Di sebuah kota di negara maju, hiduplah seorang play boy stadium akhir yang menikahi empat wanita dalam kurun waktu satu tahun. Dalam hidupnya hanya ada slogan hidup empat sehat lima sempurna dan wanita.
Kebiasaan buruk ini justru mendapatkan dukungan penuh dari kedua orang tuanya dan keluar besarnya, hingga suatu saat ia berencana untuk menikahi seorang gadis barbar dari kota tetangga, kebiasaan buruknya itu pun mendapatkan banyak cekaman dari gadis tersebut.
Akankah gadis itu berhasil dinikahi oleh play boy tingkat dewa ini? Ayo.... baca kelanjutan ceritanya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askararia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
"Aduhhhh aduhhh aduhhhh aduhhhh!" Teriak Harry berguling-guling diatas jalanan, memegangi kedua kakinya sambil menangis terus menerus membuat semua orang disekitar jalan memandanginya aneh.
Sopir yang membawa mobil truk itu pun turun dari mobil dan menatap Harry kesal.
"Hei.... anak muda, kenapa kau menangis seperti itu? Kau tidak tertabrak jadi cepat bangun dari jalan!" Bentak lelaki itu.
Harry terdiam, ia memeriksa kaki yang baik-baik saja sementara semua orang yang melihatnya sebelumnya tertawa kecil membicarakannya.
"Astaga, dia lucu sekali!" Komentar salah seorang pada yang lainnya.
"CEPAT PERGI DARI JALAN, SUDAH BANYAK MOBIL DIBELAKANG!" Bentak salah seorang lagi.
Harry segera menunduk malu, ternyata mobil truk itu menabrak tong sampah dipinggir jalan sementara Harry terkena tong sampah yang berguling itu, wajahnya memerah menahan malu, ia segera berlari memasuki gang sempit yang berasa sedikit jauh dari hotel.
"Aduhhh aku malu sekali!" Ucap Harry mengusap wajahnya beberapa kali.
Harry kembali berlari menyusuri jalan hingga kembali bertemu dengan jalan raya, saya yang bersamaan Nadia melewati jalan itu dan hampir saja menabrak Harry.
Tinnnnnn
Nadia membunyikan klakson, beruntung Harry segera berhenti dan kembali ke atas trotoar.
"Hai Pak, kalau jalan lihat-lihat dong!" Bentak Nadia marah.
Harry membuka matanya lebar-lebar setelah mendengar suara yang familiar itu, matanya berbinar lalu dengan cepat memeluk Nadia yang masih berada diatas motor.
"Huuuu uuu Nadia.... "
"Harry? Kenapa kau ada disini?" Tanya Nadia penasaran.
"Dan... kenapa kau babak belur begini? Kau habis berantam ya? Mana Austin? Kalian tidak sedang bersama?"
"Itu... Nadia... sebenarnya...... " Harry menggantung perkataannya, ia ingin memberitahu Nadia kalau sebenarnya selama ini Austin telah banyak membohonginya sama seperti saat ini, namun entah mengapa lidahnya terasa keluh untuk mengatakan kebenarannya.
"Harry, dimana Austin?"
"Austin ada dirumahnya, dia tidak keluar hari ini!" Jawab Harry berbohong.
Nadia tak berkomentar, melihat Harry yang terlihat lusuh itu membuatnya merasa risih, darah segar dibibir Harry semakin lama semakin mengalir panjang membasahi pipi lelaki muda itu.
"Cepat naik, aku antar ke kost!" Ujar Nadia menyuruh Harry untuk ikut dengannya.
Hal ini tentu tak akan ditolak oleh Harry, ia naik keatas motor berwarna merah muda itu sambil tersenyum meski sesekali ia harus memegangi luka di bibirnya yang sakit sebab senyumnya terlalu lebar. Begitu keduanya pergi barulah Austin dan Jessica keluar dari hotel dengan pakaian yang masih berantakan, setelah menerima kembali kartu identitas miliknya dari resepsionis, Austin segera membukakan pintu mobilnya untuk Jessica.
"Rumahmu dimana?" Tanya Austin tersenyum menatap Jessica yang duduk di sampingnya sambil mengancingkan bajunya yang belum rapi.
"Aku tinggal perumahan dekat alun-alun. Perumahan disana bebas lohhhhh!" Ucap Jessica yang kembali menggoda Austin.
"Bebas? Bebas bagaimana?" Tanya Austin ikut tersenyum.
"Ahhhh, ayolah sayang.... jangan berpura-pura bodoh....., singgah lah kalau mau, kapanpun itu...., owhhh iya aku belum punya nomormu!" Ucap Jessica sambil meraba-raba kaki jenjang milik Austin.
"Astaga, Jessica.... kau begitu liar!"
"Panggil aku Jesi, JESI!"
"Baiklah, Jesi.... berikan aku ponselmu sayang!" Balas Austin yang juga menggoda Jessica dengan mengedipkan matanya pada wanita itu.
Kembali pada Harry dan Nadia, keduanya baru sampai dirumah kos dua ruangan milik Harry yang tampak berantakan sebab sebelumnya ia dan Mayasari atau ibu kandung Harry sempat berdebat sebelum mereka pergi ke kafe.
"Astaga.... kenapa rumahmu terlihat seperti kapal pecah, Harry?" Tanya Nadia kesal begitu Harry membuka pintu kost itu.
"Eummm kebetulan kapal itu kapal Titanic, Nadia. Terjadi musibah sebelum kapalnya pecah!" Jawab Harry menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Titanic itu tenggelam, bukan pecah!" Kesal Nadia yang dengan sigap membantu Harry merapikan dan membersihkan ruangan itu.
"Yah... kejadiannya hampir mirip, Nadia!" Ucap Harry cengengesan.
Usai membersihkan rumah kost milik Harry, Nadia membuka pintu kost itu lebar-lebar, bermaksud agar para penghuni kost disebelah tak berpikir negatif tentang kehadirannya disana, barulah Nadia mengobati luka Harry di teras kost tersebut.
"Sebenarnya kamu ini habis dari mana, Harry?" Tanya Nadia yang masih penasaran akan luka dan lebam di tubuh Harry.
"Aku tadi habis berantem sama orang brengsek!"
"Ehhhh maksudku sama orang mabuk!" Ucap Harry dengan wajah terkejut atas ucapannya sendiri.
Nadia yang sibuk dengan beberapa kapas yang baru saja dibubuhi dengan betadine itu hanya tersenyum kecil.
"Kasihan Harry, Ibunya kaya tapi tidak mau mengakuinya, jadinya dia harus hidup sendiri tanpa ada yang mengurus. Sudah begitu malah salah bergaul, kenapa juga dia harus berteman dengan Austin? Dasar bodohhhhh!" Batin Nadia sambil beberapa kali menatap wajah Harry yang tampak menahan rasa sakit setelah Nadia mengobati luka di bibirnya.
"Tapi, tunggu.... sebenarnya kalau dipikir-pikir... aku juga bodoh sih, kenapa juga dulu aku mau menerima Austin jadi pacarku? Tidak berguna.... " batin Nadia lagi, mengejek dirinya yang sudah terlalu jauh mengikuti Austin selama ini.
"Sudah, kalau begitu aku pulang yah. Mama sama Papa pasti khawatir karena tadi aku buru-buru pergi dari rumah!" Ucap Nadia pada Harry setelah semua luka dan lebam ditubuh lelaki itu selesai ia obati.
Harry memandangi Nadia yang menyimpan kembali kotak P3K itu.
"Tapi kenapa kamu pergi buru-buru dari rumah? Kamu nyariin Austin sampai kamu buru-buru pergi dari rumah, Nadia?" Tanya Harry penasaran.
"Benar juga, alasan kenapa aku pergi dari rumah malam-malam begini kan karena aku merasa ada yang tidak beres pada Austin. Tapi setelah kamu bilang Austin nggak lagi nggak enak badan dirumahnya, kurasa perasaan tidak enak dalam hatiku sudah terjawab!" Jawab Nadia.
"Owh ya? Nadia merasa ada yang nggak beres sama Austin? Itu artinya feeling Nadia benar!" Batin Harry mengerutkan keningnya.
"Sudah ya, aku pulang dulu. Sampai ketemu hari senin!" Ucap Nadia berpamitan.
Baru beberapa langkah menuruni anak tangga Harry merasakan sesak di dadanya. Rasa sakit yang muncul tiba-tiba entah dari mana, namun saat Nadia tersenyum melambaikan tangannya dari bawah sana membuat rasa sakit di dadanya reda beberapa saat.
Dengan senyum lebar Nadia meninggalkan tempat itu, sementara Harry terduduk lemas di depan kostnya tersebut, ia melirik tanggal di ponselnya sambil menahan senyum masam itu. Kakinya membawanya merangkak kedalam rumah, dengan lemas menutup dan mengunci satu-satunya pintu masuk itu.
"Dua puluh April!" Batin Harry.
"Kira-kira Mama tahu nggak yah kalau hari ini hari ulang tahunku?" Tanyanya menatap foto masa kecilnya, dimana ia dan kedua orang tuanya masih bersama serta merayakan hari ulang tahunnya yang ketiga.
Dengan satu tangan sebagai bantal, ia berbaring diatas kasur busa itu, dibukanya kotak pesannya, terlihat nomor Mayasari masih bertuliskan kata 'online' di akun whatsapp miliknya namun wanita itu tak kunjung mengirimkan satu kalimat pun pada anak sulungnya itu.
"Huuuuufff"
Harry menghela nafas panjang, tangannya yang semula terangkat di udara memegangi benda pipih itu tiba-tiba terjatuh lemas begitu saja.
"Lagipula apa gunanya ulang tahun dirayakan? Semakin aku dewasa semakin tua juga Mama dan Papaku, aku baik-baik saja tanpa merayakan hari sial ini, aku baik-baik saja!" Ucap Harry tersenyum namun diujung kelopak matanya air matanya mengalir perlahan tanpa izin.
Sama seperti Harry yang menangis tiba-tiba, Nadia juga merasakan kalau air matanya mengalir tiba-tiba membasahi pipinya, sambil menyetir sepeda motor itu ia tiba-tiba menangis tanpa sebab.
"Hiksss hikksss hiksss!" Tangisnya tiba-tiba, ia merasa sedih sekaligus bingung.
"Kenapa denganku? Kenapa aku menangis tiba-tiba? Kenapa dadaku terasa sesak? Hiksss hiksss hiksss!" Tangisnya, ia berusaha berhenti menangis sebelum ia sampai kerumah namun tampaknya hal itu sia-sia saja.
"Mama..... " ucap Nadia ditengah tangisnya usai ia memarkirkan kendaraannya dihalaman.
Rina yang sejak tadi duduk bersama suaminya diruang tengah sembari menunggu kedatangan Nadia tentu terkejut saat tiba-tiba gadis itu masuk kedalam rumah dengan air mata yang sudah banyak membasahi bagian depan bajunya.
"Nadia, ada apa, Nak? Kenapa kamu menangis?" Tanya Rina panik, begitu juga dengan Mario yang dengan sigap membangunkan kedua anak kembarnya.
"Ardi, Arda, cepat bangun dan ambilkan air minum untuk Kakakmu!" Ucapnya panik dari ambang pintu.
Arda dan Ardi tentu khawatir akan Nadia, segera keduanya membawa air minum untuk Nadia, kini Mario memeriksa setiap siku dan lutut Nadia.
"Apa kau jatuh, Nadia? Katakan pada Papa!"
"Kak Nadia, minum dulu ya, abis itu tarik nafas dalam-dalam!" Ucap Arda menyodorkan air minum ditangannya pada Nadia.
"Nadia, jangan bengong dong sayang. Kamu kenapa? Kenapa kamu menangis? Apa seseorang baru saja memukulmu? Hah? Atau kenapa? Jangan hanya diam dan jawab Mama, sayang!" Tanya Rina yang panik saat Nadia tiba-tiba memeluknya dan menangis semakin keras.
Ardi menatap kakaknya sesaat, dengan cepat ia membawa ponselnya keluar dan memeriksa setiap detail pada motor berwarna merah muda itu.
"Motornya baik-baik saja, itu artinya Kakak tidak mengalami kecelakaan. Kalau begitu......"
"Astaga..... " teriaknya dari arah luar.
Ardi kembali berlari kedalam rumah, menghampiri keempat anggota keluarganya tersebut dengan wajahnya yang memerah.
"Kak Nadia habis diselingkuhi ya? Atau Kakak diancam seseorang? Atau Kakak dinodai? Katakan padaku siapa orangnya, siapa orangnya Kak?" Tanya Ardi setengah berteriak pada Nadia, ia bahkan memisahkan Nadia dari Rina.
"Kak, siapa orangnya?" Tanya Ardi kembali, kini dengan suara yang lebih tinggi dari sebelumnya.
"Ardi... "
"Iya, kak!"
"Kakak nggak tahu kenapa Kakak tiba-tiba menangis, dada kakak rasanya sesak tanpa sebab, seperti ada sesuatu yang buruk baru saja terjadi, tapi Kakak tidak tahu apa penyebabnya!" Jawab Nadia disertai air mata yang terus bercucuran.
Rina, Mario, Ardi dan Arda diam mematung, bertukar pandang dengan raut wajah kebingungan sementara Nadia menundukkan kepalanya sambil terus mengusap air matanya.
"Kenapa bisa begitu?" Batin Ardi menatap aneh pada kakaknya, Nadia.