Jelita Maheswari, gadis yang kecantikannya selalu tertutupi dengan penampilannya yang sangat sederhana, bahkan terkesan kolot. Dia menerima pinangan dari seorang wanita setengah baya, yang menginginkannya untuk menikah dengan putranya, karena merasa tidak enak untuk menolak permintaan wanita itu. Pernikahan yang semula dianggap akan memberikan kebahagiaan buatnya, benar-benar jauh dari harapan. Gavin Melviano, pria yang dijodohkan dengan Jelita, terlihat sangat tidak menyukainya, karena penampilan Jelita yang benar-benar tidak fashionable. Namun, pria itu terpaksa menerima Jelita sebagai istri, demi supaya harta kekayaan orang tuanya tidak jatuh ke tangan Jelita. Gavin bahkan menuduh Jelita, mau menerima lamaran mamanya, hanya demi harta.
Akankah Jelita bisa bertahan dengan sikap Gavin yang selalu menghinanya? dan apakah Gavin selamanya akan menatap hina Jelita?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rosma Sri Dewi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lebih baik dia tidak usah turun tadi
Jelita bangun dari tidurnya, dan melihat jam yang ada di dinding. Ternyata jam sudah menunjukkan hampir jam 6 pagi. Jelita bergegas masuk ke dalam kamar mandi, membasuh wajahnya dan menggosok giginya. Kemudian wanita itu, menatap pantulan dirinya di depan cermin.
"Apa aku memang jelek? sepertinya aku tidak terlalu jelek kan?" gumam Jelita seraya mendekatkan wajahnya ke cermin.
"Hmm, iya sih. Wajahku emang kusam tidak terawat. Aku tidak secantik wanita-wanita yang ada di sekeliling dia," Jelita menghela napas panjang, merasa kecewa dengan dirinya sendiri.
"Astaga! aku tidak boleh kecewa dengan diriku sendiri, itu sama aja aku tidak menghargai Tuhan yang telah menciptakanku sehat dan sempurna seperti ini," Jelita tersadar, dan tanpa berpikir panjang, wanita itu kembali keluar dari kamar mandi.
Pemandangan pertama yang dia lihat adalah Gavin suaminya yang masih terlihat pulas.
"Hmm, kalau lagi tidur seperti ini, kamu terlihat seperti seorang malaikat, tapi kalau sudah bangun, kamu berubah menjadi orang yang kejam. Di balik wajahmu itu, orang gak bakal menyangka kalau kamu bisa mengucapkan kata-kata yang sangat menyakitkan," Jelita menghela napasnya sembari menggeleng-gelengkan kepalanya.
Setelah puas menatap wajah Gavin, Jelita mengayunkan kakinya melangkah menuju pintu. Akan tetapi, tiba-tiba langkahnya terhenti dan kembali menoleh untuk menatap wajahnya suaminya itu.
"Seandainya kamu tidak membenciku, pasti aku akan menjadi orang yang bahagia bisa melihat pemandangan indah seperti ini setiap hari," batin Jelita mengagumi Gavin yang tampak tampan. Jelita senyum-senyum sendiri, membayangkan Gavin mendekapnya dengan erat di ranjang yang ditiduri oleh Gavin sekarang.
"Apaan sih aku? kenapa aku bisa semesum ini?" Jelita mengetuk-ngetuk keningnya sendiri.
"Ingat, Jelita, jangan mimpi!" sambungnya kembali, sembari melanjutkan langkahnya ke luar.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Jelita mengayunkan kakinya melangkah ke arah dapur untuk berniat membantu menyiapkan sarapan. Lamat-lamat dia dengan dua orang wanita yang sedang asik bercengkrama di dapur.
Jelita nyaris saja masuk dan menyapa dua orang itu, tapi dia memilih untuk mundur ketika salah satu dari dua wanita itu, menyebutkan namanya.
" Enak sekali si Jelita itu ya, Bude Pakai pelet apa dia sampai-sampai bisa menikah dengan tuan muda. Aku aja yang sudah lama di sini, dan tidak kalah cantik dari dia, gak bisa menikah dengan tuan muda," ucap wanita muda yang Jelita tahu bernama Sari itu.
"Hush, gak boleh begitu! Kamu jangan panggil dia Jelita, tapi kami harus panggil dia Nona, karena dia itu istri den Gavin." Bik Narti menyahut, tidak Tampa terprovokasi dengan celotehan Sari.
"Bude, kenapa bela dia sih? lihat aja, baru saja jadi istri tuan muda, dia berasa sudah seperti nyonya besar. Jam segini belum bangun." Sari masih mencoba memprovokasi bik Narti yang merupakan kepala asisten rumah tangga sekaligus budenya itu.
"Sarii, bude tidak membela dia, tapi tidak baik berbicara seperti itu, Nak. Dari wajah Non Jelita, bude yakin kalau non Jelita itu orang baik. Kaau menurut kamu dia sudah berasa seperti Nyonya besar, harusnya kamu maklum. Mereka kan baru menikah kemarin, jadi pasti kecapean,"
Sari terlihat semakin kesal, melihat budenya yang sama sekali tidak terpengaruh dengan ucapannya. Wajah wanita itu seketika berubah merah membayangkan apa yang terjadi antara Gavin, tuan muda yang menjadi objek fantasinya selama ini.
"Sari, apa yang kamu lakukan itu?! lihat ayamnya kamu buang ke tempat sampah," tegur Bik Narti dengan nada yang sedikit tinggi.
"Aduh, maaf, Bude! Sari tidak sengaja!" Sari hendak mengambil kembali ayam yang sempat dia buang ke tempat sampah itu.
"Jangan diambil lagi! itu sudah kotor karena tercampur dengan sampai lain," cegah Bik Narti dengan cepat.
"Makanya kalau melakukan sesuatu itu jangan mengahayal! bersihkan pikiranmu dari rasa iri. Kalau emang den Gavin dari dulu suka sama kamu, dia dari dulu pasti sudah melamar kamu. Jadi, kamu tidak boleh terlalu berharap dan menghayal terlalu tinggi. Karena kalau kamu terjatuh, rasanya akan sakit," oceh biK Narti yang ditanggapi dengan bibir yang mengerucut dari Sari.
"Ternyata, bukan hanya mas Gavin yang tidak menyukaiku. Ada Sari yang sepertinya menganggap aku, sebagai penghalangnya untuk mendapatkan perhatian dari mas Gavin,"
Batin Jelita dengan raut wajah sedih.
Jelita memilih mundur terlebih dahulu, dan bersenandung dari jarak yang agak jauh, supaya Sari dan bik Narti tidak curiga kalau dia sudah mendengar perbincangan mereka tadi.
"Pagi, Bi Narti, Pagi, Mba Sari!" sapa Jelita berusaha untuk bersikap biasa.
"Pagi, Non Jelita!" balas bik Narti sopan yang disertai dengan senyuman di bibirnya.
"Pagi, Non!" sahut Sari dengan nada malas, dan sedikit ketus. Sehingga membuat Bik Narti melotot ke arah gadis itu.
Jelita menyunggingkan senyum lebarnya, berusaha untuk bersikap apatis dengan sikap yang ditunjukkan oleh Sari. Baginya, kalau dia balas bersikap ketus, tidak akan bisa membuat Sari berubah tidak membencinya, justru rasa benci di hati Sari akan semakin besar.
"Apa yang bisa aku bantu, Bi?" Jelita menunjukkan sikap manisnya, membuat Sari merai jengah.
"Cih, sok manis!" umpat Sari dalam hati.
"Tidak perlu, Non. Non Jelita duduk aja di sana!"
"Gak boleh begitu, Bi. Aku tetap mau bantu," tolak Jelita sembari meraih pisau dari tangan bik Narti. Kemudian dia melanjutkan mengiris bawang yang tadi sempat dikerjakan oleh bik Narti.
"Oh ya, Bi, Mbak Sari, kalian jangan manggil aku non ya! panggil aja namaku langsung, Jelita tanpa adanya embel-embel, non." celetuk Jelita dengan tangan yang tetap melanjutkan pekerjaannya.
"Oh, tidak boleh seperti itu, Non! kamu itu sekarang sudah termasuk majikan kami. Jadi,.sudah sepantasnya kami memanggil kamu Non Jelita, bukan begitu, Sari?" Bik Narti berucap sembari mencuci sayuran di wastafel.
Sementara itu, Sari terlihat gelagapan, mendapat pertanyaan dari budenya yang tiba-tiba.
"Eh, i-iya, Non!" sahut Sari, yang seperti orang linglung karena tidak tahu mau melakukan apa.
"Tapi, aku sepertinya tidak pantas dipanggil, Non, Bi. Aku lebih senang jika dipanggil nama saja," Jelita bersikukuh dengan keinginannya.
"Maaf, Non, kalau untuk itu kami tidak bisa. Kami akan tetap memanggil kamu, Non Jelita," pungkas Bik Narti tegas tak terbantahkan lagi.
"Emm, ya udah deh kalau begitu! aku tidak boleh memaksa, Bibi." Jelita tersenyum dan memberikan bawang yang sudah selesai dia iris.
Sementara itu, Sari terlihat garuk-garuk kepala, karena dirinya benar-benar bingung tidak tahu mau berbuat apa.
"Aduh, kalau begini, lebih baik Jelita tidak turun tadi. Ternyata nggak ngelakuin apa-apa itu, aneh rasanya," batin Sari, yang seketika lupa dengan umpatannya tadi, ketika dirinya berpikir kalau Jelita bersikap seperti nona besar yang tidak mau turun dan membantu.
Tbc