NovelToon NovelToon
Senandung Hening Di Lembah Bintang

Senandung Hening Di Lembah Bintang

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romansa Fantasi
Popularitas:321
Nilai: 5
Nama Author:

Berada di titik jenuh nya dalam pekerjaan Kania memutuskan resign dari pekerjaan dan menetap ke sebuah desa. Di mana di desa tersebut ada rumah peninggalan sang Kakek yang sudah lama Kania tinggalkan. Di desa tersebutlah Kania merasakan kedamaian dan ketenangan hati. Dan di desa itu jugalah, Kania bertemu dengan seorang, Bara.

5

Tiap pagi-nya, rutinitas Kania lari pagi dengan jalan memutar, lalu berhenti di ‘’Senja Ranu’’ untuk menikmati segelas teh ditambah pisang goreng atau bakwan hangat yang disajikan oleh Ibu Wati. Mengobrol sebentar dengan Ibu-nya Bara, berbagi informasi tentang desa Ranu Asri. Setelah itu, dengan alasan takut mengganggu kerja Kania, Bu Wati masuk kembali ke rumah utama. Meninggalkan Kania dengan setumpuk pekerjaan yang harus dikerjakan atau direvisi.

‘’Mas Bara’’ sapaku seperti biasa. Lalu duduk di tempat favoritku, didepan etalase kerja Bara membuat kopi. ‘’Mas, hari ini aku ga mau teh ya, mau coba kopi yang selalu mas Bara buat.’’ Pintaku.

‘’Tumben’’

‘’Mau coba dong kopi yang ditanam, di giling dan dibuat sendiri sama pemilik perkebunan kopi terbesar di Desa Ranu Asri’’ jelasku panjang lebar.

Hampir seminggu selalu ‘’nongkrong’’ di Senja Ranu, Kania semakin kagum dengan sosok Bara. Selain menjalankan bisnis kopi, ternyata Bara mempunyai perkebunan terluas dan hasil panen biji kopi nya selalu menghasilkan kualitas terbaik. Bara juga masih sempat membantu mengurus perkebunan, keuangan perkebunan, membeli pupuk, dll.

Kalau kata Ibu-nya Bara, dia selalu bisa diandalkan, sangat luar biasa pintar, tapi minus nya, umur sudah 32 tahun, tapi masih belum punya kekasih. Itu yang dibilang Ibu Wati pada suatu pagi saat mereka sedang mengobrol santai. Dari Ibu Wati juga Kania tahu, Bara jomblo sudah lama, jika ditanya kapan mengenalkan kekasih, jawaban nya selalu ‘’nanti kalau sudah ketemu yang cocok’’, tapi tahun berganti tidak juga ada perempuan yang dibawa untuk diperkenalkan.

Menurut Ibu sih, mungkin karena Bara orang-nya kaku. Kata Ibu lagi, banyak kok gadis desa sini atau desa sebelah yang menyukai Bara, bahkan dengan terang-terangan bilang suka, tapi dengan sadis, ungkapan para gadis itu tidak ditanggapai, bahkan hanya di tatap datar oleh Bara. Selain, Laras, tidak ada perempuan yang dekat dengan Bara.

Nah, Laras ini menurut Ibu lagi, teman sepermainan Bara sejak kecil. Dari teman seangkatan Bara, yang bisa tahan dengan sifat kaku dan datar-nya hanya Radit dan Laras. Kania sendiri, belum pernah bertemu Radit dan Laras. Kata Ibu sih mereka suka ngumpul tiap Sabtu malam disini bersama para pemuda desa untuk saling bertukar informasi atau hanya sekedar melepas lelah.

Dan, Sabtu ini Kania diajak Dini untuk datang. Kania jadi tidak sabar ingin mengenal sosok Radit dan Laras, teman sepermainan Bara dari kecil. Karena dari tadi terus melamun, Kania jadi tidak mood bekerja hari ini. Entah kenapa, dia ingin mengobrol dengan Bara.

‘’Mas, mana kopi-ku’’

‘’Sebentar’’ beberapa saat kemudian, Bara membawa secangkir kopi yang kuminta.

Kuhirup aroma kopi yang sangat wangi. Aroma yang kaya, didominasi oleh wangi rempah tanah, sedikit karamel dan kacang kacangan yang lembut. Aroma menenangkan dan terasa alami.

‘’Enak sekali mas. Kopi-nya tidak tajam atau mengganggu perut. Menurutku rasa kopi ini, tidak berusaha menjadi sesuatu yang mewah, tetapi hanya menampilkan kualitas alaminya sendiri.’’

Kusadari kali ini Bara menatapku dengan lembut. ‘’Saya menyajikan kopi Arabika, yang ditanam, dipanen dan diolah sendiri di kebun keluarga.’’ Jelas Bara. Aku takjub, baru kali ini Bara berbicara agak panjang. Ternyata sesuatu yang membuatnya tertarik adalah biji kopi.

‘’Rasa kopi-nya emang beda dari yang biasa kuminum, mas. Sering kali kopi yang kuminum pahit dan dicampur berbagai perisa.’’ Ucap Kania. Lalu meneguk lagi kopi-nya. Lalu melanjutkan bicara dengan pelan dan sendu. ‘’Setelah meminum kopi buatan mas Bara, aku tidak lagi merasakan jantung berdebar karena kafein, melainkan merasakan kehangatan yang menyebar dari dada.’’ Lalu dalam sekali teguk Kania menghabiskan kopi racikan Bara.

Mata Bara tidak lepas menatapnya. ‘’Berapa banyak kopi yang kamu minum tiap harinya’’ tanya Bara.

‘’Pagi, karena masih mengantuk efek lembur malam sebelumnya, setelah makan siang, sore saat meeting dan malam karena lembur’’ kata Kania.

‘’Ini terakhir kamu minum kopi di kedai-ku’’ larang Bara.

Aku mengerucutkan bibirku. ‘’Kok pelit sih mas. Aku beli kok besok besok ga usah kasih gratis lagi’’ tawarku.

Tanpa ku duga, dia menyentil dahiku pelan. ‘’Demi kesehatanmu, Kani’’ bangkit perlahan dan mulai kembali fokus menggiling kopi secara manual.

Tadi mas Bara manggilku Kani? Dia menyingkat namaku jadi Kani? Ini pertama kalinya Bara menyebut namanya. Padahal dia bicara dengan kaku dan datar, tapi efek-nya buat jantung Kania luar biasa, jantung nya serasa sedang berdisko didalam tubuhnya. Aish, si kaku ini malah bisa membuat dadaku berdebar.

Dengan wajah memerah Kania berkata. ‘’Mas, aku pulang dulu ya. Makasih kopi-nya ya.’’ Lalu dengan bergegas Kania meninggalkan kedai kopi Ranu Senja.

Dengan riang Kania tiba di rumah nya. Dan sudah ada Dini yang menunggu nya.

‘’Udah lama, Din.’’

‘’Belum kok, mbak. Abis dari Ranu Senja ya, mbak.’’

‘’Iya’’ aku memutar kunci, lalu masuk ke rumah.

Kali ini tidak perlu kupersilahkan masuk, Dini sudah mengikutiku dari belakang. Langsung aja Dini mencari sapu karena hari ini jatah Dini membantuku beres2 rumah. Sebenernya sih, Kania cuma minta Dini untuk membantu nya menggosok baju. Tapi Dini menolak kalau cuma menggosok aja. Jadi kesepakatan nya tiap seminggu sekali, Dini datang dia akan beberes seperti biasanya. Ya, aku sih ga menolak ya kalau dibantu, hehehe.

‘’Din, aku mandi dulu ya.’’

‘’Iya mbak’’ sahutnya dari arah dapur.

Begitu selesai mandi kulihat Dini sudah menggelar alas gosok, dan mulai menggosok. Aku mengambil minuman dingin untuk Dini, dan membawa nya ke meja. Karena kulihat Dini belum mengambil minum untuk dirinya sendiri, mungkin masih sungkan kalau belum ditawari mengambil minum sendiri.

‘’Din, di meja ya minuman nya. Lain kali ambil sendiri aja ya, ingat kita teman.’’ Aku berkata lembut.

Dini menghentikan aktivitas nya sejenak, matanya berbinar terang. ‘’Makasih mbak sudah menganggap Dini teman mbak Kania.’’ Katanya bahagia.

Aku tersenyum hangat. ‘’Mulai sekarang jangan sungkan lagi ya, Din.’’ Lanjut Kania. Dini mengangguk antusias, lalu kembali melanjutkan menggosok yang tadi sempat terhenti.

‘’Selama ini yang baik cuma mas Bara dan Mas Radit, selebihnya aku hanya berteman dengan Ibu Ibu, teman sebaya lebih memilih menjaga jarak dariku. Makanya aku senang bisa punya teman, apalagi seperti mbak Kania.’’ Terang Dini.

‘’Seperti aku itu maksud nya gimana, Din’’ tanyaku lembut. Aku lebih memilih tidak mencari tahu kenapa teman sebaya Dini memilih menjaga jarak darinya. Kuduga karena mungkin Dini tidak sederajat dengan mereka. Ternyata di desa juga sama ya, hanya mau berteman dengan mereka yang mempunyai derajat yang sama.

‘’Karena mbak Kania dari kota. Hebat kan seorang Dini yang dari lahir tinggal di desa, bisa punya teman ‘’orang kota’’, dan sangat cantik.’’ Ada kebanggaan yang tersirat dari penjelasan nya.

Hehehhehe, aku tertawa. ‘’Dini hebat deh bisa mendapat teman orang kota.’’

‘’Dini ya tidak sabar Sabtu besok mbak, pengen lihat wajah wajah kagum mereka saat tau Dini datang bersama mbak Kania.’’ Lanjutnya.

‘’Pasti mereka ya biasa aja, Din.’’ Sahutku.

Dini terlihat menggelengkan kepalanya seakan tidak setuju dengan perkataan Kania. ‘’Ndak toh mbak, tidak tau aja sejak mbak datang sudah banyak yang membicarakan mbak Kania. Mereka pasti tidak sabar melihat sosok mbak Kania secara dekat, besok, mbak Kania sudah pasti menjadi pusat perhatian.’’

‘’Pasti tidak sabar melihat orang kota yang tinggal di desa ya.’’ Tanyaku.

‘’Itu daya tariknya. Selain itu, mereka pengen tahu, perempuan mana yang bisa membuat seorang Bara Satria Jaya, rela membuang waktu nya hanya untuk menemani seorang perempuan yang duduk diam, hanya fokus dengan laptopnya aja.’’

Kania terkejut, dia baru mendapatkan fakta ini. ‘’Eh, bukannya emang mas Bara itu selalu stay di kedai ya Din?’’ Tanyaku.

‘’Gak toh mbak. Mas Bara itu, saking sibuknya tidak pernah terlihat di satu tempat untuk waktu yang lama.’’ Jawab Dini. Lalu melanjutkan. ‘’Pagi itu, mas Bara hanya membuat kopi untuk dirinya sendiri, ada kepuasan meminum kopi hasil dari racikan nya sendiri, kalo kata mas Bara, self healling terbaik ya saat pagi dengan membuat kopi. Dan pasti mas Bara langsung lanjut ke perkebunan, meninjau para pekerja, menanyai ada masalah apa, ada hama atau tidak ya begitulah. Lanjut lagi, ke kantor ngecek pembukuan keuangan, ngecek bibit, supplier, ada kendala apa dari proses pengiriman. Dan biasanya kalau udah di kantor mas Bara akan sampai malam karena banyak yang di urus.’’ Jelas Dini lagi.

‘’Kalau sesibuk itu, kenapa mas Bara tidak bilang. Aku kira memang mas Bara biasa stay di kedai, Din.’’

‘’Ndak ada yang tahu, mbak. Makanya besok mbak pasti menjadi pusat perhatian, perempuan yang membuat Bara rela meluangkan waktu nya hanya untuk menemani perempuan yang sibuk dengan pekerjaan nya.’’

Aku menghela napas, ada perasaan tidak enak terhadap Bara. Dugaan-ku Bara tidak enak kalau untuk mengusirku, atau bilang sebenarnya Kedai nya belum buka sepagi itu.

‘’Aku jadi tidak enak Din’’ ujarku lesu.

‘’Justru, Bude Wati, sangat senang dengan perkembangan ini mbak.’’

‘’Maksudnya.’’ Tanyaku lagi.

‘’Loh iya senang pastinya Bude Wati, ya baru pertama kali ini mas Bara tidak jutek dengan perempuan, apalagi mau meluangkan waktu nya hanya demi mbak Kania yang tiap hari cuma kerja di depan laptop dan mengabaikan keberadaan mas Bara.’’kekeh Dini.

‘’Dari mana bisa Ibu Wati senang nya, Din? Kita aja jarang ngobrol. Cuma menyapa saat datang dan bilang makasih saat selesai’’

Dini terlihat membereskan alas setrika, mencabut kabel, dan menata baju yang sudah rapi kedalam keranjang merah besar. Lalu Dini menuang air kedalam gelas yang tadi kusediakan dan meminum dalam sekali teguk, gelas kosong itu dia taruh di meja kembali, lalu melanjutkan berkata.

‘’Karena hanya mbak Kania, yang tidak melakukan apapun tapi mendapat atensinya mas Bara.’’

Aku mencerna informasi barusan. Dini mengangkat keranjang merah, dan membawa masuk ke kamar, kemudian mengambil gelas kosong dan botol minuman air ke dapur, memasukkan botol ke kulkas, lalu mencuci gelas bekas minumnya. Lalu duduk disebelahku.

‘’Menurutmu kenapa Din’’

‘’Kenapa apanya, mbak’’

‘’Mas Bara’’

‘’Tertarik, apalagi mbak. ‘’

‘’Kurasa tidak, mungkin suatu bentuk kesopanan. Karna aku mengira kedai nya sudah buka, dan tidak enak menolak pelanggan.’’

Dini menggeleng. ‘’Dengan tidak diusir dan tidak ditinggalkan nya mbak Kania seorang diri, sudah menjelaskan segalanya. Bahkan, Laras tidak pernah diperlakukan seperti mbak Kania.’’

Nama itu lagi tersebut, Laras. ‘’Teman masa kecil mas Bara?’’ Tanyaku.

‘’Mbak Kania tahu.’’ Aku mengangguk, Dini melanjutkan. ‘’Semua warga menyebut mereka pasangan serasi, mayoritas warga menganggap Laras adalah calon istri ideal bagi Bara. Cantik, pintar karena mbak Laras guru, aktif di desa dan sangat mencintai desa kita.’’

Kania sudah membayangkan sosok Laras ini. Perempuan cantik, anggun dan lembut. Memahami seluk beluk desa ini dengan segala masalahnya, memahami pekerjaan Bara dan hal hal lain tentang perkebunan. Entah kenapa Kania mendesah pelan. Sudah jelas Laras adalah wanita ideal yang dikagumi warga lokal.

‘’Mereka sepasang kekasih’’ kataku pelan.

‘’Gak mbak, dekat secara alami karena teman masa kecil, sering bertemu di komunitas, satu tujuan untuk mengembangkan desa, sering terlibat obrolan tentang kegiatan desa, sekolah atau masa depan desa.’’

‘’Pasti mereka serasi sekali.’’ Ujarku. Dini menatapku lembut.

‘’Tapi aku lebih suka mas Bara dan mbak Kania.’’

Aku tersenyum.’’Aku tidak selamanya disini, Din.’’

Raut wajah sedih Dini terlihat. ‘’Kuharap mbak Kania selamanya disini.’’

‘’Aku disini untuk menyembuhkan diri sendiri, Din.’’ Jelasku. ‘’Rutinitas sebelumnya membuatku depresi, aku tidak baik baik saja. Merasa lelah, tidak tau makna hidup lagi, terasa kosong disini.’’ Aku menunjuk dadaku sendiri.

Dini terkejut. ‘’Apapun itu, kuharap setelah mbak Kania disini, bisa mengisi kekosongan yang mbak rasakan, bisa menyembuhkan rasa lelah mbak Kania dan bisa mendapat tujuan hidup baru.’’ Ucap Dini dengan tulus.

Aku menatap Dini dengan hangat, mengamini ucapan nya dalam hati. ‘’Terima kasih, Din.’’

Percakapan mereka tadi, sebagai penutup hari ini.

1
Yuri/Yuriko
Aku merasa terseret ke dalam cerita ini, tak bisa berhenti membaca.
My little Kibo: Terima kasih kak sudah menikmati cerita ini 🙏
total 1 replies
Starling04
Membuatku terhanyut.
My little Kibo: Terima kasih kak 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!