dapat orderan make up tunangan malah berujung dapat tunangan.Diandra Putri Katrina ditarik secara paksa untuk menggantikan Cliennya yang pingsan satu jam sebelum acara dimulai untuk bertunangan dengan Fandi Gentala Dierja, lelaki tampan dengan kulit sawo matang, tinggi 180. Fandi dan Diandra juga punya kisah masa lalu yang cukup lucu namun juga menyakitkan loh? yakin nggak penasaran?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gongju-nim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
006. Jebakan Jodoh
Fandi berlarian di lorong rumah sakit yang sudah sepi, menuju UGD disusul Githa dan Jerry di belakang. Mereka panik bukan main melihat Diandra yang tiba-tiba saja pingsan itu. Sesampainya di UGD Fandi dibantu perawat yang sedang bertugas membaringkan Diandra di bad, Fandi kemudian membiarkan dokter yang tadi sudah di kabari oleh perawat untuk memeriksa keadaan Diandra.
"Bagaimana keadaan pacar saya dok?" Fandi menghampiri dokter yang sudah selesai menerima keadaan Diandra.
"Baik kok mas, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya kelelahan saja serta tekanan darahnya sedikit turun. Biarkan dulu pacar mas nya istirahat."
"Baik dok, terimakasih."
Setelah dokter tersebut pergi, Fandi segera menghampiri Diandra yang terbaring lemah di bad rumah sakit. Di genggamnya tangan Diandra sebelah kanan serta sedikit diusapnya juga. Fandi menatap tangan kiri Diandra yang terpasang selang infus. Matanya beralih pada wajah Diandra yang terlihat sedikit pucat. Diusapnya kening wanita manis yang masih memejamkan mata itu.
Fandi menghembuskan napas pelan, hari yang sangat melelahkan hati dan raganya. Setelah sang ibu, kini Diandra juga harus berbaring diatas ranjang rumah sakit. Fandi berharap setelah ini semuanya akan baik naik saja. Tidak ada lagi hal yang membuat jantungnya hampir lepas dari tempatnya.
"Apa kata dokter?"
Githa menghampiri Fandi yang terlihat membelai lembut kepala Diandra. Dirinya tadi mengurus administrasi ditemani Jerry, sehingga tidak sempat mendengar penjelasan dokter. Lalu Fandi memberitahunya tentang keadaan Diandra seperti yang dokter sampaikan tadi.
"Tolong hubungi keluarga Diandra, Git."
"Diandra rumahnya di pinggir kota, jauh jaraknya dari sini. Kasian juga kalo om sama tante dikabarin jam segini, gue takut mereka khawatir maaf. Besok aja gue kabarin."
Githa menolak usulan Fandi untuk memberitahu keluarga Diandra. Sahabatnya itu tinggal sendiri di apartemen, sedangkan keluarganya berada di sebuah desa pinggir kota. Jaraknya memang tak terlalu jauh, namun mengabari orang tua Diandra bukanlah pilihan yang tepat. Pasalnya kedua orang tua sahabatnya itu hanya tinggal berdua saja. Kakak Diandra berada di kota lain dan sudah menikah.
Githa menjelaskan kepada Fandi sedikit tentang Diandra, sehingga Fandi bisa sedikit mendapat gambaran tentang keluarga Diandra. Fandi pun menyetujui perkataan Githa untuk tak memberi tahu pada orang tua Diandra malam ini.
"Cari kamar aja dulu kalo gitu." Jerry mengusulkan setelah menyimak pembicaraan pacar dan temannya itu.
"unggu disini bisa Git? Saya cari tanya sama petugasnya dulu."
Fandi beranjak kemudian membawa Jerry untuk ikut dengannya setelah mendapat anggukan dari Githa. Kedua pria tampan dengan profesi sama itu berjalan menuju tempat administrasi lalu menanyakan kamar kosong yang ternyata masih ada. Kamar VIP yang bersebelahan dengan Bu Gina, ibu dari Fandi. Lalu kedua lelaki itu kembali ke ruangan UGD.
"Lu hutang penjelasan sama gue." Jerry menepuk pelan bahu Fandi, sedangkan yang ditepuk hanya menjawab dengan gumaman.
"Lu juga hutang penjelasan sama gue. Bisa bisanya lu ambil kesempatan dimomen anjin* gue buat pacaran." Fandi meninju lengan atas Jerry, dirinya kesal dengan temannya itu karena sempat berpacaran sementara dirinya pusing dengan keadaan.
""Ya udah nanti kalo ingat." Jerry menjawab santai dan mengusap lengannya. walaupun tinjuan Fandi tidak terlalu keras, namun terasa sakit.
****
Pukul 3 dini hari Diandra terbangun, ruangan bernuansa putih menyambut pengelihatannya. Diandra asing dengan tempat ini. Kepalanya masih terasa berat, Diandra lalu mengangkat tangannya yang terasa sakit akibat jarum infus yang menusuk kulit mulusnya. Kini Diandra tau dimana dirinya berada, rumah sakit. Bahkan kini bajunya sudah berganti dengan baju khusus pasien, sama seperti yang ibu Fandi gunakan tadi.
Diandra lalu mengedarkan pandangannya. Terdapat sofa di sudut kanan ruangan, di sofa itu ada pria yang tengah tidur meringkuk dengan berselimutkan jaket saja. Lalu tak jauh dari sana ada bad khusus tempat tidur yang berisi wanita cantik dengan selimut yang Diandra ingat ada di dalam mobil miliknya, itu Githa. Sepertinya lelaki yang tidur di sofa itu adalah Jerry.
Lalu, disebelahnya ada nangkas kecil yang sepertinya digunakan untuk meletakan barang pasien. Diatas nangkas tersebut ada air mineral, Diandra sangat haus. Tenggorokannya terasa kering, namun seorang pria yang tidur duduk dengan posisi menelungkupkan kepalanya sambil memegang tangannya itu membuat gerak Diandra terbatas.
Diandra mencoba menarik pelan tangannya berharap Fandi tidak terusik, tapi gerakan yang sudah Diandra lakukan sepelan mungkin itu tetap membangunkan Fandi juga. Fandi mengerjakan mata pelan, lampu ruangan yang dibuat temaram membuat Fandi harus mengucek mata beberapa kali untuk memastikan bahwa dirinya melihat Diandra terbangun betulan, bukan hanya halusinasinya saja.
"Diandra?" Fandi bertanya memastikan.
"Aku haus."
Mendengar perkataan Diandra, Fandi segera mengambil air mineral yang sudah dirinya siapkan di nangkas. Tadinya Fandi hanya berjaga-jaga, siapa tau Diandra terbangun dan meminta minum, dan ternyata itu betulan terjadi. Fandi kemudian membuka tutup botol air mineral yang masih baru itu, lalu memberikannya kepada Diandra.
Fandi membantu Diandra untuk duduk bersandar dengan nyaman. Diandra bahkan minum hampir setengah botol saking hausnya. Tenggorokannya kering sudah seperti tiga hari terdampar di Padang gurun saja.
"Udah."
Diandra mengusap bibirnya dengan telapak tangan, beberapa air sempat menetes ke dagunya. Melihat hal itu Fandi terkekeh geli, lelaki itu lalu mengusap lembut. Hal itu membuat Diandra tersentak kaget. Diandra kemudian mengembalikan botol air mineral kepada Fandi. Lalu tak lupa mengucap terimakasih kepada lelaki itu.
"Tidur lagi, masih jam tiga subuh." Fandi berkata lembut setelah mengecek ponselnya yang juga diletakan di nangkas.
"Jangan tidur disitu, nanti badan kamu pegel-pegel." Diandra menahan lengan Fandi yang hendak membantunya berbaring lagi.
"Ngga apa-apa, udah biasa." Kekeh Fandi.
"Kamu balik aja ke ruangan Bu Gina, kasian papa kamu sendirian kan tadi."
Diandra baru ingat jika tadi mereka meninggalkan ayah Fandi sendirian di ruangan Bu Gina. Fandi menggelengkan kepalanya pelan, dirinya tidak akan pergi dari sini. Ibunya dijaga sang ayah, tadi juga Fandi sempat mengirimkan pesan kepada Lingga dan bertanya keberadaan adiknya itu, Lingga mengatakan jika dirinya sudah berada dirumah sakit lagi. Lalu Fandi juga mengabarkan jika dirinya berada menjaga Diandra di ruangan sebelah, menjaga Diandra.
Lingga sempat menanyakan siapa Diandra dan mengapa Fandi harus menjaganya, namun tidak Fandi jawab pesan dari adiknya itu. Hanya dibaca saja, lalu Fandi merebahkan kepalanya sambil beberapa kali mengecup punggung tangan Diandra. Bahkan Fandi tak sadar kapan dirinya mulai tertidur.
"Ada adik saya disana. Sudah tidur lagi Diandra." Fandi berkata tegas dan merebahkan Diandra secara paksa.
Diandra menurut saja, lalu memejamkan kembali matanya. Kepalanya benar benar sakit, Diandra berdoa semoga saja dirinya tidak terkena penyakit berbahaya. Terdengar menggelikan, tapi jujur saja Diandra belum siap mati muda. Masih banyak cicilan yang belum lunas.