Niat hati hanya ingin menolong seorang pria yang baru saja mengalami kecelakaan motor tunggal di jalanan, namun keadaan itu malah dimanfaatkan oleh seorang wanita yang tidak bertanggung jawab.
Alana dipaksa menikah hari itu juga oleh segerombolan orang-orang yang menangkap basah dirinya bersama seorang pria di sebuah kontrakan. Alana tidak dapat membela diri karena seorang wanita berhasil memprovokasi massa yang sudah berdatangan.
Bagaimanakah cara Alana menghadapi situasi ini?
Bisakah dia mengelak atau malah terpaksa menikah dengan pria itu? Pria yang tidak dia kenal sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6.
Sore menjelang malam, moge Azzam sudah terparkir di depan kontrakan. Alana melompat turun dan berjalan lebih dulu, dia sama sekali tidak peduli pada Azzam yang masih duduk di atas motor.
Sesampainya di dalam kontrakan yang hanya sepetak itu, Alana langsung masuk ke dalam kamar mandi dan dengan cepat membuka pakaian lalu membersihkan diri.
Lagi-lagi Alana melakukan kesalahan seperti tadi siang, dia tidak membawa pakaian ganti dan terpaksa membungkus tubuhnya dengan handuk kepunyaan Azzam.
Saat membuka pintu, Alana terkesiap melihat Azzam yang tengah berbaring di kasur hanya mengenakan celana pendek, luka di lengan dan kakinya terbungkus perban.
"Sss... Azzam, aku tidak punya pakaian ganti." cicit Alana dengan wajah merah merona, dia malu sekaligus takut Azzam melakukan sesuatu padanya, dia belum siap dan tidak akan siap.
Azzam mengangkat leher dan menaikkan sebelah alis, dia bisa melihat bagaimana gugupnya Alana dalam keadaan seperti itu lalu turun dari tempat tidur dan berjalan mendekati Alana.
"Apa yang kau lakukan? Tolong jangan mendekat!" Alana termundur ke belakang, punggungnya membentur pintu lemari.
"Kenapa wajahmu jadi pucat begini? Apa yang kau takutkan?" Azzam menyeringai membentuk senyuman nakal, manik matanya bergerak turun mematut dada Alana yang menonjol indah.
Ah, Azzam rasanya ingin sekali menerkam Alana dan membantingnya di kasur. Alana benar-benar mempesona dengan kulitnya yang putih mulus dan lekuk tubuhnya yang aduhai. Bulir air yang menetes di leher Alana membuat tenggorokan Azzam tiba-tiba mengering.
"Apa kita akan melakukannya sekarang?" Azzam menumpukan kedua telapak tangan di pintu lemari, tepat di setiap sisi lengan Alana, detak jantungnya tidak terkendali.
"Tidak Azzam, jangan!" geleng Alana menutup mata perlahan, kakinya gemetaran dengan jantung berdegup sangat kencang. Alana tidak tau bagaimana cara menghindar, dia seperti kehilangan tenaga untuk menjauh.
Lalu Azzam menggerakkan tangannya, menyibak rambut Alana dan menyisipkan di daun telinga. Perlakuan Azzam itu membuat Alana semakin tidak berdaya, dadanya kembang kempis menahan rasa sesak.
"Hehe... Jangan takut, sayang! Aku tidak akan menyentuhmu tanpa izin, biarkan aku menikmati pemandangan indah ini sejenak, masa' tidak boleh sih?"
Azzam mengulum senyum dan mengelus pipi Alana dengan punggung telunjuknya, wajahnya kian mendekat hingga hidung keduanya beradu.
"A-azzam..." Alana terbata sembari meremas ujung handuk sekuat tenaga, tidak ada yang bisa dia lakukan selain menutup mata dan menggigit bibir.
"Hmm... Manis sekali," gumam Azzam dengan suara tercekat di tenggorokan.
"Azzam, tolong menjauhlah! Aku-"
"Kamu seperti magnet, sayang. Sulit bagiku untuk menjauh." desis Azzam menggerakkan hidungnya di pipi Alana, memiringkan kepalanya lalu mengecup bibir Alana pelan.
"Azzam..." cicit Alana membuka mata, dia memelototi Azzam dan mendorong dadanya.
"Aaakh... Tanganmu lembut sekali, sayang." Azzam menghela nafas berat dan membuangnya kasar.
"Cukup, Azzam! Kau sudah sangat keterlaluan." kembali Alana mendorong dada Azzam hingga tubuh suaminya itu termundur ke belakang.
Azzam mengerutkan kening dan mengulas senyum getir. "Ambil pakaianmu di lemari!"
Setelah mengatakan itu, Azzam melengos pergi memasuki kamar mandi, sedikit membanting pintu hingga membuat Alana terperanjat kaget.
Beberapa menit berselang, Azzam keluar dengan tubuh yang lebih segar dari sebelumnya. Perban di lengan dan kakinya sudah dibuka dan dia pun dengan cepat mengambil pakaian di lemari lalu mengenakannya terburu-buru.
Setelah merapikan pakaian dan menyisir rambut, Azzam memutar tubuhnya menghadap Alana yang tengah duduk di sisi ranjang dalam balutan piyama tidur. Ya, ternyata Azzam sudah menyiapkan keperluan Alana diam-diam.
"Aku pergi, kau tidur saja dan jangan menungguku, aku tidak akan pulang malam ini." Azzam berbalik badan dan melangkah menuju pintu.
"Kau mau kemana?" seru Alana sembari bangkit dari duduknya dan berjalan menyusul Azzam yang tiba-tiba mematung di ambang pintu.
Azzam mengukir senyum, merasa senang karena Alana sedikit mempedulikan dirinya. "Aku ada urusan penting. Istirahatlah, kau pasti sangat lelah."
"Ini sudah malam, Azzam. Apa tidak bisa urusannya diselesaikan besok saja?" cicit Alana dengan tatapan tak biasa.
"Tidak bisa, temanku sudah menunggu." jawab Azzam enteng.
"Teman siapa? Pria atau wanita?" tanya Alana menyipitkan mata.
"Wanita, memangnya kenapa?" jawab Azzam mengulum senyum.
Alana terdiam dan mundur beberapa langkah. Dia tergagap dengan mata berbinar, mungkin seharusnya dia tidak perlu menanyakan itu.
"Kenapa? Kok malah diam?" tanya Azzam menahan tawa.
"Tidak apa-apa, pergilah!" Alana memutar tubuhnya dan kembali menghampiri ranjang. Dia menaikinya dan berbaring memunggungi Azzam yang masih enggan meninggalkan kontrakan.
"Hei, jangan tidur dulu! Kunci pintunya!" seru Azzam geleng-geleng kepala.
"Pergi saja, nanti aku kunci." sahut Alana dengan suara sumbang. Dia sedikit kecewa setelah mendengar ucapan Azzam tadi, dia tau hubungan mereka tidak memiliki dasar, tapi tetap saja dia tidak senang saat Azzam ingin bertemu dengan seorang wanita, apalagi malam-malam begini. Urusan apa?
"Ya sudah, tidur yang nyenyak. Ingat, besok hari pertama kau bekerja, jangan sampai telat!" sorak Azzam.
"Tidak perlu diingatkan aku juga tau," Alana menarik selimut dan menutup tubuhnya yang tiba-tiba gemetar kedinginan. Entah suhu ruangan yang terlalu dingin atau hatinya yang tengah diterpa hujan salju, dia tidak tau.
Azzam hanya tersenyum mematut punggung Alana lalu melangkah ke luar dan menutup pintu perlahan.
Setelahnya, Azzam menyalakan moge miliknya dan berlalu pergi meninggalkan komplek.
Azzam tak hentinya tersenyum saat memacu laju motornya di sepanjang jalan yang dia tempuh, ekspresi Alana tadi seakan menyiratkan rasa ketidaksukaan yang mendalam, namun tak mampu diungkapkan dengan kata-kata.
Lagian siapa suruh Alana selalu saja menganggapnya seperti orang asing. Azzam hanya ingin mengerjai sang istri dan membuatnya merasa bersalah.
Mana mungkin Azzam bertemu wanita, seumur hidup dia tidak pernah tertarik untuk berhubungan dengan perempuan manapun. Kehadiran Alana bahkan seperti mimpi baginya.
Setelah kurang lebih setengah jam menyisir jalanan, Azzam kemudian memutar stang mogenya ke sebuah gedung pencakar langit. Dia memarkirkan motornya di basement lalu turun dan memasuki bangunan tersebut.
"Selamat datang, Tuan."
Kedatangan Azzam disambut hangat oleh beberapa petugas yang ada di lobby. Azzam hanya tersenyum dan melanjutkan langkahnya menuju lift.
Saat lift berhenti di lantai dua puluh, Azzam berjalan tegap dengan tangan tersimpan di saku celana. Kedatangannya langsung disambut oleh seorang pria yang sejak siang tadi ditugaskan merenovasi unit miliknya yang sudah lama kosong.
"Malam, Tuan. Silahkan!"
Pria itu membukakan pintu, Azzam melangkah masuk dan mematut setiap sudut unit itu dengan teliti, dia tidak ingin anak buahnya melakukan kesalahan meski sekecil apapun.
Azzam kemudian manggut-manggut, desain yang ditampilkan sudah cukup nyaman menurutnya. Semua perabotan tertata rapi dengan dinding yang dipoles cat berwarna putih, sangat cocok dengan seleranya.
Lalu Azzam memasuki kamar satu-satunya yang ada di unit itu, dia cukup puas dan tersenyum kepada anak buahnya yang berjalan di belakang.
Nuansa putih yang dia minta terlihat nyaman dipandang mata, ini melambangkan bahwa nanti cintanya juga akan seputih ini, tidak boleh cacat sedikitpun.
"Bagaimana dengan yang lain? Pakaian, alat kecantikan, tas, sepatu, kebutuhan pokok dan segala macam?" tanya Azzam mengerutkan kening.
"Semua sudah diatur, Tuan. Besok semuanya akan rampung, lusa Tuan dan Nona sudah bisa menempati unit ini." jawab pria yang bernama Rudi itu.
"Bagus, sekarang pulanglah! Aku akan menginap malam ini." Azzam kembali meninggalkan kamar dan memilih tidur di ruang tamu. Dia tidak akan menyentuh ranjang barunya sebelum membawa Alana pindah ke unit itu.