NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:860
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dendam Fara dan Rahasia yang Terungkap

...🍁Lanjutan...

"Jadi, kita harus buktikan ke Damian kalau Fara itu bohong," ucap Valeria, suaranya kini penuh tekad.

Revan mengangguk, tatapannya serius. "Gue setuju. Tapi gimana caranya? Damian sudah terlanjur benci gue, dia nggak akan percaya begitu aja."

"Kita nggak bisa asal ngomong," balas Valeria. "Kita butuh bukti. Bukti nyata."

"Gimana kalau kita coba hubungi Aluna?" saran Revan. "Dia kan sepupunya Fara, mungkin dia tahu sesuatu yang bisa jadi bukti."

Valeria mempertimbangkan saran itu. "Boleh. Tapi kita harus hati-hati. Kita nggak tahu seberapa jauh Aluna terlibat. Dia mungkin nggak mau Fara celaka."

"Lo bener," kata Revan, mengangguk. "Kalau gitu, kita coba cari tahu dulu. Besok di sekolah, kita harus lebih jeli. Siapa tahu Fara sudah datang."

Keduanya terdiam sejenak, memikirkan rencana mereka. Malam yang dingin dan tenang di halaman belakang menjadi saksi dari persekutuan baru yang terbentuk karena sebuah kebohongan.

Valeria menatap Revan, wajahnya berubah serius. "Sebenarnya gue sempat nanya sama Damian tentang kenapa dia masih dendam sama lo karena Fara."

"Terus, dia bilang apa?" tanya Revan, penasaran.

Valeria mengangguk, matanya menerawang jauh, mengingat kembali percakapan itu. Ia kemudian menceritakan semua yang terjadi.

...🍃 Flashback Valeria 🍃...

"Kenapa lo masih dendam sama Revan karena Fara?" tanya Valeria, langsung pada intinya.

Senyum sinis Damian seketika memudar, digantikan oleh ekspresi terkejut dan marah. Matanya membelalak, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Fara?" desisnya. "Dari mana lo tahu nama itu?"

Damian terdiam, tatapan kagetnya berubah menjadi penuh kecurigaan. "Siapa yang kasih tahu lo?" tanyanya, suaranya kembali dingin.

Valeria membalas tatapannya tanpa gentar. "Lo nggak perlu tahu gue tahu dari mana," jawabnya dengan nada tenang. "Jawab saja pertanyaan gue."

Damian mendengus, mencoba menyembunyikan keterkejutannya. "Gue nggak tahu apa yang lo omongin."

"Oh, ya?" potong Valeria, menyeringai tipis. "Apa benar Revan merebut Fara dari kamu? Sampai-sampai kalian putus dan kamu marah besar?"

Pertanyaan itu tepat sasaran. Wajah Damian seketika memerah, ia mengepalkan tangannya di bawah meja. "Siapa yang bilang Revan merebut Fara?!" bentaknya. "Revan yang meracuni pikiran Fara! Revan yang menyuruh Fara untuk pergi dari gue! Dia bilang gue nggak pantas buat Fara!"

Valeria menatap Damian, sorot matanya tajam dan penuh perhitungan. "Lo yakin apa yang dikatakan Fara? Gimana kalau sebaliknya?" tanyanya, suaranya tenang tapi menusuk. "Gimana kalau Revan enggak mengatakan itu, tapi Fara sendiri yang mengarang?"

Damian terdiam, kata-kata itu memukul telak dirinya. Wajahnya yang tadinya merah karena amarah kini membeku. Ia tidak pernah memikirkan kemungkinan itu.

"Enggak mungkin," desis Damian, lebih ke dirinya sendiri. "Fara enggak mungkin berbohong."

"Mungkin aja, kan?" timpal Valeria. "Lo sudah bertemu Fara lagi? Lo sudah dengar cerita yang sebenarnya dari dia?"

Damian menunduk, otaknya berputar keras. Selama ini ia hanya percaya pada kata-kata Fara. Ia memendam kebencian pada Revan tanpa pernah mencoba mengklarifikasi kebenaran. Mata Damian menatap kosong ke depan, keraguan mulai menyusup ke dalam hatinya.

Valeria melanjutkan, nadanya tetap tenang dan penuh perhitungan. "Ada dua kemungkinan yang terjadi, Damian. Pertama, Fara memang mau putus sama lo karena dia suka sama Revan. Tapi lo nggak terima, makanya dia deketin Revan. Tapi Revan nggak mau, karena dia tahu Fara masih milik lo. Hingga akhirnya Fara mengatakan kata-kata itu ke lo sebagai alibi dia."

Damian tidak menyela. Ia hanya menatap Valeria, bingung.

"Kedua," lanjut Valeria, "dia kecewa sama lo, sampai-sampai dia sengaja mendekati Revan cuma buat bikin lo cemburu, manas-manasin lo, dan bikin lo marah. Niatnya dia nggak mau putus, dia cuma lagi 'ngetes' lo."

Valeria mencondongkan tubuhnya ke depan. "Intinya, terlepas dari mana pun yang benar, itu masalah kalian. Bukan masalah gue, dan bukan alasan buat lo ngancam Revan."

...🍃 Flashback End 🍃...

Kembali ke Halaman Belakang

Valeria menyelesaikan ceritanya, kembali ke masa kini. Revan terdiam, kaget mendengar apa yang telah dilakukan Valeria. Ia menyadari betapa jauh Valeria telah melangkah, dan betapa beraninya ia menghadapi Damian.

"Jadi... lo yang bikin dia ragu?" tanya Revan, tidak percaya. "Val, lo... lo luar biasa."

Valeria hanya tersenyum tipis. Ia tahu, kata-katanya kepada Damian adalah kunci utama yang akan mereka gunakan.

Valeria tersenyum miris. "Sebenarnya gue cuma asal nebak aja, Revan. Tapi gue enggak nyangka, opsi yang pertama itu ternyata alasan dari perseteruan lo sama Damian."

Revan menatap Valeria, hatinya dipenuhi rasa kagum dan bersalah. "Jadi selama ini, lo udah berusaha bantuin gue?" tanyanya, suaranya pelan. "Kenapa lo enggak cerita?"

"Gue mau lo jujur sama gue, Revan. Bukan karena tebakan gue yang benar, tapi karena lo percaya sama gue," jawab Valeria, nada bicaranya melembut. "Lo teman masa kecil gue. Gue cuma pengen lo percaya, sama seperti lo dulu selalu ada buat gue."

Mendengar itu, Revan menunduk, penyesalan memenuhi hatinya. "Gue bodoh. Maafin gue, Val. Seharusnya gue enggak pernah nutupin ini dari lo."

Valeria menepuk pundak Revan. "Sekarang bukan waktunya buat menyesal. Kita udah tahu kebenarannya. Kita harus bertindak."

"Lo benar," kata Revan, mengangkat kepalanya. "Kita harus hubungi Aluna. Tapi kita harus pintar. Kita enggak boleh bikin Fara curiga."

"Gue punya ide," ucap Valeria, matanya berbinar. "Kita akan hubungi Aluna, tapi bukan untuk minta bukti. Kita akan pura-pura kalau kita enggak tahu apa-apa, dan minta dia untuk menceritakan segalanya dari awal."

Revan menyeringai. "Ide bagus. Kita harus bersiap, Val. Besok, semuanya akan terungkap.

Valeria menghela napas. "Iya, ehm... udah malam. Mending lo balik deh, Revan," ucapnya pelan, lalu menambahkan dengan cepat, "bukan berarti gue ngusir lo, Ya."

Revan tersenyum, mengerti maksud Valeria. "Iya, gue tahu. Makasih, Val. Buat semuanya."

Keduanya bangkit dari kursi dan berjalan menuju pintu depan. Keheningan menyelimuti mereka, namun kali ini bukan keheningan yang canggung, melainkan keheningan yang penuh dengan pemahaman.

"Besok kita lanjutin rencananya," bisik Revan saat mereka sampai di depan gerbang.

"Iya," jawab Valeria, tatapannya kini dipenuhi dengan tekad yang baru.

Revan mengangguk, lalu menaiki motornya. Valeria menunggu sampai motor Revan menghilang di belokan jalan, sebelum ia kembali masuk ke dalam rumah. Malam itu, ia tidur dengan hati yang masih terluka, tetapi dengan keyakinan baru bahwa ia tidak sendirian lagi.

Keesokan harinya, seperti biasa, sopir pribadi Valeria sudah menunggu di luar halaman depan rumah. Valeria melangkah keluar dengan tas sekolah di punggungnya.

Mamanya, Diandra, tersenyum dan melambaikan tangan dari pintu. "Kamu hati-hati ya, Val. Yang benar sekolahnya, semangat belajarnya, jangan kecewain mama," pesannya dengan nada penuh kasih sayang.

Valeria mengangguk, namun pikirannya tak fokus. Kata-kata mamanya terasa berat, karena kini ia menyadari bahwa ada hal lain yang harus ia selesaikan, yang jauh lebih penting dari sekadar pelajaran di sekolah. Ia harus mencari kebenaran, agar tidak ada lagi yang kecewa, termasuk dirinya.

Valeria masuk ke mobil dan sopirnya mulai melaju ke arah sekolah.

Setibanya di sekolah, ketika Valeria turun dari mobil, Revan sudah ada di sana menunggunya. Ia langsung menghampiri Valeria.

"Kamu udah hubungi Aluna?" tanya Valeria, tanpa basa-basi.

Revan tersenyum. "Kamu? Kamu nggak pakai 'lo' lagi?"

Valeria menatapnya, bingung. "Memangnya kenapa kalau aku panggil 'kamu', Revan?"

"Nggak, soalnya semalam kamu manggil 'lo'," jawab Revan. "Biasanya kamu panggil 'lo' kalau lagi kesal atau marah. Jadi... sekarang kamu udah nggak marah lagi sama aku?"

Valeria tertawa kecil. "Hahaha, ya terserah kamu. Tapi bukannya kamu duluan yang manggil ' lo , gue' pas pulang sekolah kemarin.

" Ya Maaf, soalnya aku kesel liat kamu sama Damian sampai tasnya dibawain lagi. Kata Revan dengan nada kesal.

" Yaudah, jangan dibahas lagi. Jadi, kamu udah hubungi Aluna?" Tanya Valeria.

Revan menggeleng. "Belum. Sepertinya lebih enak ngomong langsung aja biar jelas."

"Oke," kata Valeria. "Nanti pas istirahat, kita ngobrol bertiga di taman. Kamu, aku, dan Aluna."

"Oke, yuk masuk," ajak Revan, tersenyum lega. Keduanya pun berjalan beriringan menuju kelas.

Tanpa mereka sadari, Damian yang berada tidak jauh dari mereka, mendengar percakapan itu. "Valeria, Revan, Aluna... apa yang mau mereka omongin?" gumamnya, matanya menyipit penuh kecurigaan.

Damian pun melangkah masuk ke dalam sekolah. Di koridor, ia melihat Revan berpamitan dengan Valeria. Revan melambaikan tangan dan tersenyum, dan Valeria membalasnya. Pemandangan itu membuat hati Damian panas.

Saat Valeria berjalan menuju kelas, Damian mengikutinya dari belakang. Hatinya dipenuhi rasa penasaran dan cemburu. "Apa yang lo dan Revan rencanakan, Valeria?" pikirnya dalam hati.

Ketika Valeria hampir sampai di depan pintu kelas, Damian menepuk pundaknya. Valeria menoleh, kaget melihat Damian berdiri di depannya dengan senyum yang dipaksakan.

"Hai, pagi, Valeria," sapa Damian.

"Lo kok bisa ada di belakang gue?" tanya Valeria, bingung.

"Lo-nya yang nggak sadar," kata Damian, menyeringai tipis. Lalu, ia berjalan masuk ke dalam kelas, meninggalkan Valeria yang masih berdiri di depan pintu dengan perasaan bingung.

Valeria menghela napas, mencoba menenangkan diri. Ia pun melangkah masuk dan berjalan menuju bangku di sebelah Damian. Damian terus menatapnya, dengan tatapan yang sulit diartikan, membuat Valeria merasa semakin tidak nyaman.

"Kenapa lo ngeliatin gue? Ada apa sih?" tanya Valeria, tidak tahan dengan tatapan Damian yang intens.

"Nggak ada," jawab Damian singkat, tapi matanya tidak berhenti menatap Valeria.

Valeria merasa ada yang tidak beres. Tatapan Damian kali ini berbeda, bukan lagi tatapan sinis, melainkan penuh kecurigaan dan rasa ingin tahu.

Bel pun berbunyi nyaring.

...Kring...! Kkrring...! Kkrriiing....!...

Para murid mulai berhamburan masuk ke dalam kelas dan duduk di bangku masing-masing. Tak lama kemudian, Pak Guru datang dan memulai pelajaran Biologi.

"Oke, anak-anak, buka buku paket Biologi kalian halaman 49," ucap Pak Guru.

Para murid dengan patuh membuka tas, menyiapkan alat tulis dan buku paket. Begitu juga dengan Valeria. Namun, ketika Damian membuka tasnya, ia berdecak kesal.

"Valeria, gue lupa bawa buku paket," katanya dengan suara pelan. "Jadi, gue nebeng, ya?"

Valeria menoleh, terkejut. Damian sudah menarik kursinya lebih dekat. Ia tidak bisa menolak, karena Pak Guru sudah memulai pelajaran. Dengan terpaksa, Valeria menggeser bukunya lebih ke tengah.

Suasana pelajaran Biologi terasa aneh bagi Valeria. Meskipun Pak Guru menjelaskan tentang sel-sel tumbuhan dengan lantang, Valeria tidak bisa fokus. Yang ia rasakan hanyalah kehadiran Damian yang begitu dekat. Setiap Damian mencondongkan tubuhnya untuk melihat buku, bahu mereka bersentuhan. Aroma parfumnya yang khas memenuhi indra penciuman Valeria, membuatnya semakin tidak nyaman.

Damian sesekali menunjuk ke arah buku, seolah-olah bertanya, tapi ia hanya bergumam.

"Jadi, nanti istirahat mau ngobrol apa di taman?" bisik Damian, suaranya sangat pelan, hanya bisa didengar oleh Valeria.

Valeria terkejut, jantungnya berdegup kencang. Ia menoleh ke arah Damian, matanya membelalak. "Maksud lo?"

"Nggak ada," jawab Damian, menyeringai. "Cuma nanya." Ia kembali berpura-pura fokus pada buku, tapi tatapannya tetap sinis.

Valeria kembali menatap ke depan, pikirannya kacau. Damian ternyata sudah tahu rencana mereka. Ia tidak tahu bagaimana Damian bisa mendengarnya, tapi ia tahu bahwa rencana mereka sekarang dalam bahaya.

Valeria berpikir cepat, tidak ingin terlihat takut. "Ehem... bukan urusan lo, dan enggak semua hal lo harus tahu," jawabnya, suaranya pelan namun penuh ketegasan.

Damian tertawa kecil, senyum sinisnya kembali. "Haha, lo ikutin kata-kata gue."

Valeria menatapnya tajam. "Terserah lo. Lebih baik lo lihat ke depan dan buku. Diam!" bisiknya, memberi penekanan pada kata terakhir.

Tiba-tiba, suara Pak Guru terdengar. "Valeria, Damian! Ada apa kalian ribut di belakang? Kalau tidak mau dengar pelajaran, keluar!" tegurnya.

Keduanya terdiam. Damian kembali fokus ke buku, tapi sesekali ia masih melirik Valeria dengan senyum misteriusnya. Sementara itu, Valeria hanya bisa menahan napas, tahu bahwa pertempuran kecil ini baru saja dimulai.

Bel istirahat pun berbunyi nyaring. Para guru di kelas Revan dan Valeria sama-sama mengakhiri pelajaran mereka dan meninggalkan ruangan. Di kelasnya, Revan berdiri.

"Mau ke mana, Van?" tanya Liam.

"Mau ke kelas Valeria," jawab Revan. "Nanti gue cerita."

Setelah Liam dan Kian keluar, Revan menoleh ke arah Aluna yang duduk di bangku depannya.

"Aluna," panggil Revan, suaranya pelan.

Aluna menoleh, sedikit terkejut melihat Revan. "Revan? Ada apa?" tanyanya, terlihat sedikit tegang.

"Gue sama Valeria mau ngobrol sama lo," kata Revan, berusaha meyakinkan. "Nanti di taman, ya?"

Wajah Aluna berubah cemas. "Valeria? Ada apa? Apa... Revan, apa lo udah bilang ke Valeria?"

"Gue jelasin semuanya nanti," potong Revan dengan lembut. "Sekarang lo duluan aja ke taman. Gue mau jemput Valeria dulu."

Aluna terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Melihat tatapan Revan yang tulus, ia mengangguk. "Oke," jawabnya, sedikit ragu.

Revan tersenyum. "Makasih, Aluna." Ia kemudian bergegas keluar, menuju kelas Valeria.

Sesampainya di depan pintu kelas Valeria, Revan melihat pemandangan yang membuatnya mengernyit. Valeria dan Damian masih duduk di bangku mereka. Damian mencondongkan tubuhnya ke arah Valeria, menatapnya dengan intens.

"Val, di rambut lo ada sesuatu," ucap Damian, suaranya pelan. Ia kemudian semakin mendekatkan wajahnya ke Valeria dan menyentuh rambutnya.

Valeria terkejut dan mencoba menghindar. Namun, sebelum ia sempat berbuat apa-apa, Revan melihat itu dan berteriak keras.

"DAMIAN!" teriaknya.

Valeria kaget dan langsung menoleh ke arah Revan, sedangkan Damian tersenyum sinis, menarik tubuhnya kembali, dan bersandar di kursinya.

"Re... Revan," ucap Valeria, kaget. Ia menoleh ke arah Damian yang kini tersenyum sinis, lalu dengan cepat berlari ke arah Revan. Tanpa ragu, ia meraih tangan Revan dan menariknya menjauh dari pintu kelas.

Mereka berjalan cepat menyusuri koridor yang ramai oleh siswa-siswa lain. Revan, yang masih diliputi amarah, tidak bisa menyembunyikan kekesalannya. "Kenapa kamu bisa duduk sama dia, Valeria?" tanyanya, suaranya terdengar frustrasi.

Valeria menghentikan langkahnya di ujung koridor, di dekat tangga yang sepi. Ia menoleh ke Revan, matanya menatapnya lurus. "Aku enggak punya pilihan, Revan. Tempat duduknya kemarin diatur sama wali kelas. Satu bangku harus diisi laki-laki dan perempuan, dan kita harus duduk bersama sampai wali kelas mengaturnya lagi," jawabnya, suaranya pelan tapi tegas.

"Hah, oke. Tapi kenapa harus dengan dia, Valeria? Dari sekian banyaknya laki-laki di dalam kelas kamu?" tanya Revan, masih tidak terima.

"Aku nggak tahu. Aku terpaksa setuju, Revan. Aku juga nggak bisa membantah Bu Guru," kata Valeria. "Tapi Revan, ini gawat. Damian tahu rencana kita."

"Dia tahu? Apa maksudmu?" tanya Revan, bingung.

"Tadi di kelas, dia bilang kalau dia tahu kita mau ngobrol bertiga sama Aluna di taman. Dia dengerin kita di depan pintu masuk tadi," jelas Valeria. "Aku mau kasih tahu kamu nanti, tapi dia duluan yang mancing aku."

Mendengar itu, Revan terdiam. Wajahnya yang tadinya memerah kini meredup, digantikan oleh ekspresi penyesalan. Ia tahu bahwa ia seharusnya tidak berteriak dan membuat keributan.

"Maaf," ucap Revan. "Aku nggak bisa nahan emosi tadi."

"Nggak apa-apa," kata Valeria. "Sekarang bukan waktunya untuk marah. Kita harus tenang. Kita ke taman sekarang, Aluna pasti sudah menunggu."

Ketika Valeria dan Revan pergi, Damian keluar dari balik tembok tempat ia bersembunyi.

...Hanya ilustrasi gambar....

Hatinya dipenuhi amarah dan kecurigaan. Ia mulai mengikuti mereka, menjaga jarak agar tidak ketahuan.

Mereka tiba di taman sekolah. Terlihat Aluna sudah duduk di sebuah bangku, membaca buku dengan gelisah.

...Hanya ilustrasi gambar....

Valeria dan Revan segera menghampirinya. Valeria duduk di samping Aluna, sementara Revan memilih untuk berdiri di hadapan mereka.

Tak lama kemudian, Damian juga sampai di taman. Ia mencari tempat yang tidak terlihat dan akhirnya memilih bersembunyi di balik pohon, dari sana ia bisa melihat Valeria, Aluna, dan Revan. Ia mengamati mereka dengan tatapan tajam, siap mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut mereka.

...Hanya ilustrasi gambar....

Aluna menaruh bukunya dan menatap mereka. "Jadi, apa yang mau kalian bicarakan?" tanyanya, suaranya terdengar tegang.

"Nanti dulu," kata Valeria, tidak langsung menjawab. Matanya menyapu sekeliling taman, mencari-cari sesuatu.

Revan yang melihat Valeria terlihat gelisah bertanya, "Ada apa, Val?"

Valeria menoleh ke arahnya, ekspresinya serius. "Damian," bisiknya, meyakinkan bahwa Damian memang ada di sekitar mereka.

Revan dan Aluna sama-sama terkejut. Revan melirik ke sekeliling, mencoba menemukan Damian. Sementara itu, Aluna terlihat semakin ketakutan, ia tahu bahwa jika Damian tahu rencananya, masalah akan semakin besar.

"Aku takut dia ada di sini," kata Valeria, suaranya kini lebih tenang. "Bisa-bisa dia menguping pembicaraan kita. Kita nggak bisa ngobrol di sini."

Revan kembali melihat sekelilingnya dengan saksama. Tatapannya tertuju pada sebuah pohon besar di seberang mereka. Merasa ada yang tidak beres, Revan hendak melangkah.

Di sisi lain, Damian yang bersembunyi di balik pohon merasakan kehadiran Revan yang curiga. Ia pun dengan cepat bersembunyi ke tempat lain.

Valeria menyadari Revan hendak melangkah, ia bertanya, "Mau ke mana?"

"Bentar," jawab Revan. Ia melangkah ke arah pohon itu, namun tidak menemukan siapa pun. Ia kembali ke tempat Valeria dan Aluna, dengan wajah yang kesal. "Dia ada di sini. Gue yakin."

"Kita nggak bisa ngobrol di sini," kata Valeria, suaranya pelan tapi tegas. "Kita harus cari tempat lain."

Aluna mengangguk cemas. "Di mana?"

Valeria berpikir sejenak. "Ruang musik. Biasanya kosong saat jam istirahat."

Revan menyetujui, "Ayo. Cepat."

Mereka bertiga bergegas meninggalkan taman. Revan sesekali menoleh ke belakang, memastikan Damian tidak mengikuti mereka. Di sisi lain, Damian, yang kini bersembunyi di balik semak-semak, melihat mereka pergi dengan bingung. Ia tak tahu ke mana tujuan mereka, tapi ia tahu ia harus mencari tahu.

Valeria, Revan, dan Aluna akhirnya tiba di ruang musik. Ruangan itu sunyi dan sepi, jauh dari keramaian sekolah. Mereka duduk di kursi yang disusun melingkar. Aluna terlihat sangat tegang, tangannya saling meremas.

"Baiklah, kita sudah aman di sini," kata Revan, suaranya melembut. Ia lalu menoleh ke arah Aluna. "Aluna, kita tahu semuanya."

Di sisi lain, Damian, yang kehilangan jejak, mengawasi koridor dengan frustrasi. Ia yakin Valeria dan Revan bersembunyi di suatu tempat untuk berbicara dengan Aluna, dan ia harus menemukan mereka.

Tiba-tiba, seorang temannya, Bima, datang menghampiri. "Damian! Ayo main bola, kurang satu orang nih!" ajaknya dengan semangat.

Damian menolak, "Nggak ah, lo aja."

Namun, Bima tidak menyerah. Ia melihat ekspresi serius Damian. "Dih, kenapa sih lo? Jangan cemberut gitu, ah," kata Bima sambil menarik tangan Damian. "Nanti Revan dapet Valeria, baru tahu rasa lo!"

Mendengar nama Revan dan Valeria disebut, Damian sontak terdiam. Perkataan Bima, yang sebenarnya hanya candaan, terasa seperti pukulan telak. Matanya memandang ke arah koridor tempat Valeria dan Revan menghilang, dipenuhi amarah yang semakin membara. Dengan terpaksa, ia membiarkan Bima menariknya ke lapangan.

Diruang musik.

"Aku sudah cerita ke Valeria tentang kamu sepupu Fara, dan tentang masalah kita antara aku, Damian, dan Fara," kata Revan, tatapannya lekat pada Aluna. "Valeria mau dengar semuanya langsung dari mulut kamu, dari awal yang kamu tahu antara kita bertiga."

Aluna terdiam, tangannya berhenti meremas. Wajahnya yang tegang kini terlihat putus asa. Ia menatap Revan, lalu beralih ke Valeria, mencari petunjuk.

Valeria mengangguk pelan. "Kami tahu kamu nggak salah, Aluna. Kami cuma butuh kebenaran. Fara sudah terlalu jauh berbohong."

Melihat ketulusan di mata Valeria, Aluna menghela napas panjang. "Sebenarnya... Fara itu pacarnya Damian. Mereka pacaran sudah hampir dua tahun," katanya memulai cerita, suaranya parau. "Tapi, Fara selalu merasa Damian terlalu posesif dan cemburuan."

"Lalu... kenapa Fara mendekati Revan?" tanya Valeria.

"Fara bilang ke aku, dia suka sama Revan. Tapi Fara juga bilang kalau dia mau lihat apakah Damian akan cemburu. Dia cuma mau 'ngetes' Damian," jelas Aluna. "Tapi saat dia lihat Revan waktu kamu sama Damian tanding basket, dia mulai suka sama kamu, Revan. Saat lihat kamu perhatian sama Valeria, dia iri. Dia pengin punya cowok kayak kamu yang perhatian sama ceweknya."

Revan menyela, "Lalu kenapa Fara bilang ke Damian kalau gue yang meracuni pikirannya?"

"Itu semua bohong," bisik Aluna, matanya berkaca-kaca. "Fara bilang kalau Revan meracuni pikiran Fara dan menyuruhnya untuk pergi dari Damian. Tapi sebenarnya... Revan menolak Fara, dan Fara tidak terima. Fara merasa Revan meremehkannya. Dia bilang, Revan harus dihukum karena sudah membuat Fara malu."

"Apa yang dia lakukan?" tanya Valeria.

"Fara menghubungi Damian dan memberitahu Damian kalau Revan sudah membuat Fara kecewa. Fara lalu bilang kalau dia akan membuktikan bahwa Revan tidak pantas untuk siapa pun, termasuk kamu, Valeria," kata Aluna, air matanya mulai menetes. "Fara akan pindah ke sini minggu ini, dan dia berencana untuk... untuk mengambil Damian kembali dan membuat Revan menderita."

"Satu pertanyaan lagi, Aluna," kata Valeria, suaranya pelan. "Apa dia pernah tanya sama lo tentang gue dan ada hubungan apa gue sama Revan?"

Aluna menunduk, tangannya gemetar. "Dia tanya. 'Cewek yang sama Revan siapa namanya?' Gue bilang Valeria," katanya, suaranya hampir tidak terdengar. "Terus dia bilang, 'Jadi pacarnya namanya Valeria, ya? Cantik sih, tapi lihat aja nanti, gue akan ambil Revan dari dia'."

Valeria tertegun, kata-kata itu menusuk hatinya. Ancamannya tidak hanya ditujukan pada Revan, tetapi juga langsung padanya. Di sampingnya, Revan mengepalkan tangannya. Amarah dan rasa bersalah memenuhi dirinya. Fara ternyata jauh lebih berbahaya dari yang mereka duga. Ia tidak hanya manipulatif, tapi juga penuh dendam dan niat buruk.

"Dia sengaja mengincar kamu, Val," bisik Revan, matanya penuh penyesalan.

Valeria tidak menjawab, pikirannya berputar. Mereka kini tahu Fara adalah musuh yang cerdas dan kejam. Mereka tidak bisa lagi bertindak ceroboh.

"Kita nggak bisa diam saja," kata Valeria, suaranya tenang tapi matanya menunjukkan tekad yang kuat. Ia menatap Revan, lalu beralih ke Aluna. "Kita harus bertindak sebelum Fara mulai rencananya."

"Gue setuju," jawab Revan. "Tapi gimana? Dia nggak ada di sini, dan Damian nggak akan percaya omongan kita."

"Kita butuh bukti," timpal Valeria, pandangannya tertuju pada Aluna. "Aluna, apa kamu punya bukti? Bukti dari percakapan Fara denganmu, atau sesuatu yang bisa menunjukkan kalau dia bohong?"

Aluna terlihat ragu. "Aku... aku punya beberapa tangkapan layar percakapan kami. Fara pernah bilang dia mau 'ngetes' Damian. Dia juga pernah bilang tentang rencananya mengambil Revan dari Valeria."

Wajah Revan dan Valeria langsung berbinar. "Aluna, kamu penyelamat kita," ucap Revan, lega.

"Tapi... kalian nggak boleh kasih tahu Fara kalau aku yang kasih tahu ya," pinta Aluna, suaranya bergetar. "Aku takut sama Fara."

"Kami janji, Aluna," kata Valeria. "Kami akan lindungin kamu. Revan akan jelaskan semuanya ke Damian, tapi bukan dengan cara biasa. Kita akan pakai bukti ini untuk menunjukkan siapa Fara sebenarnya."

Revan mengangguk, menyetujui rencana Valeria. Mereka kini punya senjata ampuh, dan ancaman Fara tidak lagi membuat mereka gentar.

"Udah, yuk, ke kantin," ajak Valeria, menghela napas. "Udah laper. Masih ada waktu, kan?"

Revan mengangguk. "Masih."

Aluna mengangguk, meskipun ia masih terlihat cemas. Mereka bertiga berjalan keluar dari ruang musik, menyusuri koridor yang kini ramai dengan siswa yang juga menuju kantin. Mereka berjalan dengan waspada, sesekali melirik ke sekeliling, khawatir Damian akan muncul lagi.

Di kantin, mereka mengambil makanan dan duduk di sudut yang lebih sepi. Sambil makan, mereka berbisik-bisik, menyusun rencana.

"Kita nggak bisa langsung tunjukkan ini ke Damian di sini," kata Valeria, menunjuk ponsel Aluna. "Dia bisa marah dan membuat keributan. Kita butuh waktu yang tepat."

"Tapi kapan?" tanya Revan.

"Nanti sepulang sekolah," usul Valeria. "Kita ajak dia bicara di tempat yang lebih pribadi. Kita tunjukkan bukti ini padanya saat dia sedang sendiri."

Revan dan Aluna setuju. Mereka tahu, ini adalah satu-satunya cara untuk membuat Damian melihat kebenaran.

Di kantin, suasana riuh rendah, dipenuhi tawa dan percakapan para siswa. Valeria, Revan, dan Aluna duduk di meja sudut, jauh dari keramaian. Piring-piring makanan mereka hampir kosong, tetapi mereka tidak terburu-buru. Sambil makan, mereka berbisik-bisik, mengonfirmasi rencana yang sudah mereka susun.

"Kamu yakin ini akan berhasil?" tanya Aluna, masih terlihat cemas.

"Aku yakin," jawab Valeria. "Damian harus tahu yang sebenarnya."

"Gue juga akan bantuin lo, Val," timpal Revan. "Kita berdua akan yakinin dia."

Sementara mereka berbicara, Liam dan Kian melewati meja mereka. Mereka melirik dengan heran. Terlihat jelas bahwa ada sesuatu yang aneh. Mereka tidak pernah melihat Revan, Valeria, dan Aluna duduk bersama seperti itu. Namun, Revan hanya tersenyum dan mengangguk, isyarat agar mereka tidak bertanya.

Setelah selesai makan, bel masuk pun berbunyi. Mereka bertiga berdiri dan berjalan keluar kantin. Ada kecemasan di mata Aluna, tetapi Valeria dan Revan memiliki tekad yang kuat. Mereka tahu, jam-jam pelajaran setelah ini akan terasa sangat panjang, karena mereka tidak sabar untuk mengungkap kebenaran.

Bersambung....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!