Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 4 Kamar yang Selalu Terkunci
Pagi itu matahari enggan menampakkan wajahnya. Kabut masih menggantung di antara batang-batang pisang di belakang rumah. Ayam-ayam pun malas berkokok. Seisi kampung seolah ikut bungkam menyimpan rahasia malam sebelumnya.
Reno duduk di beranda, matanya masih merah karena tak bisa tidur. Ajo duduk di sampingnya sambil menyeruput kopi hitam yang sudah dingin.
“Ren,” ujar Ajo pelan. “Kau yakin mau buka kamar itu? Kamar bapakmu itu, sejak dulu pun tak pernah dibuka orang.”
Reno mengangguk pelan. “Tapi semalam suara itu jelas. Katanya sumur dan kamar bapak adalah kunci. Kalau memang benar ada rahasia, aku harus tahu.”
Ajo menghela napas panjang. “Aku ndak berani ikut masuk, tapi aku tunggu di luar. Kalau kau tiba-tiba teriak, ya... aku lari dulu, baru balik bantu.”
Reno tertawa kecil, meski tawanya hambar. “Dasar pengecut.”
Mereka berdiri pelan-pelan dan menuju bagian belakang rumah, tempat kamar ayah Reno berada. Sejak sang ayah meninggal setahun lalu, kamar itu selalu terkunci rapat. Kuncinya pun entah di mana. Reno hanya tahu dari ibunya bahwa kamar itu tak boleh dibuka siapa pun kecuali ayahnya sendiri.
“Kalau kunci ndak ketemu, kita dobrak saja?” tanya Ajo setengah bercanda.
Reno menggeleng, lalu mengeluarkan kunci kecil dari saku celananya. “Waktu bersih-bersih kemarin aku nemu ini di celengan kaleng. Kayaknya ini kuncinya.”
Tangan Reno gemetar saat memutar anak kunci. Suara klik terdengar pelan. Pintu itu terbuka dengan derit berat, seolah sudah berkarat oleh waktu dan rahasia.
Ruangan itu gelap dan pengap. Bau apek langsung menyeruak. Tapi yang membuat Reno tertegun adalah... tak ada satu pun jendela di dalam kamar itu. Hanya ada satu ranjang kayu, lemari tua, dan sebuah rak berisi tumpukan buku serta kertas-kertas lusuh.
Ajo menyusul masuk pelan-pelan. “Kamar apa ini, Ren... macam tempat penyimpanan naskah kuno saja.”
Reno membuka salah satu buku di rak. Isinya bukan tulisan biasa. Tulisan tangan itu berupa aksara kuno dan simbol-simbol yang tak dikenalnya.
“Ini... bukan buku biasa. Ini kayak catatan orang pintar. Bapakku... pernah belajar ilmu semacam ini?”
Ajo menunjuk ke arah lemari.
“Coba buka itu. Siapa tahu ada petunjuk lain.”
Reno membuka lemari tua itu dengan pelan. Di dalamnya tergantung beberapa pakaian lama dan... sebuah kotak kayu kecil yang terlihat sangat tua. Ada ukiran tengkorak di sisi depannya.
Reno dan Ajo saling pandang.
“Aku rasa... ini bukan kotak bekal biasa,” gumam Ajo.
Reno membuka kotak itu. Di dalamnya ada kain putih, seikat rambut panjang, dan secarik kertas dengan tulisan tangan:
“Jika kau membaca ini, berarti janji telah patah. Hati-hati dengan malam Jumat Kliwon berikutnya. Darah akan dicari kembali.”
Ajo langsung terduduk.
“Ren, sumpah... ini bukan main-main. Ini macam pesan dari alam sebelah. Apa maksudnya darah dicari?”
Reno menatap tulisan itu dengan dada sesak. Ia merasa seolah seluruh hidupnya selama ini adalah permukaan dari sebuah sumur yang dalam... sangat dalam.
“Jo, ini semua pasti ada hubungannya dengan Palasik itu. Ayahku menyimpan semua ini. Mungkin dulu beliau terlibat dalam sesuatu.”
Tiba-tiba terdengar suara dari luar kamar.
Greeekkk... guk guk guk...
Anjing kampung yang biasanya diam, kini menggonggong keras dari arah sumur.
Ajo berlari ke jendela. “Ren! Lihat! Di atas sumur itu... ada asap hitam. Bukan asap biasa!”
Reno menutup kotak kayu itu rapat-rapat dan memasukkannya ke dalam tas kecil.
“Kita harus cari Pak Yahya lagi. Malam Jumat Kliwon berikutnya tinggal seminggu. Kita harus tahu apa sebenarnya janji yang dilanggar itu.”
Ajo menatap Reno dengan wajah pucat.
“Dan siapa yang bakal jadi ‘darah’ berikutnya...”
Sore itu langit mendung. Matahari bersembunyi di balik awan kelabu. Pepohonan di pekarangan rumah Reno bergoyang pelan diterpa angin. Di sudut halaman, sumur tua yang dikelilingi semak-semak tampak lebih gelap dari biasanya. Tak ada suara burung, tak ada cengkerik. Alam seolah menahan napas.
Reno berdiri di depan sumur itu, ditemani Ajo dan Pak Yahya. Sejak kejadian kemarin di kamar ayahnya, Reno merasa ada tali yang menarik-nariknya kembali ke tempat ini.
“Asap itu,” Reno menunjuk ke mulut sumur. “Aku lihat sendiri tadi malam. Asapnya bukan seperti asap kemenyan. Hitam dan tebal. Seolah hidup.”
Pak Yahya mengangguk perlahan. “Sumur ini sudah lama tak digunakan. Tapi nenekmu pernah bilang... sumur ini dulunya tempat memandikan mayat sebelum dikuburkan. Dulu, tiap malam Jumat, airnya selalu dipakai untuk ritual.”
Ajo memeluk tubuhnya sendiri. “Duh, Ren... aku menyesal ikut-ikut ini. Badanku merinding terus sejak kita buka kamar bapakmu. Sekarang sumur tua pula yang dibahas.”
Pak Yahya menunduk, mengamati batu-batu di sekitar bibir sumur. Ia mengelus jenggotnya lalu berkata, “Kalian tahu, dulu... ada orang pintar dari desa ini yang berselisih paham dengan dukun dari desa sebelah. Mereka beradu ilmu. Saling kirim guna-guna. Salah satu korban... konon katanya, dikubur hidup-hidup di dalam sumur.”
Ajo langsung mundur dua langkah. “Apa maksud Pak Yahya, Palasik itu mungkin... arwah dari korban yang dikubur di sini?”
Pak Yahya tak menjawab. Ia hanya mengangguk perlahan sambil menarik napas dalam.
Reno menatap dalam ke arah sumur. “Kalau itu benar... kenapa ayahku menyimpan semua simbol dan catatan aneh itu? Apa beliau terlibat?”
Sebelum Pak Yahya sempat menjawab, angin tiba-tiba bertiup kencang. Daun-daun beterbangan. Suara denting logam terdengar dari dalam sumur, seolah ada sesuatu yang jatuh ke dalamnya.
Pak Yahya langsung membacakan doa pelindung.
“Kita tak boleh tinggal di sini terlalu lama. Makhluk itu bisa mendengar. Bahkan bisa mencium ketakutan kita.”
Ajo menggenggam lengan Reno. “Ren, aku ada usul. Bagaimana kalau kita ajak orang kampung ramai-ramai ke sini. Gelar pengajian besar. Bersihkan tempat ini pakai doa.”
Pak Yahya menggeleng. “Ndak bisa sembarangan. Kalau Palasik itu benar-benar terbangun karena janji yang dilanggar, maka hanya yang memiliki hubungan darah atau pewaris perjanjian yang bisa menuntaskannya.”
Reno terdiam. Ia memikirkan kalimat Palasik malam itu: “Anak dari penjaga… pewaris janji.”
“Pak Yahya... apakah mungkin ayahku adalah penjaga perjanjian itu?”
Pak Yahya memandang Reno lama.
“Mungkin saja. Dan mungkin juga... beliau telah gagal menjaga janji itu.”
Tiba-tiba Ajo menunjuk ke arah rumah. “Pak! Ren! Itu di jendela kamarmu!”
Mereka menoleh cepat. Di jendela kamar ayah Reno, tampak bayangan hitam. Rambut panjang tergerai. Matanya merah menyala. Hanya sekejap, lalu lenyap.
Ajo berlari ke belakang Reno. “Ren... besok pagi aku akan ke kota. Aku titip salam untuk ibumu. Kalau aku ndak balik, bilang aku kangen bakwan dia.”
Pak Yahya menepuk pundak Ajo. “Jangan takut. Ini baru permulaan. Kita harus kumpulkan semua petunjuk. Ada seseorang yang harus kalian temui... dia mantan murid ayahmu. Sekarang tinggal di ujung desa, namanya Pak Cokro.”
Reno mengangguk mantap. “Kalau itu bisa menjawab semua teka-teki ini, aku akan ke sana.”
Pak Yahya menatap langit yang semakin gelap. “Tapi jangan sekarang. Malam ini, jangan ada yang keluar rumah. Palasik bisa berkeliaran, terutama saat malam Jumat mendekati bulan gelap.”
Ajo menelan ludah. “Bulan gelap? Maksudnya... mati lampu massal?”
“Bukan, Jo,” kata Pak Yahya. “Bulan mati itu istilah... saat bulan tak muncul semalam penuh. Saat itulah makhluk-makhluk seperti Palasik paling kuat.”
Reno menatap sumur itu untuk terakhir kalinya sebelum mereka kembali masuk ke rumah.
Malam nanti, mereka hanya bisa menunggu... sambil berharap, Palasik itu belum memilih korbannya.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...