Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ditinggal
Ponsel yang semula digenggamnya erat, dalam sekejap diletakkan kembali ke atas meja. Arjuna kesal sekali membaca pesan yang dikirimkan oleh temannya. Pada akhirnya, dia memutuskan untuk tidak membalas dan mengabaikan benda pipih itu. Meskipun begitu, dia merasa sangat yakin kalau teman-temannya pasti sedang tertawa terbahak-bahak di sana setelah melihat responsnya yang hanya 'membaca' pesan itu saja.
Tetapi biarlah. Dia tidak peduli dengan apa pun tanggapan mereka saat ini. Walau hatinya berdecak kesal karena perbuatan mereka, di kantor ini dia harus bersikap profesional dengan menyelesaikan pekerjaan yang sudah menjadi kewajibannya.
'Awas saja kalian, aku pasti akan membalas perbuatan kalian kepadaku suatu saat nanti, lihat saja!' batinnya geram.
Saking fokusnya bekerja—menyelesaikan semua berkas dan dokumen yang harus dia selesaikan—dia tidak sadar bahwa hari telah berganti sore. Sudah waktunya untuk kembali ke rumah dan menyudahi aktivitas bekerja pada hari ini.
Dengan hati yang (secara ironis) amat sangat riang, dia melangkah meninggalkan ruangan dan turun ke lantai bawah untuk mengambil mobil di parkiran, lalu setelahnya kembali pulang ke rumah.
"Hey, kenapa kamu masih ada di sini?! Kamu mau menunggu siapa di sini sendirian, huh!" Suara tajam itu datang dari balik tembok yang menjadi penghalang antara dirinya dengan mereka. Dia tidak melihat siapa saja wanita di dalam sana, tetapi dia tahu mereka pasti adalah orang-orang yang sama dengan yang pagi tadi merundung Kanaya.
"Ah, atau jangan-jangan kamu menunggu Pak Arjuna? Mau merayunya dan mengadukan apa yang kami lakukan kepadamu, ya?"
Ya, tidak salah lagi. Mereka memang orang yang sama. Sesaat setelah mendengar percekcokan di antara mereka, entah kenapa Arjuna justru tersenyum sinis. Dia merasa senang melihat dan mendengar orang yang sudah membuat hidupnya susah saat ini mendapatkan balasan, tanpa dia harus bersusah payah melakukannya.
"Tidak, aku tidak sedang menunggu siapa-siapa," jawab Kanaya; suaranya terdengar sedikit bergetar. "Aku hanya... aku hanya ingin mencari ketenangan saja."
Arjuna, yang masih bersembunyi, mendengus pelan. Ternyata dia pandai juga mencari alasan, pikirnya.
Dari pembicaraan yang didengarnya, mereka sepertinya tidak percaya dengan alasan Kanaya. Namun, mereka terpaksa pergi dan melepaskan Kanaya karena sudah memiliki janji dengan seseorang untuk hang out lebih dulu ke luar.
Setelah para pegawai kantor itu pergi, barulah dia memutuskan untuk keluar dari tempat persembunyiannya. Dia bisa melihat bagaimana Kanaya tampak terkejut ketika melihatnya di sana. Dia tahu wanita itu pasti berpikir, kenapa dia tidak menyelamatkannya jika sejak tadi berada di sini.
"Mas... Mas sejak tadi di sana?" tanya Kanaya pelan, matanya masih menyiratkan sisa-sisa ketakutan.
Arjuna mengangguk santai, tidak menolak ataupun membantah. Memang benar kenyataannya sejak tadi dia berada di sana.
"Iya, sejak tadi aku ada di sana. Kenapa memangnya?" jawabnya datar.
Kanaya menggeleng perlahan dengan lesu usai mendengar jawaban itu. Kekecewaan jelas terpancar di wajahnya, tapi apa peduli Arjuna dengan perasaannya?
"Kalau Mas memang berada di sana sejak tadi," suara Kanaya terdengar tercekat, "kenapa Mas tidak menolongku? Kenapa Mas malah memilih untuk terus saja bersembunyi seperti itu? Bukankah... bukankah Mas bisa melakukan itu?"
Dia hanya memutar bola matanya dengan malas, enggan menjawab pertanyaan yang tidak penting itu.
Dia memang bisa melakukannya. Tetapi kalau dia tidak ingin, bagaimana?
Lagi pula Kanaya dirundung juga bukan karena kesalahannya, jadi untuk apa dia harus terlibat di dalam masalah wanita itu? Sedangkan kehadiran Kanaya sendiri di dalam hidupnya adalah suatu masalah besar yang tidak mungkin bisa dihilangkan. Jika setitik noda di pakaian masih bisa dibilas dan dicuci, lalu bagaimana caranya untuk menghilangkan Kanaya?
"Ck," dia berdecak sinis. "Memangnya kenapa kalau aku tidak melakukannya?! Lagi pula, kalaupun aku melakukannya, itu bukannya menolongmu, Kanaya! Justru kamu seharusnya berterima kasih kepadaku karena aku tidak melakukan apa yang kamu harapkan itu."
Tatapan sinis diberikannya kepada Kanaya setelah selesai berbicara. Hatinya benar-benar tidak bisa dipaksa untuk menerimanya. Karenanya, dia tidak bisa bersikap hangat dan lembut kepadanya meski hanya sebentar. Dia sungguh sangat tidak menyukainya!
"Berterima... kasih?" Kanaya terlihat bingung dan semakin terluka.
"Tentu saja kamu seharusnya berterima kasih! Jika saja aku melakukan apa yang ada di kepalamu itu," lanjutnya tajam, "sudah dapat dipastikan mereka akan jauh lebih kejam lagi memperlakukanmu. Mereka tidak suka aku membelamu!"
Tanpa mempedulikan Kanaya yang masih berdiri mematung, dia kembali berjalan meninggalkannya dan masuk ke dalam mobil. Dia menghidupkan mesinnya dan kemudian berkata datar kepada Kanaya, "Kamu pulang lebih dulu. Aku masih punya urusan di luar."
Padahal sebenarnya itu hanya alasan saja. Yang sebenarnya adalah karena dia tidak mau semobil dengan wanita itu.
"Ta—"
"Aku tidak punya waktu lagi, aku harus segera pergi!" Tanpa menunggu Kanaya menyelesaikan perkataannya, dia sudah lebih dulu melajukan mobil dan mengendarainya menjauh dari Kanaya, enggan mendengar perkataannya lagi.
Dia juga tidak peduli Kanaya akan pulang dengan menggunakan apa. Benar-benar tidak peduli. Lagi pula, di kantor ini tidak ada Mama, jadi dia bisa berbuat apa pun sesuka hatinya kepada Kanaya tanpa takut ketahuan dan tanpa takut akan mendapat ceramah.
Dia hanya tinggal menghubungi Kanaya nanti dan menyuruhnya untuk menunggu di pertigaan yang sama—tempat dia menurunkannya pagi tadi—untuk pulang bersama ke rumah. Dengan begitu, maka Mama pasti tidak akan merasa curiga.
'Otakku ini memang cerdas!' pujinya dalam hati.
Dia sempat melihat wajah kecewa yang berada di dalam kedua sorot mata Kanaya dari kaca spion sesaat setelah dia pergi, namun dia hanya mencebik dan mengabaikannya. Toh, Kanaya juga sudah terbiasa pulang dan pergi sendiri dari rumahnya ke kantor.
Jadi seharusnya wanita itu juga tidak keberatan kalau harus melakukannya lagi, bukan?
Dia tidak akan pernah memanjakannya dan menganggapnya lebih dari seorang gadis udik dan seorang office girl. Jadi sudah sepantasnya Kanaya berusaha dengan menggunakan kemampuannya sendiri untuk bertahan hidup.
Mungkin dia akan bersikap sedikit lebih baik ketika berada di hadapan Mama dan keluarganya yang lain—karena mereka benar-benar berpikir pernikahan ini terjadi karena cinta. Walaupun dia sendiri tidak yakin akan bisa bersikap demikian dalam waktu lama kepada Kanaya.
"Kanaya, lihat saja!" gumam Arjuna sambil mencengkeram setir. "Aku akan merencanakan sesuatu yang dapat membuatmu merasakan akibat pernikahan ini. Aku akan sedikit bermain-main denganmu!"
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin