Ketika cinta berubah menjadi luka, dan keluarga sendiri menjadi pengkhianat. Dela kehilangan segalanya di hari yang seharusnya menjadi miliknya cinta, kepercayaan, bahkan harga diri.
Namun dalam keputusasaan, Tuhan mempertemukannya dengan sosok misterius yang kelak menjadi penyelamat sekaligus takdir barunya. Tapi apakah Dela siap membuka hati lagi, ketika dunia justru menuduhnya melakukan dosa yang tak pernah ia lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alfiyah Mubarokah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05 Luka yang Tak Terlihat
"Udahlah Tika, Mbak Eka. Kalau kalian mau pergi sana duluan saja. Kan sudah dikasih jalan lagian gak masalah bawa motor butut dari pada jalan kaki," ujar Dela, suaranya terdengar bergetar menahan kesal. Ia sebenarnya sudah sangat jengkel dengan sikap kedua saudaranya itu, tapi masih berusaha menahan diri. Wajahnya sudah memerah, tapi ia tahu percuma berdebat. Selama ini, apapun yang terjadi, Ibunya selalu memihak Tika dan Eka. Tidak peduli siapa yang salah, Dela pasti yang kena omelan.
"Kalau aku sih ogah ya naik motor butut gak level!" Ejek Tika sambil terkekeh puas, lalu tancap gas meninggalkan halaman rumah, diikuti suara klakson mobilnya yang memekakkan telinga.
Dela hanya bisa menarik napas panjang. Matanya menatap kosong ke arah jalan yang berdebu.
"Ya Tuhan sabarkan aku," bisiknya lirih.
Arsen yang berdiri di sampingnya menatap perempuan itu dengan tatapan prihatin. Sejak pagi, ia sudah melihat sendiri bagaimana Dela diperlakukan dihina, disindir, bahkan disalahkan atas hal yang bukan kesalahannya. Tapi Dela tetap diam. Tidak ada bantahan tidak ada teriakan. Hanya senyum tipis yang terlihat dipaksakan.
"Di sekitar sini ada tukang urut gak?" Tanya Arsen pelan, berusaha memecah suasana.
"Ada Mas. Dekat kok nanti aku tunjukin jalannya," jawab Dela sambil menunduk, suaranya pelan sekali.
Arsen mengangguk, lalu membantu Dela naik ke motornya. Tapi belum sempat mereka melaju, terdengar suara-suara bisik-bisik dari arah pagar. Beberapa tetangga rupanya sedang melintas dan langsung menatap mereka dengan wajah sinis.
"Eh itu kan pasangan mesum semalam!" Ujar seorang ibu dengan nada nyaring.
"Berani keluar rumah juga rupanya gak malu apa udah digrebek warga?" Timpal yang lain.
"Aduh tadinya aku kira Mbak Dela itu gadis baik-baik, ternyata suhu juga ya!" Sahut seorang bapak sambil terkekeh.
Dela membeku di tempat dadanya seperti diremas. Air mata mulai menggenang di sudut matanya, tapi cepat-cepat ia sapu dengan ujung jilbabnya.
"Ya ampun Ibu-ibu," ujar Dela akhirnya, suaranya gemetar tapi tegas. "Lihat tidak kalau kaki saya ini keseleo dan lecet-lecet? Saya jatuh karena ditabrak motor semalam. Bahkan kepala saya terbentur sampai benjol dan memar. Wajar dong kalau Mas Arsen ini nolongin saya. Tapi malah disangka yang gak-gak ingat loh Bu, fitnah itu lebih kejam dari pada pembunuhan."
Ia memperlihatkan luka di lutut dan kepala yang masih memar. Beberapa warga mulai terdiam.
"Iya betul Ibu-ibu," sambung Arsen dengan sopan. "Semalam saya memang gak sengaja menabrak Dela. Dia jatuh dan pingsan saya mau bawa ke rumah sakit, tapi gak bisa karena saya cuma naik motor sendirian. Makanya saya berteduh di rumah kosong. Eh malah disangka berbuat yang gak-gak."
Warga mulai saling pandang. Suasana yang tadinya tegang perlahan mencair.
"Oh jadi begitu ceritanya?" Ujar seorang ibu, terdengar menyesal.
"Wah kasihan ya kalau gitu kita yang salah paham."
"Iya, iya, bener tuh lihat aja kakinya bengkak begitu pasti bener jatuh."
Yang lain ikut berbisik-bisik, sebagian malah terlihat malu.
"Berarti Dela difitnah dong?"
"Waduh kasihan banget, udah sakit malah disuruh kawin sama orang yang baru dikenal."
"Eh tapi aku dengar pacarnya Dela malah lamaran sama adiknya sendiri loh."
"Apa? Jadi dia ditikung adiknya? Ya ampun nasib banget."
Dela hanya bisa menunduk. Ia sudah tak ingin mendengar apa pun lagi. Luka di hatinya jauh lebih perih daripada luka di kaki.
"Ya sudah Ibu-ibu. Saya pamit dulu mau ke tukang urut kaki saya masih sakit," ucap Dela sopan.
"Iya, iya Neng Dela maaf ya kalau kemarin kami salah sangka," kata seorang ibu sambil tersenyum kikuk.
"Mudah-mudahan cepat sembuh ya Nak," timpal yang lain.
Arsen mengangguk sopan, lalu perlahan menjalankan motornya.
Setelah diurut, Dela merasa sedikit lega. Kakinya memang masih nyeri, tapi sudah bisa digerakkan. Arsen tampak lega melihatnya sedikit tersenyum. Ia mengantarkan Dela pulang, lalu berpamitan hendak ke tempat kerjanya.
Begitu sampai di rumah, Dela langsung membuka pintu dan mendapati Ibunya sedang duduk di meja makan sambil menyantap nasi padang. Aroma rendang dan sambal hijau menusuk hidung, membuat perut Dela yang belum terisi sejak pagi terasa perih menahan lapar.
"Ibu masak apa?" Tanya Dela pelan, mencoba tersenyum.
Rena menatapnya sekilas. "Ibu gak masak tadi Ibu beli makanan aja, capek dari pagi nyuci dan bersih-bersih rumah. Habis ini gantian kamu yang masak."
Dela menelan ludah. Dalam hati ia kecewa. Bukan hanya karena lapar, tapi juga karena tau ibunya sama sekali tak peduli bahwa dirinya sedang sakit.
Rena menyuap sesuap nasi lagi, lalu meletakkan sendoknya dengan suara berisik di piring.
"Owh iya nanti kamu masak rendang kesukaan Tika sama sambal cumi buat Eka ya. Kasihan mereka, kerja seharian kalau pulang gak ada makanan."
Dela terpaku. Ia ingin menjawab, tapi lidahnya kelu. Tika dan Eka lagi-lagi selalu mereka yang diutamakan, selalu mereka yang disayang.
"Tapi Bu kaki aku kan masih sakit," ucapnya lirih, hampir tak terdengar.
"Halah kamu itu gak usah manja cuma terkilir gitu aja lebay. Lagian kamu masih bisa jalan kan?" Balas Rena tanpa menoleh, lalu berdiri dan mencuci tangan di wastafel. Ia meninggalkan piring dan sisa makanan begitu saja di meja.
Hati Dela seperti diremas. Luka batin itu menganga lagi, makin dalam.
Rena tiba-tiba menoleh. "Oh iya Ibu mau ke pasar sebentar. Karena kaki kamu sakit, kali ini Ibu aja yang beli bahan buat bikin kue."
Dela tertegun matanya membulat. "Maksud Ibu aku masih harus bikin kue hari ini?"
"Iyalah! Masa iya mau libur? Nanti kita dapat uang dari mana? Apa kamu mau minta ke Eka sama Tika? Mereka juga butuh uang. Eka lagi hamil, butuh banyak biaya. Tika juga bentar lagi nikah. Kamu pikir pernikahan itu cuma sah aja tanpa biaya?" Ujar Rena panjang lebar sambil menenteng tas belanja.
Dela terdiam, lalu menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca. Kata-kata itu seperti belati yang menancap tepat di dadanya. Ia memang menikah tanpa cinta, tanpa pesta, tanpa restu dan sekarang pun seolah dianggap beban.
Setelah mengatakan itu, Rena langsung melengos pergi tanpa menoleh sedikit pun. Begitu suara langkahnya menjauh, Dela jatuh terduduk di kursi. Air mata yang tadi ia tahan akhirnya mengalir deras.
"Ya Tuhan kenapa Ibu selalu pilih kasih? Aku ini sakit, tapi masih disuruh kerja. Sedangkan Tika dan Eka tinggal ongkang-ongkang kaki selalu disayang. Apa aku ini bukan anak kandungnya?" Ucapnya dalam isak pelan.
Tangisnya pecah begitu saja, menetes satu per satu ke atas meja makan.
Beberapa menit kemudian, suara batuk terdengar dari kamar belakang. Dela langsung tersadar. Ia buru-buru menyeka air matanya dan berdiri, meski kakinya masih nyeri.
"Ya ampun Bapak..." Gumamnya ia melangkah tertatih menuju kamar Surya.
Di dalam, Surya tampak duduk bersandar di ranjangnya yang sederhana. Wajahnya pucat, tangannya menggenggam botol obat.
"Bapak, maaf ya Pak Dela belum sempat masak. Bapak pasti lapar ya? Tadi Dela ke tukang urut dulu," ucap Dela dengan mata sembab.
Surya tersenyum kecil. "Gak papa Nak pergi ke tukang urut itu lebih penting. Gimana kaki kamu, udah mendingan?"
"Alhamdulillah udah agak mendingan Pak, tapi masih susah kalau dipakai jalan."
Surya mengangguk pelan. "Perlahan-lahan aja Nak. Nanti juga sembuh jangan dipaksa kerja dulu."
"Iya Pak. Tapi Bapak udah makan?" Tanya Dela lagi.
"Belum. Tapi Bapak belum lapar kok lagian Bapak bisa nanti aja. Kamu istirahat dulu," jawab Surya lembut.
"Tapi Bapak harus minum obat, kan harus makan dulu," desak Dela khawatir.
Surya diam sesaat, lalu tersenyum tipis. "Ya udah kalau begitu kamu beli nasi bungkus aja di warung depan. Jangan maksain masak."
Dela menunduk. Uang di sakunya hanya lima belas ribu. Ia menggigit bibir bawah, bingung harus bagaimana.
Surya memandangnya penuh kasih. Ia tahu anaknya sedang serba sulit. "Udah pake uang Bapak aja," ujarnya sambil mengambil uang lusuh dari dompet kecil di bawah bantal.
Dela tercekat. "Tapi Pak..."
"Udah ambil aja. Bapak tau kamu gak punya uang. Ibu kamu pasti udah minta semuanya lagi ya?" Surya tersenyum miris ia tau persis kebiasaan istrinya.
Dela menggenggam uang itu dengan tangan bergetar. "Makasih ya Pak..." Katanya pelan, matanya berkaca-kaca.
"Udah sana beli makan. Bapak nanti makan bareng kamu aja ya?" ujar Surya lembut.
Dela mengangguk. Di matanya hanya satu sosok yang benar-benar menyayanginya di dunia ini: ayahnya.
Dan saat ia keluar kamar, langkahnya terasa berat tapi hatinya sedikit hangat karena di tengah semua luka dan ketidakadilan, masih ada cinta tulus yang membuatnya tetap kuat.