Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
05. KEBOHONGAN RUDY
Rara berlari mengejar, namun kecepatan langkah Rindi membuatnya kewalahan. Perempuan itu berlari tanpa henti, seolah seluruh tenaga dan emosinya tumpah menjadi satu.
Rindi berhenti tepat di depan gerbang besar yang megah. Tangannya gemetar menggenggam terali besi berlapis cat emas. Matanya berbinar, menatap ke arah pintu rumah dengan penuh haru dan tak percaya.
Dari kejauhan, ia melihat sosok Rudy sedang menggendong seorang bayi kecil yang terbungkus kain lembut. Wajah Rudy tampak bahagia, tertawa kecil sambil bercanda dengan bayinya. Pemandangan itu membuat dada Rindi sesak—antara bahagia dan sedih bercampur jadi satu.
Tak lama, Rara berhasil menyusul dan berhenti di sampingnya, napasnya tersengal. Ia ikut terpaku, merasakan getaran emosi yang sama—keharuan mendalam seorang ibu yang akhirnya menemukan putranya yang selama ini menghilang tanpa kabar.
“Rudy…,” teriak Rindi penuh air mata dan kerinduan yang lama terpendam.
“Rudy… Ibu datang, Nak! Ibu sangat rindukanmu!”
Suaranya menggema di udara, melewati pagar tinggi dan taman yang yang luas. Karena jarak antara pagar dan rumah cukup jauh makanya Rudy tak mendengar teriakanya.
“Rindi, tolong tahan dirimu. Rudy dan keluarganya tidak akan menerima kehadiran kita kalau kamu berteriak seperti ini, Mereka orang terpandang dan memiliki cara sendiri menerima tamu” katanya dengan tenang.
Rindi menoleh, matanya basah oleh air mata.
“Aku tahu, Rara… tapi aku sangat rindu padanya. Aku hanya ingin Rudy melihatku dan datang.”
Rara terdiam, tidak tahu harus berkata apa lagi. Ia paham betul perasaan Rindi saat itu—rasa rindu seorang ibu yang bertahun-tahun memendam kerinduan pada putranya.
Keduanya berdiri di depan gerbang, memandangi Rudy dan istrinya bercanda riang dengan bayi mereka.
Tak lama kemudian, seorang penjaga mendekat. Ia menatap mereka dengan curiga, lalu menyuruh mereka segera pergi, mengira keduanya datang untuk meminta sumbangan.
Rara perlahan menjelaskan bahwa tujuan mereka datang untuk menanyakan apakah keluarga Tuan Rudy masih membutuhkan pengasuh bayi. Ia menambahkan kalau temannya kebetulan sedang mencari pekerjaan.
Penjaga itu mengangguk paham dan meminta mereka menunggu sebentar. Setelah pria itu pergi, Rara mengusap dadanya, berusaha menenangkan diri.
“Terima kasih, Rara. Maaf kalau tadi aku tidak mendengarkan perkataanmu,” ucap Rindi pelan.
“Tidak apa-apa,” jawab Rara sambil tersenyum tipis.
“Kalau aku berada di posisimu, mungkin aku juga akan melakukan hal yang sama.”
Beberapa menit kemudian, penjaga itu kembali datang. Ia membuka pintu pagar dan mempersilakan mereka masuk.
Keduanya mengikuti pria tinggi besar itu menuju pintu utama rumah. Langkah Rindi terasa berat, setiap langkah seolah menahan beban perasaan yang tak tertahankan. Di dalam hatinya, berbagai pertanyaan berkecamuk — apakah Rudy akan menerima kehadirannya, atau justru menolaknya karena perbedaan hidup mereka yang kini begitu jauh?
Melihat kegugupan di wajah Rindi, Rara mengusap lembut punggung sahabatnya, berusaha menenangkan.
Rindi berjalan dengan kepala tertunduk hingga akhirnya mereka tiba di Hadapan Rudy dan istrinya.
Rudy menatap kedua tamunya dengan pandangan hati-hati. Istrinya, yang duduk di sampingnya, tampak ragu dan melihat penampilan Rara apalagi Rindi yang hanya memakai pakaian biasa.
Satpam yang mengantar mereka berpamitan, meninggalkan Rindi dan Rara berdiri di depan pasangan muda itu.
Rara memulai pembicaraan dengan sopan, menjelaskan maksud kedatangan mereka. Namun, wajah istri Rudy tetap datar, matanya menatap tajam penuh kewaspadaan.
“Pengasuh bayi?” ulang istri Rudy dengan nada curiga.
“Sekarang ini, banyak orang mengaku bisa dipercaya. Tapi bagaimana kami tahu kalau kalian bukan bagian dari orang yang ingin berbuat jahat?”
Rara mencoba tersenyum, meski nadanya mulai gugup.
“Kami datang karena mendengar kabar keluarga Tuan Rudy sedang mencari bantuan. Teman saya ini sangat menyukai anak-anak dan punya pengalaman mengasuh.”
Rudy menyilangkan tangan, memperhatikan Rindi yang sejak tadi hanya menunduk.
“Kalau memang begitu,” katanya perlahan,
“Siapa yang memberi tahu tentang lowongan ini?”
Rindi menjawab, dengan suaranya bergetar.
“Saya… saya dengar dari seorang kenalan."
Rara cepat menimpali untuk menutupi kegugupan Rindi, namun nada bicara istri Rudy masih penuh kecurigaan.
“Banyak yang mengaku punya niat baik, tapi kami tidak bisa sembarangan mempercayakan bayi kami pada orang asing.” katanya tajam.
Rindi menggenggam tangannya erat, mencoba menenangkan diri. Lalu perlahan, ia mengangkat wajahnya. Tatapan matanya bertemu langsung dengan Rudy.
Sekejap, waktu seperti berhenti. Rudy menatapnya lama, seolah ada sesuatu yang mengguncang ingatannya. Senyumnya memudar, matanya melebar penuh keterkejutan. Ada sesuatu pada wajah perempuan itu—garis halus di mata, bentuk senyum yang sangat familiar.
Rara menunduk, pura-pura tidak menyadari perubahan suasana. Istri Rudy menatap heran ke arah suaminya, merasa ada yang aneh.
Dengan suara parau, Rudy berdeham pelan.
“Maaf, Sayang,” katanya kepada istrinya.
“Aku ingin bicara sebentar… berdua dengan dia”
Istrinya tampak terkejut.
“Berdua? Untuk apa?”
“Ada hal penting yang harus kutanyakan,” jawab Rudy cepat, berusaha menutupi kegugupannya. Ia berdiri dan memberi isyarat halus agar Rindi mengikutinya ke ruang sebelah.
Rindi menatap Rara yang hanya mengangguk pelan sambil memberi senyum penuh harap. Dengan langkah ragu, Rindi berdiri dan mengikuti Rudy menuju taman di belakang rumah. Suasana di sana tenang, hanya terdengar suara angin yang menyentuh dedaunan. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.
Begitu mereka cukup jauh dari pandangan sang istri, Rudy tiba-tiba menarik kasar lengan Rindi.
Tatapan matanya tajam, rahangnya mengeras seolah menahan amarah yang sudah sedari tadi tertahan.
Rindi tertegun. Ia menatap anaknya dengan mata berkaca-kaca, tak percaya melihat perubahan besar dalam diri Rudy. Anak yang dulu begitu penurut dan lembut kini tampak seperti sosok asing—dingin, kejam, dan menakutkan.
“Untuk apa kamu datang ke sini?” bentak Rudy pelan tapi penuh tekanan, takut jika istrinya mendengar.
Rindi menggigit bibir, menahan getar suaranya.
“Nak... Ibu hanya ingin melihat kalian. Sudah bertahun-tahun kalian tak pulang. Ibu menelpon berkali-kali tapi tak pernah dijawab, jadi ibu memberanikan diri datang sendiri untuk menemui kalian dan ayahmu…”
Belum sempat Rindi menyelesaikan ucapannya, Rudy langsung memotong dengan nada tajam.
“Sudahlah! Aku tidak mau dengar ceritamu lagi. Sekarang pergi! Jangan pernah datang menemui Aku dan Melda. Kami sudah hidup bahagia tanpa adanya kalian.”
Kata-kata itu terasa seperti pisau yang menusuk ke jantung Rindi.
Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan.
Rindi menatap wajah Rudy dengan mata basah. Suaranya bergetar saat mencoba memanggil,
“Rudy…”
Sebelum ia sempat menyentuh wajahnya, Rudy menghempas dengan kasar.
“Aku Tuan Rudy! Jangan memanggilku sembarangan!” bentak Rudy dengan nada tajam, membuat Rindi terpaku.
Tubuhnya gemetar, bukan karena marah, tapi karena luka yang tiba-tiba terasa terlalu dalam. Anak yang dulu lahir dari rahimnya kini menatapnya seolah ia hanyalah orang asing yang tak punya arti.
Tanpa menoleh, Rudy berbalik dan pergi, meninggalkan Rindi yang berdiri kaku dengan hati yang hancur. Air mata yang sempat jatuh segera ia hapus. Ia berusaha menata diri, menegakkan kepala, dan melangkah kembali seolah tak terjadi apa-apa.
Sementara itu, Rudy menemui istrinya. Dengan nada datar ia bercerita kalau Rindi adalah pengasuhnya di kampung, yang merawatnya dan Melda sebelum kedua orang tuanya meninggal.
Rara yang mendengar cerita Rudy merasa emosi.firasatnya benar kalau Rudy tidak akan menerima kehadiran Rindi di keluarga mereka
Tak lama kemudian, sebuah mobil mewah berhenti di halaman. Dari dalam mobil keluar sepasang suami istri paruh baya — Marta dan Arman, orang tua Rika sekaligus mertua Rudy.
Kehadiran mereka membawa suasana baru yang menegangkan.
“Rika, siapa mereka?” tanya Marta sambil menatap bergantian ke arah Rindi dan Rara.
Rika menjelaskan dengan tenang bahwa Rindi datang dari kampung untuk mencari pekerjaan, dan ia memiliki pengalaman dalam merawat bayi.
Tanpa banyak pertimbangan, Marta langsung memutuskan untuk menerimanya bekerja.
“Kalau begitu, biar dia bekerja di sini. Orang kampung rata-rata rajin dangan gaji kecil,” katanya tegas.
Rudy tak mampu menyembunyikan ketidaksukaannya. Rahangnya mengeras, matanya menatap tajam ke arah Rindi. Dalam hatinya, amarah dan kebencian bercampur menjadi satu.
Ia memang tak bisa menentang keputusan ibu mertuanya, namun satu hal sudah pasti — ia tidak akan membiarkan Rindi tinggal lama di rumah itu, apalagi sampai ada yang tahu bahwa perempuan itu sebenarnya adalah ibunya.