Arzhel hanyalah pemuda miskin dari kampung yang harus berjuang dengan hidupnya di kota besar. Ia terus mengejar mimpinya yang sulit digapai.nyaris tak
Namun takdir berubah ketika sebuah E-Market Ilahi muncul di hadapannya. Sebuah pasar misterius yang menghubungkan dunia fana dengan ranah para dewa. Di sana, ia dapat menjual benda-benda remeh yang tak bernilai di mata orang lain—dan sebagai gantinya memperoleh Koin Ilahi. Dengan koin itu, ia bisa membeli barang-barang dewa, teknik langka, hingga artefak terlarang yang tak seorang pun bisa miliki.
Bermodalkan keberanian dan ketekunan, Arzhel perlahan mengubah hidupnya. Dari seorang pemuda miskin yang diremehkan, ia melangkah menuju jalan yang hanya bisa ditapaki oleh segelintir orang—jalan menuju kekuatan yang menyaingi para dewa itu sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SuciptaYasha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27 The Hero Who Saved the Princess
🎬 Isi Film
Opening: Film dibuka dengan pengenalan pasangan kekasih — karakter Austin sebagai pria hangat dan Laura sebagai wanita cerdas nan berani. Keduanya digambarkan menjalani hidup normal, penuh tawa dan cinta.
Masalah Muncul: Laura tiba-tiba diculik oleh sekelompok kriminal. Awalnya tampak seperti salah sasaran, karena Laura hanya wanita biasa. Austin panik.
Twist Pertama: Ternyata Austin bukan pria biasa. Ia adalah mantan agen rahasia yang sudah pensiun, menyimpan masa lalu berdarah. Emosi dan amarah mendorongnya kembali ke dunia lama.
Action Badass: Adegan demi adegan memperlihatkan Austin yang dingin, penuh strategi, menumbangkan lawan-lawannya dengan brutal namun efisien. Laura dipertontonkan dalam kondisi terkurung, masih berusaha bertahan dengan keberanian khasnya.
Klimaks Pertama: Austin akhirnya berhasil melacak lokasi persembunyian dan membantai para penculik. Laura berhasil diselamatkan. Penonton lega, film seolah hendak berakhir bahagia.
Klimaks Sebenarnya: Tiba-tiba muncul sosok yang selama ini hanya dibicarakan dalam dialog dan penggambaran singkat — Arzhel, sang penjahat utama, raja kriminal di balik layar. Dialah dalang penculikan, dan penculikan itu bukanlah salah sasaran. Laura dipilih dengan sengaja untuk memancing Austin keluar dari pensiun.
Final Battle: Austin dan Arzhel berhadapan. Dialog penuh tensi, adu ideologi, dan pertarungan sengit menutup akhir film.
Ending: Arzhel akhirnya terbunuh. Austin dan Laura berjalan keluar bersama, lelah namun bahagia, hidup mereka kembali penuh harapan.
Layar meredup. Musik penutup mengalun disertai kredit dengan nama-nama pemeran dan para kru film.
Ruangan bioskop kecil itu dipenuhi tepuk tangan. Para kru dan aktor lain berdiri memberikan apresiasi. Namun tidak sedikit yang tetap terdiam, terpaku pada satu hal: akting Arzhel.
Ia bukan sekadar memerankan penjahat. Ia tampak seperti penjahat itu sendiri.
Sorot mata dingin penuh kebencian bercampur kecerdikan, seakan benar-benar mengintai setiap lawan.
Gestur tubuhnya yang tenang, penuh wibawa, setiap langkahnya seperti menguasai ruangan.
Dialog dan intonasi kalimatnya tajam, mengandung tekanan psikologis, membuat audiens merasa terintimidasi meski hanya menonton.
Ekspresinya yang halus, sering kali hanya dengan senyum tipis atau alis yang bergerak sedikit, aura jahat langsung terasa.
Arzhel tidak terlihat sedang berakting. Ia seperti memang raja kriminal dalam dunia nyata.
Laura sempat melirik Arzhel di sampingnya. "Aktingmu benar-benar bagus disaat saat terakhir, aku bahkan sedikit ketakutan saat kau ingin membunuhku..."
Arzhel hanya mengangguk singkat. "Itu hanya akting, kau tahu?"
Namun dalam hatinya, ia berkata lain. 'Itu... Luar biasa... Aku tidak terlalu memperhatikan kamera saat dalam pengaruh teknik Peran Sejati, jadi aku tidak menyangka hasilnya di kamera akan begitu sangat realistis...'
Sementara yang lain sibuk bertepuk tangan, beberapa orang masih terdiam — ngeri sekaligus kagum.
...
Acara formal akhirnya usai. Lampu-lampu gedung mulai dipadamkan satu per satu, kerumunan perlahan bubar.
Arzhel berdiri di pinggir jalan, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana, menunggu taksi yang tak kunjung datang.
Tiba-tiba sebuah mobil putih berhenti mendadak tepat di depannya. Kaca jendela bagian pengemudi diturunkan, memperlihatkan wajah Austin yang dipenuhi kekesalan yang sama sekali tidak berusaha dia sembunyikan.
“Aku masih tidak percaya,” desis Austin, suaranya rendah tapi penuh bisa. “Sampah sepertimu bisa menarik perhatian hanya karena sedikit akting. Kau pikir dirimu sudah hebat? Kau pikir kau bisa sejajar denganku hanya karena sorotan kamera menatapmu sebentar?”
Arzhel tetap diam. Wajahnya tanpa ekspresi, hanya menatap Austin dengan dingin.
Austin mengertakkan giginya, melanjutkan, “Awalnya, aku ingin mengabaikanmu. Bahkan saat kau melaporkanku ke polisi, aku masih bisa menganggapmu bodoh yang tak tahu apa-apa. Tapi sekarang? Kau berani menggenggam tangan Laura di depan semua orang?! Kau benar-benar sudah kelewatan, aktor figuran.”
Kata-kata itu meledak seperti cambukan. Namun Arzhel tidak bergeming. Ia hanya menghela napas pelan, lalu membuka mulut.
“Sampai kapanpun,” ucapnya tenang, namun suaranya tajam, “Laura tidak akan pernah menerima pria brengsek sepertimu.”
Wajah Austin memerah, hampir seperti hendak meledak. Tangannya mengepal di atas setir, urat di lehernya menegang.
Tinn!!
Namun suara klakson panjang dari mobil di belakangnya memutus ketegangan. Austin menoleh sekilas, lalu mendengus kesal. “Kau akan menyesal.”
Tanpa menunggu jawaban, ia menghantam pedal gas. Mobil putih itu melesat pergi, meninggalkan jejak kemarahan di udara.
Arzhel menatap kepergian mobil itu dengan wajah tenang, kemudian terkekeh getir. “Ternyata bukan hanya fans yang tergila-gila pada Laura. Si brengsek itu juga, rupanya.”
Mobil hitam yang tadi membunyikan klakson maju pelan lalu berhenti tepat di depan Arzhel. Kaca belakang terbuka, memperlihatkan sosok Laura yang duduk anggun di kursi penumpang dengan supir pribadinya di depan.
“Arzhel,” panggilnya, matanya sedikit menyipit. “Apa Austin mengancammu?”
Arzhel menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. “Kurasa dia bahkan tidak punya keberanian untuk itu.”
Laura terdiam sejenak, lalu terkekeh kecil. “Kau bisa saja. Ngomong-ngomong kau sedang menunggu taksi?”
“Ya,” jawab Arzhel singkat.
Laura memberi isyarat dengan tangannya. “Masuklah. Aku akan mengantarmu pulang. Bahaya bagi seorang pria berkeliaran sendiri malam-malam seperti ini.”
Arzhel menatapnya sekilas, lalu terkekeh. “Ternyata kau juga bisa bercanda.”
Meski begitu, ia tidak menolak. Dengan langkah tenang, Arzhel membuka pintu mobil dan masuk, duduk di samping Laura.
Pintu tertutup rapat, dan mobil hitam itu perlahan melaju meninggalkan keramaian kota.
Mobil meluncur mulus menembus jalanan kota yang mulai sepi. Hening cukup lama menggantung, hingga akhirnya Laura yang lebih dulu membuka percakapan.
“Jadi… Arzhel, kau asli dari kota ini?” tanyanya pelan, seolah hanya basa-basi.
Arzhel menoleh sebentar, lalu kembali menatap keluar jendela. “Tidak. Aku hanya numpang hidup di sini. Asalku jauh dari sini.”
Laura tersenyum tipis. “Aku mengerti. Lalu… apakah kau sudah lama terjun di dunia perfilman?”
“Tidak juga,” jawab Arzhel datar. “Aku hanya aktor figuran. Jangan berharap kisah inspiratif dariku.”
Nada tenangnya terdengar tegas, jelas ingin menjaga jarak. Namun bukannya tersinggung, Laura justru tampak makin penasaran.
“Aku tidak berharap kisah inspiratif,” katanya sambil menatapnya serius. “Aku hanya ingin tahu sedikit lebih banyak tentang orang yang bisa membuat seluruh ruangan diam dengan aktingnya.”
Arzhel menghela napas kecil, enggan menanggapi lebih jauh. “Kurasa mereka hanya melebih-lebihkan. Aku bukan siapa-siapa.”
Laura tidak memaksa. Ia malah terkekeh kecil, seolah menikmati dinding yang dibangun Arzhel. “Baiklah. Aku akan ingat itu.”
Mobil akhirnya berhenti di depan sebuah mansion megah tiga lantai. Laura terbelalak, matanya membesar tak percaya.
“Jangan bilang… ini rumahmu?”