NovelToon NovelToon
Harga Diri Seorang Istri

Harga Diri Seorang Istri

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Wanita Karir / Penyesalan Suami / Selingkuh / Romansa
Popularitas:5.8k
Nilai: 5
Nama Author: Bunda SB

Indira pikir dia satu-satunya. Tapi ternyata, dia hanya salah satunya.

Bagi Indira, Rangga adalah segalanya. Sikap lembutnya, perhatiannya, dan pengertiannya, membuat Indira luluh hingga mau melakukan apa saja untuk Rangga.

Bahkan, Indira secara diam-diam membantu perusahaan Rangga yang hampir bangkrut kembali berjaya di udara.

Tapi sayangnya, air susu dibalas dengan air tuba. Rangga diam-diam malah menikahi cinta pertamanya.

Indira sakit hati. Dia tidak menerima pengkhianatan ini. Indira akan membalasnya satu persatu. Akan dia buat Rangga menyesal. Karena Indira putri Zamora, bukan wanita biasa yang bisa dia permainkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda SB, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Batas Penghinaan

Jam dinding di ruang tamu menunjukkan pukul sebelas malam ketika Indira memutar kunci pintu depan. Hari panjang di kantor yang dipenuhi dengan rapat dengan investor, review kontrak proyek baru, dan persiapan ekspansi Zamora Company ke tiga kota besar membuatnya lelah tapi puas.

Pintu terbuka. Indira melangkah masuk dengan tas kerja di bahu dan heels yang mulai membuatnya pegal. Ia berniat langsung naik ke kamar, mandi air hangat, dan mungkin membaca laporan keuangan sambil minum wine sebelum tidur.

Tapi langkahnya terhenti begitu matanya menangkap pemandangan di ruang keluarga.

Di sana, di sofa yang biasa ia duduki untuk menonton televisi atau membaca buku, Rangga duduk bersama seorang wanita. Ayunda. Istri keduanya.

Mereka duduk sangat dekat, terlalu dekat untuk dua orang yang seharusnya tahu ada istri sah yang masih tinggal di rumah ini. Rangga memeluk pinggang Ayunda, sementara kepala wanita itu bersandar manja di bahu suaminya. Di meja ada dua gelas wine yang hampir habis, dan televisi menyala dengan film romantis yang sedang diputar.

Pemandangan domestik yang sempurna. Pemandangan sepasang pengantin baru yang sedang menikmati malam bersama.

Di rumah yang bukan milik mereka berdua.

Indira berhenti di ambang ruang tamu, menatap adegan itu dengan wajah tanpa ekspresi. Tidak ada terkejut. Tidak ada marah. Tidak ada lagi yang bisa membuat hatinya yang sudah mati rasa itu tersentuh.

Ayunda adalah orang pertama yang menyadari kehadirannya. Wanita itu langsung duduk tegak, sedikit terlonjak. Tapi kemudian entah karena berani atau karena bodoh ia tersenyum.

"Kak Indira, sudah pulang?" sapanya dengan nada yang dibuat-buat ramah.

Indira tidak menjawab. Ia hanya menatap sekilas dengan tatapan kosong, yang tidak berminat lalu berbalik, hendak naik tangga.

"Indira, tunggu." Suara Rangga menghentikan langkahnya.

Indira berhenti di anak tangga pertama, tapi tidak berbalik. Punggungnya menghadap mereka, sikap yang jelas menunjukkan ia tidak tertarik untuk bicara.

"Kita... perlu bicara," Rangga berdiri, melepaskan pelukannya pada Ayunda. Suaranya terdengar gugup.

"Tidak perlu," jawab Indira datar. "Aku lelah. Aku mau istirahat."

"Tapi Indira..."

"Apa?" kali ini Indira berbalik, menatap suaminya dengan tatapan yang membuat Rangga mundur selangkah. Tidak ada amarah di mata itu. Yang ada hanya kekosongan yang lebih menakutkan dari teriakan. "Apa yang perlu dibicarakan? Kalian sudah menikah. Kalian sudah jadi pasangan suami istri yang sah. Apa lagi yang perlu dijelaskan?"

"Aku... ingin minta maaf," Rangga menelan ludah, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. "Maafkan aku karena... menikah lagi dengan Ayunda tanpa... izinmu."

Indira hampir tertawa. Izin? Sejak kapan pengkhianat minta izin sebelum berkhianat?

"Oke," ucapnya singkat. "Apology accepted. Sekarang aku bisa pergi?"

"Tidak, tunggu," Rangga melangkah mendekat, tapi tidak terlalu dekat seolah takut Indira akan meledak. "Aku... ingin jelaskan alasannya."

"Tidak perlu..."

"Kita sudah menikah tiga tahun, Dira," potong Rangga, suaranya mulai terdengar defensif. "Tiga tahun, dan kamu tidak kunjung hamil. Aku... butuh keturunan. Aku butuh anak untuk meneruskan perusahaan keluarga. Dan dokter bilang kamu yang..."

"Mandul?" Indira menyelesaikan kalimatnya dengan nada yang sangat tenang. "Kata yang kamu cari adalah 'mandul', Rangga. Dokter bilang aku yang mandul. Jadi kamu menikahi wanita lain untuk dapat anak. Begitu?"

Rangga terdiam, tidak menyangka Indira bisa sesabar ini mendengar alasan yang jelas-jelas menyakitkan.

"Ya," akhirnya ia mengakui. Toh Indira sudah tahu. "Aku butuh keturunan. Dan Ayunda... bisa memberikan itu."

Indira menatap suaminya atau mantan suaminya, karena dalam hatinya ia sudah tidak menganggap pria ini sebagai apa-apa lagi. Ia ingin tertawa. Ingin berteriak. Ingin mengatakan bahwa ia tidak mandul.

Tapi ia tidak mengatakan apa-apa.

"Baiklah," ucap Indira. "Kalau itu alasanmu, oke. Aku mengerti. Sekarang aku bisa pergi?"

Rangga menatap istrinya dengan campuran lega dan bingung. Kenapa Indira semudah ini menerima? Kenapa tidak ada tangisan? Tidak ada drama?

"Ada satu hal lagi," Rangga melanjutkan, kali ini semakin gugup. "Aku... mengajak Ayunda untuk tinggal di sini. Bersama kita."

Akhirnya Indira bereaksi, alisnya terangkat sedikit. "Di rumah ini?"

"Ya," jawab Rangga cepat. "Aku pikir... akan lebih baik kalau kalian bisa kenal lebih dekat. Ayunda adalah bagian dari keluarga sekarang. Dan aku harap kalian bisa akrab. Saling mendukung. Seperti... saudara."

Keheningan mengisi ruang tamu. Ayunda menatap Indira dengan tatapan menilai, mencoba membaca reaksi wanita yang seharusnya menjadi musuhnya. Rangga berdiri dengan napas tertahan, menunggu ledakan yang tidak pernah datang.

Dan Indira? Indira hanya menatap suaminya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca.

Seperti saudara.

Absurd tidak cukup menggambarkan situasi ini. Ini adalah penghinaan level tertinggi.

"Oke," akhirnya Indira menjawab dengan nada yang membuat Rangga tidak yakin ia mendengar dengan benar.

"Oke?" ulang Rangga. "Maksudmu... kamu setuju?"

"Ya," jawab Indira datar. "Ayunda bisa tinggal di sini. Aku tidak keberatan."

Rangga menghela napas panjang, napas lega yang sangat terlihat jelas. "Terima kasih, Dira. Aku... tidak menyangka kamu akan sebaik ini. Aku pikir kamu akan marah, tapi ternyata kamu..."

"Aku mau ke kamar," potong Indira, sudah tidak tertarik mendengar lebih jauh. "Permisi."

Ia berbalik, hendak naik tangga. Tapi suara Rangga menghentikannya lagi.

"Dira, tunggu. Ada satu hal lagi."

Indira berhenti, tidak berbalik. Ia sudah tahu. Entah kenapa ia sudah tahu apa yang akan Rangga katakan selanjutnya. Dan ia sudah menyiapkan mental untuk itu.

"Kamar utama," Rangga berbicara pelan, hampir berbisik. "Aku... sudah pindahkan barang-barangmu ke kamar tamu. Yang di ujung koridor. Kamar utama sekarang... untuk aku dan Ayunda."

Hening.

Tidak ada reaksi dari Indira. Ia hanya berdiri diam di tangga, punggungnya menghadap mereka. Tapi jika Rangga bisa melihat wajahnya, jika ia cukup berani untuk menatap mata Indira saat ini, ia akan melihat kilatan sesuatu yang gelap. Sesuatu yang berbahaya.

Tapi Rangga tidak melihat. Ia hanya melihat punggung istrinya yang diam, dan ia mengartikannya sebagai penerimaan.

"Aku harap kamu mengerti," lanjut Rangga, terdengar lega karena Indira tidak berteriak. "Ayunda adalah istri ku sekarang. Dan sebagai istri, dia berhak atas kamar utama. Tapi kamar tamu juga nyaman, kok. Bahkan lebih luas dari..."

"Aku mengerti," potong Indira dengan suara yang sangat, sangat tenang. Terlalu tenang. "Aku akan tidur di kamar tamu."

"Terima kasih, Dira," Rangga terdengar begitu lega hingga hampir gembira. "Terima kasih sudah pengertian. Aku... tahu ini berat untukmu, tapi percayalah, ini yang terbaik untuk kita semua. Kita bisa hidup harmonis. Seperti keluarga besar."

Indira tidak menjawab. Ia hanya melanjutkan naik tangga satu anak tangga, dua anak tangga, dengan langkah yang terkontrol dan tenang. Sampai di lantai dua, ia berjalan melewati kamar utama menuju kamar tamu di ujung koridor.

Pintu kamar utama sedikit terbuka, dan Indira bisa melihat sekilas barang-barang Ayunda sudah berserakan di dalam. Tas mahal di sofa. Sepatu-sepatu di rak. Parfum di meja rias yang dulu milik Indira.

Ia tidak berhenti. Ia terus berjalan sampai ke kamar tamu, kamar yang biasa dipakai untuk tamu menginap, yang meskipun nyaman tapi jelas bukan kamar utama.

Indira membuka pintu. Benar saja, barang-barangnya sudah dipindahkan ke sini. Pakaiannya di lemari, skincare-nya di meja kecil, buku-bukunya di rak samping tempat tidur. Semuanya sudah dipindahkan dengan rapi, seolah ini adalah hal yang wajar, seolah ini bukan pengusiran dari kamarnya sendiri.

Indira menutup pintu. Menguncinya. Lalu berjalan ke jendela, menatap keluar ke taman belakang yang gelap.

Tangannya yang tadi terkepal erat perlahan mengendur. Ia menarik napas panjang satu, dua, tiga. Mengontrol diri. Mengontrol amarah yang ingin meledak.

Di saku blazer-nya, ponsel bergetar. Pesan dari Rani.

"Gimana? Sudah pulang? Dinner tadi enak kan?"

Indira menatap pesan itu. Dinner tadi dua jam lalu memang enak. Ia dan Rani makan di restoran Jepang merayakan kesuksesan langkah pertama rencana mereka. Saat itu ia merasa senang, merasa berkuasa, merasa menang.

Tapi sekarang?

Sekarang ia pulang dan menemukan selingkuhan suaminya sudah mengambil alih rumahnya. Mengambil alih kamarnya. Duduk di sofa-nya. Minum wine dari gelas-nya.

Dan suaminya yang begitu bodoh, berfikir jika Indira menerima semua ini karena ia pengertian.

Indira mengetik balasan dengan jari yang bergetar karena amarah yang ia tahan.

"Ran, kamu tidak akan percaya apa yang baru terjadi. Rangga membawa Ayunda tinggal di rumahku. Dan mereka mengusirku dari kamar utama ke kamar tamu."

Balasan Rani datang dalam hitungan detik.

"APA?! DIA GILA?! DIRA, KAMU GAPAPA??"

"Aku baik-baik saja. Lebih dari baik."

"Maksudmu?"

"Rangga pikir aku 'menerima' dengan baik. Dia pikir aku 'pengertian'. Dia tidak tahu bahwa setiap penghinaan yang dia lakukan hari ini akan aku balas sepuluh kali lipat."

"Dira... apa rencanamu?"

Indira menatap keluar jendela, ke arah kamar utama yang lampunya masih menyala. Ia bisa mendengar samar-samar suara tawa Ayunda,tawa seorang wanita yang pikir ia sudah menang.

"Aku akan biarkan mereka merasa aman. Biarkan mereka pikir aku sudah menyerah. Biarkan mereka menikmati kemenangan palsu mereka. Dan saat mereka lengah, saat mereka sudah merasa paling aman..."

Indira berhenti mengetik, senyum tipis muncul di bibirnya, senyum yang dingin, yang penuh perhitungan.

"...aku akan menghancurkan semuanya. Tidak hanya perusahaan Rangga. Tapi juga pernikahan mereka. Harga diri mereka. Masa depan mereka. Semuanya."

Indira mematikan ponselnya, meletakkannya di meja nakas. Ia melepas blazer, melepas heels, lalu duduk di tepi tempat tidur, tempat tidur di kamar tamu, di rumahnya sendiri.

Ia tidak menangis. Air mata sudah habis sejak lama. Yang tersisa hanya kemarahan yang dingin, yang terkontrol, yang berbahaya.

Rangga pikir Indira pengertian. Rangga pikir Indira lemah. Rangga pikir Indira menerima penghinaan demi penghinaan dengan pasrah.

Tapi Rangga tidak tahu siapa Indira sebenarnya. Ia tidak tahu bahwa wanita yang ia usir dari kamar utama adalah pemilik perusahaan yang baru saja menghancurkan proyek terbesar perusahaannya.

Ia tidak tahu apa-apa.

Dan ketidaktahuannya itu akan menjadi kehancurannya.

1
Ariany Sudjana
itu hukum tabur tuai Rangga, terima saja konsekuensinya. Indira kamu sia-siakan demi batu kerikil
yuni ati
Menarik/Good/
Ma Em
Alhamdulillah Indira sdh bisa keluar dari rumahnya, Rani emang sahabat terbaik , pasti Rangga kaget pas buka kamar Indira sdh pergi .
Wulan Sari
ceritanya semakin kesini semakin menarik lho bacanya, seorang istri yg di selingkuhi suami,bacanya bikin greget banget semoga yg di aelingkuhi lepas dan cerita akhirnya happy end semangat 💪 Thor salam sukses selalu ya ❤️👍🙂🙏
Wulan Sari
suka deh salut mb Indira semangat 💪
Ma Em
Makanya Rangga jgn sok mau poligami yg akhirnya akan membawamu pada penyesalan , kamu berbuat sesuka hati membawa istri keduamu tinggal bersama Indira istri pertamamu dan mengusirnya dari kamarnya dan malah tinggal dikamar tamu kan kamu gila Rangga , emang Indira wanita hebat dimadu sama suami tdk menangis tdk mengeluh berani melawan berani bertindak 👍👍💪💪
Nany Susilowati
ini novel tahun berapakah kok masih pake SMS
Ariany Sudjana
Rangga bodoh, apa dengan mengunci Indira di kamar tamu, maka Indira akan berubah pikiran? justru akan membuat Indira semakin membenci Rangga
Ma Em
Semoga Indira berjodoh dgn Adrian setelah cerai dgn Rangga .
Ariany Sudjana
Indira harus bercerai dari Rangga, ngapain juga punya suami mokondo, dan juga kan Rangga sudah punya Ayunda. lebih baik Indira kejar kebahagiaan kamu sendiri, apalagi kamu perempuan yang mandiri. masih ada Adrian, yang lebih pantas jadi suami kamu, dan yang pasti lebih berkelas dan bertanggung jawab
Dew666
🥰🥰🥰
Mundri Astuti
mending kamu pisah dulu Dira sama si kutil, biar ga jadi masalah ntar klo sidang cerai
Wulan Sari: iya cerai saja buat apa RT yang sudah ada perselingkuhan sudah tidak kondusif di teruskan juga ga baik mana ada seorang wanita di selingkuhi mau bersama heee lanjut Thor semangat 💪
total 1 replies
Ariany Sudjana
Rani benar Indira, jangan terus terpuruk dengan masalah rumah tangga kamu. kamu perlu keluar dari rumah toxic itu, perlu waktu untuk menyenangkan diri kamu sendiri. kamu tunjukkan kamu perempuan yang tegar, kuat dan mandiri
Ma Em
Rangga lelaki yg banyak tingkah punya usaha baru melek saja sdh poligami , Indira saja sang istri pertama tdk pernah dikasih nafkah eh malah mendatangkan madu yg banyak maunya yg ingin menguasai segalanya , Ayunda kira nikah dgn Rangga bakal terjamin hidupnya ga taunya malah zonk
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas sama itu pelakor. urusan rumah tangga dan cari pembantu bukan urusan kamu lagi, tapi urusan Ayunda, yang katanya ingin diakui jadi nyonya rumah 🤭🤣
Ma Em
Indira hebat kamu sdh benar kamu hrs berani melawan ketidak Adilan dan mundur itu lbh baik serta cari kebahagiaanmu sendiri Indira daripada hidupmu tersiksa 💪💪💪
Ariany Sudjana
bagus Indira, kamu harus tegas dan tetap berdiri tegak, di tengah keluarga yang mengagungkan nama baik, tapi tingkah laku keluarga itu yang menghancurkan nama baik itu sendiri. sudah Indira, tinggalkan saja Rangga, masih banyak pria mapan yang lebih bertanggung jawab di luar sana dan tidak sekedar menghakimi kamu
Ariany Sudjana
itulah hukum tabur tuai, Rangga sudah memilih Ayunda jadi istrinya, ya terima semua kelebihan dan kekurangannya, jangan mengeluh dan jangan berharap Indira akan berubah pendirian
Dew666
😍😍
Ma Em
Bagus Indira emang kamu hrs berani dan tegas pada suami yg menghargai keberadaan kamu untuk apa msh mau menuruti apa kemauan Rangga sedangkan Rangga sendiri sdh berbagi hati dgn wanita lain , buat Rangga menyesal karena sdh menduakan kamu Indira .
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!