Marsha Calloway terjebak dalam pernikahan yang seharusnya bukan miliknya—menggantikan kakaknya yang kabur demi menyelamatkan keluarga. Sean Harris, suaminya, pria kaya penuh misteri, memilihnya tanpa alasan yang jelas.
Namun, saat benih cinta mulai tumbuh, rahasia kelam terungkap. Dendam masa lalu, persaingan bisnis yang brutal, dan ancaman yang mengintai di setiap sudut menjadikan pernikahan mereka lebih berbahaya dari dugaan.
Siapa sebenarnya Sean? Dan apakah cinta cukup untuk bertahan ketika nyawa menjadi taruhan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayyun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dalam Pelukan yang Tak Terduga
Marsha terbangun dengan perasaan aneh. Tubuhnya terasa lebih hangat dari biasanya, seolah ada sesuatu yang menyelimutinya. Matanya masih berat. Kesadarannya perlahan kembali, dan saat itulah ia menyadari sesuatu—lengan kokoh melingkari pinggangnya, memeluknya erat. Jantungnya berdegup lebih cepat.
Dengan gerakan pelan, ia menoleh ke samping dan langsung terbelalak saat melihat wajah Sean begitu dekat dengannya. Napas pria itu berhembus lembut di dekat pelipisnya, membuat tengkuknya meremang.
Marsha menelan ludah, mencoba menenangkan pikirannya yang mulai kacau. Ia melirik tubuhnya sekilas untuk memastikan, lalu menghela napas lega begitu mendapati pakaiannya masih utuh.
"Aku masih berpakaian lengkap. Tidak terjadi apa-apa."
Namun, itu tidak serta-merta membuatnya lebih tenang. Ia harus segera melepaskan diri dari pelukan ini sebelum Sean terbangun dan mengira sesuatu yang tidak-tidak.
Dengan hati-hati, ia mencoba bergerak, berharap bisa melonggarkan pelukan Sean tanpa membangunkannya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Begitu ia sedikit bergeser, lengan pria itu semakin erat menariknya, tubuhnya semakin tenggelam dalam dada bidangnya yang hangat. Marsha terkejut dan langsung menahan napas.
Ya ampun… kenapa malah semakin erat?!
Ia tidak berani bergerak lagi. Ia tahu Sean masih dalam kondisi setengah sadar, dan kemungkinan besar pria itu melakukan ini tanpa menyadarinya.
Marsha menggigit bibirnya, terjebak dalam dilema. Jika ia tetap diam, berarti ia harus bertahan dalam posisi ini sampai Sean bangun dengan sendirinya.
Tapi jika ia mencoba melepaskan diri, siapa yang tahu bagaimana reaksi pria itu nanti? Ia tidak punya pilihan. Dengan pasrah, ia tetap diam, berharap waktu berjalan lebih cepat.
Pagi semakin terang. Cahaya matahari mulai menyusup masuk melalui celah tirai, menerangi kamar dengan hangat. Sean mengerjap perlahan, kepalanya masih terasa berat akibat mabuk semalam. Ia menghela napas panjang sebelum menyadari sesuatu yang tidak biasa.
Ada seseorang dalam pelukannya. Aroma lembut yang tidak asing memenuhi inderanya. Hangat. Nyaman. Ia mengernyit dan menurunkan pandangannya sedikit—dan saat itulah matanya bertemu dengan Marsha yang sedang menatapnya dengan wajah penuh kegugupan.
Sean terdiam. Otaknya yang masih setengah sadar mencoba memproses situasi ini. Mengapa ia memeluk Marsha? Dan sejak kapan?
Beberapa detik berlalu sebelum akhirnya ia benar-benar sadar dan refleks melepaskan pelukannya. Marsha langsung bergerak menjauh, duduk di tepi ranjang dengan wajah memerah. Keheningan menyelimuti mereka.
Sean mengusap wajahnya, mencoba mengingat kejadian semalam. Ia mengingat pulang dalam keadaan mabuk, mengingat Marsha yang membantunya, tetapi setelah itu semuanya buram.
"Apa yang terjadi semalam?" tanyanya dengan suara serak, masih sedikit pusing.
Marsha menoleh sekilas sebelum kembali menunduk, seolah berpikir apakah ia harus menjawab atau tidak.
"Kamu pulang dalam keadaan mabuk," jawabnya akhirnya. "Aku bantu kamu ke tempat tidur, terus… nggak tau bagaimana, kamu peluk aku saat tidur."
Sean menatapnya, mencoba mencari tanda-tanda kebohongan di wajahnya, tetapi tidak menemukan apa pun. Ia menghela napas.
"Maaf," katanya singkat, lalu bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi tanpa berkata apa-apa lagi.
Marsha menatap punggung pria itu menghilang di balik pintu. Ada perasaan aneh yang menggelitik dadanya. Sean memang meminta maaf, tetapi ia tidak menunjukkan ekspresi bersalah atau canggung. Seolah ini bukan masalah besar baginya. Dan entah kenapa, hal itu sedikit mengusik perasaan Marsha.
Setelah Sean selesai mandi dan bersiap, ia segera mengambil jasnya dan bersiap untuk berangkat ke kantor. Marsha masih duduk di meja rias, menyisir rambutnya dengan gerakan pelan. Saat Sean hendak pergi, ia berhenti sejenak di dekat pintu dan menoleh ke arah Marsha.
"Jangan lupa sarapan," katanya datar sebelum benar-benar melangkah keluar.
Marsha menoleh cepat, sedikit terkejut mendengar ucapan itu. Ia menatap punggung pria itu yang sudah menghilang di balik pintu. Untuk beberapa saat, ia hanya duduk diam, mencerna kata-kata singkat yang baru saja dilontarkan Sean. Ia tidak mengerti pria itu. Sama sekali tidak mengerti.
...***...