kisah fiksi, ide tercipta dari cerita masyarakat yang beredar di sebuah desa. dimana ada seorang nenek yang hidup sendiri, nenek yang tak bisa bicara atau bisu. beliau hidup di sebuah gubuk tua di tepi area perkebunan. hingga pada akhirnya sinenek meninggal namun naas tak seorangpun tahu, hingga setu minggu lamanya seorang penduduk desa mencium aroma tak sedap
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Apa yang Disaksikan Mbah Sanem?
Malam mulai merambat pelan di Desa Tirnawati. Bintang-bintang terlihat malu-malu muncul di balik awan tipis. Angin bertiup lirih, membawa aroma tanah basah yang belum lama disiram hujan sore tadi. Tapi ada yang berbeda malam itu—sepi yang menggantung terasa bukan seperti biasanya. Seolah-olah ada sesuatu yang tengah mengintai dari kejauhan.
Di rumah Pak Lutfi, suasana jauh dari kata tenang. Mbah Tejo sudah bersila di tengah ruangan, dikelilingi dupa yang mengepul. Di hadapannya terletak kendi tanah liat dan selembar kain lusuh yang tampak sangat tua.
Pak Lutfi membuka sedikit jendela. Angin masuk, membawa aroma aneh yang membuat hidungnya mengerut.
“Mbah… ini baunya agak ganjil, ya?” tanya Pak Lutfi perlahan.
Mbah Tejo mengangguk pelan. “Bukan bau biasa, Pak Ustaz. Ini bau dari dunia lain… bau dari mereka yang belum tenang meninggalkan dunia.”
Kain lusuh di depan Mbah Tejo tiba-tiba bergerak pelan. Padahal, angin tidak cukup kencang untuk membuatnya berpindah.
“Saya akan mencoba berkomunikasi dengan arwah Mbah Sanem,” ucap Mbah Tejo lirih. “Kita perlu tahu, apa yang sebenarnya terjadi malam itu.”
Pak Lutfi duduk bersila di sisi lain ruangan. Bibirnya bergerak pelan, membaca ayat-ayat suci sebagai pelindung. Wajahnya tampak tegang namun penuh keyakinan.
Tiba-tiba…
BRAK!
Jendela tertutup sendiri. Kendi bergoyang keras sebelum akhirnya retak di bagian bawah. Kain lusuh seolah ditarik sesuatu yang tak terlihat, mencuat ke atas sebentar, lalu jatuh kembali.
Dari kain tersebut, terdengar bisikan lirih… serak… seperti suara seseorang yang kesulitan bicara.
“Aku… melihat… sesuatu… yang seharusnya tidak kulihat…”
Mbah Tejo membelalakkan mata. “Pak Ustaz! Panjenengan mendengar, bukan?”
Pak Lutfi mengangguk, wajahnya berubah pucat. “Dia berkata… melihat sesuatu yang seharusnya tidak disaksikan…”
Mbah Tejo langsung mengambil segel kain kecil dari kantong bajunya. “Ini lebih dari sekadar kematian biasa. Mbah Sanem adalah saksi. Mungkin… dia menyaksikan sesuatu yang besar, yang membuatnya harus dibungkam.”
Keesokan paginya, kehebohan kembali menyelimuti desa. Pak Minto, pemilik warung kopi dekat pasar, menemukan bercak darah kering di bawah bangku panjang tempat biasa warga duduk.
Namun yang membuat bulu kuduk merinding, bentuk darah itu menyerupai jejak tangan mungil—seperti tangan seorang anak kecil.
“Pak Minto! Jangan disapu dulu! Ini bisa jadi bukti penting!” seru Udin yang datang terburu-buru sambil menggenggam ponsel untuk memotret.
“Lha kalau tidak saya bersihkan, nanti orang-orang jadi takut ngopi di sini, Din,” sahut Pak Minto cemas.
Pedot yang baru datang ikut bersuara sambil mengunyah gorengan, “Lebih baik kita lapor Pak Ustaz saja. Ini sudah di luar nalar.”
“Saya tidak setuju,” sahut Udin sambil menyalakan kamera. “Kita lihat dulu rekaman CCTV.”
Pak Minto mengerutkan dahi. “Lha Din… warung saya ini mana ada CCTV-nya?”
Udin diam sebentar, lalu menepuk dahinya. “Iya juga, ya… aku lupa…”
Menjelang sore, Pak Lutfi mengundang beberapa warga laki-laki untuk berkumpul di mushola kecil desa. Mbah Tejo turut hadir, membawa tas kain berisi peralatan ritualnya.
“Saudara-saudara sekalian… saya mohon tenang. Ada hal yang perlu saya sampaikan,” buka Pak Lutfi dengan nada serius. “Arwah Mbah Sanem belum tenang. Saya dan Mbah Tejo percaya, kematian beliau bukan semata-mata karena perampokan.”
“Lho, memangnya bukan karena dirampok, Pak Ustaz?” celetuk Pak Bardi, Ketua RT.
Mbah Tejo maju, suaranya dalam dan mantap.
“Perampok hanya kedok, Pak RT. Yang membunuh Mbah Sanem bukan orang biasa. Ini kemungkinan besar berkaitan dengan dendam masa lalu. Mungkin… ada orang desa ini yang menyimpan rahasia besar.”
Warga saling memandang. Ada yang mulai gelisah.
“Pak Karyo, njenengan tahu sesuatu, kah?” tanya Udin dengan nada setengah bercanda.
Pak Karyo langsung mengangkat kedua tangannya. “Saya hanya tukang kebun, Din. Jangan-jangan malah kamu yang tahu lebih banyak!”
Mbah Tejo angkat tangan, memberi isyarat agar semua kembali tenang.
“Besok malam, saya ingin mencoba berkomunikasi kembali dengan arwah Mbah Sanem. Tapi kali ini, saya butuh bantuan warga—seseorang yang bersih hatinya, berani, dan tidak menyimpan dendam.”
Warga kembali saling melirik, tidak satu pun yang mengajukan diri.
“Biar Pedot saja yang maju, Mbah!” seru Udin tiba-tiba. “Wajahnya desa banget, pasti cocok jadi perantara.”
“Wah, tidak bisa! Saya sibuk besok malam, harus bantu Ibu menyapu halaman!” kilah Pedot sambil mundur pelan.
“Kalau begitu, Udin saja,” kata Pak Lurah sambil tersenyum kecil.
Udin mendesah panjang. “Saya berani, tapi kalau ketemu hantu, saya bisa-bisa pindah desa seminggu penuh…”
Semua yang hadir tertawa kecil, tapi wajah Mbah Tejo tetap serius.
“Kalau memang kamu yang maju, Din, kamu harus puasa mulai malam ini. Jangan makan daging, jangan berkata kasar, dan jangan marah. Kalau tidak… bisa berbahaya.”
Udin menelan ludah. “Kalau saya marah saat nonton sinetron, itu masuk, Mbah?”
Pak Lutfi hanya tersenyum sambil menutup pertemuan malam itu dengan doa.
Malam kembali turun. Desa Tirnawati diselimuti kabut tipis, bulan hanya tampak setengah dari balik awan.
Di rumah kosong dekat balai desa yang dijadikan tempat ritual, Udin sudah duduk bersila dengan kain putih membungkus tubuhnya. Wajahnya tegang.
Pak Lutfi duduk tidak jauh, membaca surah pelan-pelan. Mbah Tejo membakar dupa, menggambar simbol-simbol di lantai dengan kapur putih.
Ritual dimulai.
Dupa mulai mengepul pekat. Suhu ruangan turun drastis.
Udin mulai merintih, badannya menggigil.
Tiba-tiba…
“Aku… tahu… siapa yang membunuhku…”
Suara itu keluar dari mulut Udin. Tapi jelas bukan suara Udin. Suara tua, serak, menyayat.
“Aku melihat… mereka… malam itu… laki-laki dengan tato di lengan… cincin batu hitam…”
Pak Lutfi dan Mbah Tejo saling pandang.
“Pak Ustaz… ini serius. Saya kira saya tahu siapa orangnya…” bisik Mbah Tejo.
Udin menangis, tubuhnya bergetar hebat.
“Aku… dikorbankan… bukan dirampok… Aku harus diam… atau mati…”
Setelah itu, Udin pingsan. Tubuhnya terkulai lemas. Dupa padam sendiri.
Pak Lutfi menunduk, wajahnya penuh kesedihan. “Ini sudah sangat jelas… Kita harus segera bertindak sebelum ada korban berikutnya…”
Malam itu menjadi awal dari pencarian kebenaran yang sesungguhnya. Mbah Sanem bukan korban biasa. Ia saksi… saksi dari rahasia kelam yang selama ini disembunyikan di balik ramahnya Desa Tirnawati.
Fajar perlahan merekah di atas perbukitan yang mengelilingi Desa Tirnawati. Kabut tipis masih menggantung di antara pepohonan, menyelubungi jalan-jalan setapak yang mengarah ke ladang dan kebun teh milik warga. Suara ayam berkokok bersahutan dari berbagai penjuru. Bagi sebagian besar warga, pagi adalah saat paling damai. Namun pagi ini, damai itu terasa rapuh. Ada sesuatu yang mengendap di balik hiruk-pikuk pasar dan kesibukan warga membuka hari.
Udin belum bangun dari tempat tidurnya sejak kejadian malam itu. Ibunya, Bu Sarti, duduk di sisi ranjang sambil menatap anaknya dengan cemas. Wajah Udin pucat, peluh dingin masih tampak di pelipisnya.
“Masih belum sadar, Bu?” tanya Pak Lutfi yang datang pagi-pagi sekali.
Bu Sarti menggeleng pelan. “Semalam sempat menggigau, Pak Ustaz. Katanya… ‘dia lihat aku… dia tahu…’”
Pak Lutfi menarik napas panjang. “Biarlah Udin istirahat dulu. Tubuhnya pasti terkuras energi. Saya akan minta Mbah Tejo buatkan ramuan penenang.”
Di luar rumah Udin, suasana desa mulai bergerak. Para pedagang mulai menggelar dagangan di pasar. Aroma jajanan tradisional seperti lupis, serabi, dan arem-arem mulai menggoda penciuman. Di tengah keramaian, Pedot—yang semalam ikut menemani tapi lari duluan saat asap dupa mulai tebal—nampak duduk di warung Pak Minto sambil memegangi kepala.
“Wah… semalam itu… bener-bener pengalaman paling serem seumur hidup, Pak Minto…” katanya sambil menyeruput teh manis.
Pak Minto tertawa kecil. “Padahal kamu itu paling sok berani, Tot. Katanya berani lawan maling, tapi kemarin kabur duluan.”
“Saya bukan takut, Pak. Cuma… menjaga jarak,” sahut Pedot berkilah. “Kalau saya deket-deket, nanti setannya takut, malah nggak jadi datang.”
Obrolan di warung menjadi pelipur pagi, namun warga tetap memperhatikan perubahan kecil yang terjadi di sekitar. Ada kucing-kucing yang tidak mau mendekat ke rumah Mbah Sanem, suara-suara aneh yang terdengar saat malam, serta burung-burung yang seperti enggan bertengger di pepohonan dekat rumah tua itu.
Sementara itu, di rumah Pak Lurah, sebuah pertemuan kecil digelar. Hadir dalam ruangan itu: Pak Lurah sendiri, Pak RT Bardi, Pak Lutfi, dan Mbah Tejo. Wajah mereka sama-sama serius.
“Jadi, dari hasil komunikasi malam itu, arwah Mbah Sanem menyebut pelaku memakai tato di lengan dan cincin batu hitam?” tanya Pak RT Bardi memastikan.
“Betul,” jawab Mbah Tejo. “Itu ciri yang sangat jelas. Dan saya rasa… seseorang di desa ini cocok dengan gambaran itu.”
Pak Lurah menatap tajam. “Apakah sampeyan sudah punya nama, Mbah?”
Mbah Tejo mengangguk pelan. “Tapi kita tak boleh gegabah. Kita bukan penegak hukum. Kita hanya membuka tabir yang tertutup rapat.”
Pak Lutfi menimpali, “Saya juga sudah bertemu beberapa warga, mengamati, dan mendengar cerita dari anak-anak muda. Ada satu nama yang sering muncul—orang luar yang sering ke desa ini, mengaku mencari kayu gaharu, tapi perilakunya mencurigakan.”
Pak Lurah mengernyit. “Namanya?”
“Pak Dulman,” jawab Mbah Tejo lirih. “Biasa dipanggil Pak Dul. Pernah kerja jadi mandor kebun, tapi sejak keluar, hidupnya tak tentu. Sering keluar-masuk desa dengan gerak-gerik yang aneh.”
Pak RT menatap Pak Lutfi. “Kalau benar dia, apa kaitannya dengan Mbah Sanem?”
Pak Lutfi menunduk sejenak. “Mungkin… dendam lama. Atau rahasia yang Mbah Sanem simpan.”
Di tengah suasana yang mulai hangat karena gosip tersebut, kehidupan desa tetap berjalan sebagaimana mestinya. Hari itu kebetulan ada hajatan di rumah Pak Suro—anaknya menikah. Suara gamelan terdengar dari kejauhan. Warga berdatangan membawa berkat, membantu menyiapkan tenda, kursi, serta dapur umum di belakang rumah.
Udin yang sudah mulai sadar, diajak ibunya untuk sekadar keluar rumah agar pikirannya tidak terus dibebani bayangan semalam.
“Nek awakmu terus ngedumel neng kamar wae, malah tambah sumpek pikiranmu, Din. Ayo, bantu cuci piring di rumah Pak Suro,” ujar Bu Sarti.
Dengan ogah-ogahan, Udin menurut. Ia bergabung bersama rombongan ibu-ibu dan remaja desa yang sibuk mencuci, mengupas bawang, dan mengatur meja makan.
Sementara itu, Pedot malah sibuk menggoda para tamu undangan yang datang. “Lha bu, bajunya kok kinclong nian? Jangan-jangan baru beli di pasar kota ya?”
“Pedot! Ayo bantu angkut kursi, jangan cuma nyombong!” hardik salah satu panitia hajatan.
Pedot mengangkat dua kursi dengan gaya berlebihan, berjalan seperti tentara.
“Siap! Komandan hajatan, saya siap tempur!”
Warga tertawa. Kehadiran Udin dan Pedot membuat suasana hajatan terasa hidup. Sekilas, bayang-bayang kelam tentang Mbah Sanem seperti terlupakan. Tapi hanya sebentar.
Malam harinya, giliran ronda malam. Jadwal jaga jatuh pada kelompok RT 2. Pak Bardi, Pedot, Udin, dan dua pemuda lain berkumpul di pos ronda. Ada termos kopi, cemilan, dan senter yang sudah disiapkan.
“Kita bagi dua kelompok. Yang satu muter arah timur, satu lagi barat. Saya sama Udin ke arah barat, Pedot sama Seno ke arah timur,” kata Pak Bardi.
Udin menoleh ke Pak Bardi, wajahnya berubah. “Pak… saya agak trauma muter-muter malam hari. Takut ketemu… suara-suara lagi.”
Pak Bardi tertawa. “Justru biar kamu makin kebal, Din.”
Pedot menyela, “Kalau Udin ketemu suara, dia bisa teriak. Tapi kalau aku yang ketemu… bisa lari nyelonong sampai hutan sebelah!”
Perjalanan ronda malam berlangsung tenang sampai mereka melewati rumah tua milik Mbah Sanem. Angin sepoi meniup daun-daun kering di halaman rumah itu, menimbulkan suara gemerisik yang menggetarkan bulu kuduk.
Tiba-tiba, seekor burung hantu melintas cepat dari atas rumah.
Udin sontak menjerit. “Astaghfirullah! Itu… itu putih-putih terbang!”
“Itu burung hantu, Din… bukan kuntilanak!” sahut Pedot, meski suaranya juga gemetar.
Tapi detik berikutnya, mereka semua diam. Di balik kaca jendela rumah Mbah Sanem… sekelebat bayangan terlihat. Seperti seseorang sedang berdiri menatap keluar.
Pak Bardi menyinari dengan senter. Kosong.
Namun Udin bersumpah, ia melihat… mata. Sepasang mata tua yang memancarkan luka dan permohonan. Mata yang pernah ia lihat… saat dirasuki semalam.