NovelToon NovelToon
Traces Behind The Shadows

Traces Behind The Shadows

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Mafia / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Mata-mata/Agen / Harem
Popularitas:773
Nilai: 5
Nama Author: Yes, me! Leesoochan

Di kota Paris yang penuh intrik, Amina De La Croix, seorang detektif swasta berhijab yang jenius dan tajam lidah, mendapati dirinya terjebak dalam kasus pembunuhan misterius yang menyeret tujuh mafia tampan yang menguasai dunia bawah kota tersebut.

Saat Amina menyelidiki, dia berhadapan dengan Alexander Rothschild, pemimpin mafia yang dingin dan tak tersentuh; Lorenzo Devereux, si manipulator licik dengan pesona mematikan; Theodore Vandenberg, sang jenius teknologi yang misterius; Michael Beaumont, jagoan bela diri setia yang berbicara dengan tinju; Dante Von Hohenberg, ahli strategi yang selalu sepuluh langkah di depan; Felix D’Alembert, si seniman penuh teka-teki; dan Lucien Ravenshaw, ahli racun yang mematikan namun elegan.

Di tengah misteri dan bahaya, sebuah hubungan yang rumit dan tak terduga mulai terjalin. Apakah Amina akan menyelesaikan kasus ini sebelum dirinya terseret lebih dalam ke dunia mereka? Atau justru tujuh mafia ini yang akan takluk oleh keunikan sang detektif?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yes, me! Leesoochan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 6

Ruangan itu dipenuhi dengan suara percakapan rendah, gelas kristal yang berdenting, dan asap tembakau yang melayang di udara. Interiornya berkelas—sofa beludru, lampu gantung temaram, dan aroma wiski mahal yang menyatu dengan udara malam.

Di sudut ruangan, dikelilingi oleh orang-orang berpengaruh, duduklah Alexander Rothschild.

Setelan biru gelapnya terlihat sempurna, dasi peraknya terikat dengan presisi, dan jari-jarinya dengan santai mengetuk gelas anggurnya. Wajahnya tetap tenang, tetapi saat matanya bertemu dengan Amina, ada perubahan halus, sebuah ketertarikan yang terselubung, atau mungkin, evaluasi diam-diam.

Amina tidak berhenti.

Ia berjalan mendekat dengan langkah percaya diri, tidak tergesa-gesa tetapi juga tidak ragu. Salah satu anak buah Rothschild bergerak untuk menghentikannya, tetapi pria itu hanya mengangkat satu tangan, memberi isyarat agar mereka membiarkan Amina mendekat.

"Kau berani sekali datang ke sini tanpa undangan," kata Rothschild dengan nada santai. "Tidak banyak orang yang bisa melakukannya dan tetap keluar dari tempat ini dalam keadaan hidup."

Amina duduk tanpa dipersilakan, menatap langsung ke matanya. "Aku bukan orang kebanyakan."

Senyum kecil muncul di bibir Rothschild. "Jelas sekali." Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, mengamati Amina seakan sedang membaca buku yang menarik. "Jadi, apa yang membuat seorang detektif berani masuk ke sarang serigala?"

Amina melipat tangannya di meja. "Aku ingin jawaban. Tentang pembunuhan di Hotel Beaumont. Tentang transaksi keuangan yang mengarah padamu."

Rothschild memutar gelas anggurnya, matanya masih tetap fokus padanya. "Dan apa yang membuatmu berpikir bahwa aku ada hubungannya dengan semua itu?"

Amina tersenyum tipis. "Seseorang mencoba membunuhku tadi malam. Biasanya, itu berarti aku sudah terlalu dekat dengan kebenaran."

Rothschild tertawa kecil. "Atau mungkin, kau hanya mulai mengganggu orang yang salah?"

Hening.

Amina bisa merasakan ketegangan yang menggantung di antara mereka. Beberapa pria di sekitar Rothschild mulai gelisah, tetapi sang bos tetap tenang, seolah menikmati permainan ini.

"Aku hanya ingin tahu satu hal, Rothschild," lanjut Amina, suaranya lebih rendah. "Apakah kau sekadar mengendalikan permainan ini? Atau kau sendiri yang menarik pelatuknya?"

Ekspresi Rothschild berubah sedikit, matanya menyipit. Tetapi alih-alih menjawab, ia malah tersenyum lebih lebar.

"Kau menarik, Amina," katanya pelan. "Aku mengerti kenapa banyak orang ingin menyingkirkanmu."

Amina tidak gentar. "Aku juga mengerti kenapa banyak orang takut padamu."

Rothschild terkekeh. "Bagus. Lalu, apa yang kau harapkan dari percakapan ini?"

Amina mencondongkan tubuh ke depan. "Kebenaran."

Rothschild menatapnya selama beberapa detik yang terasa seperti berabad-abad. Lalu, ia meletakkan gelas anggurnya dengan lembut di meja.

"Kau tidak akan menyukai apa yang akan kau temukan," katanya akhirnya.

Amina tidak berkedip. "Itu bukan urusanmu."

Rothschild tertawa kecil, lalu mengangkat tangannya. Seorang pelayan datang membawa secarik kertas kecil dan meletakkannya di depan Amina.

"Ada seseorang yang mungkin bisa membantumu," katanya, nada suaranya penuh teka-teki. "Tapi jika kau memilih untuk pergi lebih dalam… jangan pernah berharap bisa keluar utuh."

Amina menarik napas dalam-dalam. Bau tembakau mahal masih menggantung di udara, bercampur dengan aroma kulit dari sofa mewah di ruangan itu. Matanya tidak lepas dari Alexander Rothschild, pria yang kini duduk santai di balik meja kayu besar.

Di luar, kota Paris masih berdenyut dalam gemerlapnya, tapi di dalam ruangan ini, ketegangan seperti membentuk udara yang bisa dipotong dengan pisau.

Alexander mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja, ritmis, seolah sedang menghitung waktu sebelum sesuatu meledak. Matanya tajam, mengamati Amina seperti seorang pemburu yang menilai mangsanya.

Tapi Amina bukan mangsa.

"Aku harus akui, kau punya nyali," kata Alexander akhirnya. Suaranya rendah, berat, seperti seorang pria yang terbiasa berbicara dengan otoritas. "Tidak banyak orang yang berani masuk ke sarang singa dan menatap langsung ke matanya."

Amina menyilangkan tangan di dadanya. "Dan tidak banyak singa yang cukup bodoh untuk membiarkan pintu sarangnya terbuka," balasnya, nada suaranya dingin.

Senyum kecil muncul di sudut bibir Alexander. Bukan senyum yang ramah, lebih seperti seseorang yang baru saja menemukan sesuatu yang menarik. "Aku penasaran, Amina. Apa yang sebenarnya kau inginkan?"

"Jawaban," jawab Amina tanpa ragu.

Alexander mengangkat alisnya. "Jawaban?" Ia bersandar ke belakang, lalu menatapnya seakan menimbang-nimbang sesuatu. "Jawaban seperti apa yang kau harapkan?"

Amina tidak tergoda oleh permainan kata-kata pria itu. Ia mencondongkan tubuh ke depan, tatapannya tajam. "Aku tahu kau terlibat dalam pembunuhan di Hotel Beaumont."

Untuk pertama kalinya sejak mereka berbicara, ekspresi Alexander berubah sedikit. Hanya sekejap, mungkin kurang dari satu detik, tapi Amina menangkapnya.

Menarik.

"Apa yang membuatmu begitu yakin?" tanyanya akhirnya.

Amina mengeluarkan sebuah foto dari sakunya dan meletakkannya di atas meja. Foto seorang korban dengan tanda khas di pergelangan tangannya. Sebuah tato berbentuk kepala burung hantu.

"Tanda ini," kata Amina. "Aku sudah melacaknya. Simbol yang sama ditemukan di beberapa orang yang bekerja untukmu."

Alexander melirik foto itu, lalu kembali menatap Amina. "Dan kau pikir aku yang menarik pelatuknya?"

Amina mendekatkan dirinya ke meja, menantang. "Aku tidak berpikir. Aku tahu."

Keheningan menyelimuti ruangan. Detik-detik berlalu dengan berat.

Lalu Alexander tertawa.

Bukan tawa keras, tapi sebuah tawa rendah, pelan, seperti seseorang yang baru saja mendengar lelucon yang sangat menarik.

"Amina," katanya sambil menggeleng. "Kau menarik. Aku harus mengakuinya."

Amina tetap diam. Ia tahu ini adalah bagian dari taktik Alexander. Membuatnya lengah, mengalihkan perhatian.

"Baiklah," lanjut Alexander. Ia berdiri, berjalan ke sisi ruangan dan menuangkan segelas anggur merah. "Katakanlah aku memang terlibat. Lalu apa? Kau ingin menyeretku ke pengadilan? Menuliskan berita skandal besar? Atau..." Ia menatap Amina dari balik gelasnya. "Kau punya rencana lain?"

Amina mengepalkan tangannya di sisi tubuhnya. "Aku ingin keadilan."

Alexander tertawa lagi. Kali ini lebih singkat, tapi tetap penuh ejekan. "Keadilan? Kau lucu, Amina."

Amina tetap diam.

Alexander meletakkan gelasnya di meja, lalu menatapnya dengan serius. "Aku akan memberimu satu kesempatan untuk mundur."

Nadanya berubah. Tidak ada lagi permainan kata-kata, tidak ada lagi tawa. Yang tersisa hanya peringatan yang dingin.

"Kau punya waktu 24 jam untuk meninggalkan kasus ini," lanjutnya. "Kalau tidak, kau tidak akan menyukai konsekuensinya."

Amina menatapnya tanpa berkedip. "Kau pikir aku takut?"

Alexander tersenyum tipis. "Tidak. Aku pikir kau cukup pintar untuk tahu kapan harus berhenti."

Keheningan kembali menyelimuti mereka.

Amina akhirnya berdiri. Ia tidak menjawab, tidak membantah. Ia hanya mengambil foto itu kembali, memasukkannya ke sakunya, lalu berjalan menuju pintu.

Tapi sebelum ia keluar, ia berhenti sejenak dan menoleh.

"Kita lihat siapa yang lebih pintar, Alexander."

Lalu ia pergi.

Di luar, udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Amina menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya.

1
ceritanya bagus nuansa Eropa kental banget,
romantisnya tipis karena mungkin sesuai genrenya, tapi aku suka baca yang seperti ini.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!