, mengacak rambut Aira dengan lembut.
“Tenang, aku yang masak, kamu cukup duduk manis aja.”
Sore itu, mereka tiba di studio kecil Raka yang terletak di sebuah gang sempit di pusat kota. Studio itu sederhana, dengan dinding penuh coretan sketsa dan foto-foto pemandangan yang Raka ambil.
Meja kerjanya dipenuhi peralatan desain, laptop, tablet grafis, dan tumpukan kertas sketsa. Di sudut ruangan, ada dapur kecil dengan kompor sederhana, tempat Raka mulai menyiapkan bahan-bahan yang mereka beli.
Aira duduk di kursi kecil, menonton Raka yang dengan cekatan memotong ikan dan menyiapkan bumbu. Aroma ikan bakar dan sambel terasi mulai memenuhi ruangan, membuat perut Aira keroncongan.
“Wah, baunya enak banget, Raka! Aku enggak sabar,” katanya, matanya berbinar.
Raka tersenyum, membalik ikan di atas panggangan kecil.
“Sabar, bentar lagi mateng. Kamu suka pedes, kan? Aku bikin sambelnya agak pedes biar mantap.” Mereka akhirnya makan malam bersama, duduk di lantai dengan alas tikar kecil.
Ikan bakar, sambel terasi, dan lalapan yang Raka siapkan terasa begitu lezat, dan Aira tidak bisa berhenti memuji keahlian masak Raka.
“Kamu harus ajarin aku masak, Raka. Ini enak banget,” katanya sambil mengambil sepotong ikan lagi.
Raka tertawa, menatap Aira dengan mata penuh kasih.
“Aku ajarin kapan aja. Aku seneng masak buat kamu, Aira.”
Malam itu, setelah makan malam, mereka duduk di dekat jendela studio, menatap langit malam yang dipenuhi bintang.
Aira bersandar di bahu Raka, merasa ada kedamaian yang melingkupi mereka.
“Raka, makasih ya… hari ini sempurna,” katanya pelan.
Raka memeluk pundak Aira dengan lembut, mencium puncak kepalanya.
“Aku juga, Aira. Aku harap kita bisa terus kayak gini… bareng, saling dukung, saling bikin bahagia.” Aira tersenyum, menutup mata sambil merasakan kehangatan pelukan Raka.
Di dalam hatinya, dia tahu bahwa langkah pertama mereka sebagai pasangan baru telah dimulai dengan indah dan dia berharap, langkah-langkah berikutnya akan sama indahnya.
padahal niatnya ya itu author bikin cerita yang bisa nyentuh, memaknai setiap paragraf, enggak sekedar cerita dan bikin plot... kamu tahu, aku bikin jalan cerita 3 hari itu menghabiskan 15 bab 🤣🤣
mampir bentar dulu yaa... lanjut nanti sekalian nunggu up 👍
jgn lupa mampir juga di 'aku akan mencintaimu suamiku' 😉