Hulya Millicent harus terjebak dalam obsesi cinta seorang bos mafia. Dia bahkan tidak tahu kalau dirinya telah dinikahi oleh sang mafia semenjak usianya baru 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Kabar Bahagia
...•••Selamat Membaca•••...
Marchel akhirnya pulang larut malam, mendapati Hulya tengah tidur dengan kondisi tangan dan kaki yang membengkak. Memar di wajah putih itu juga semakin terlihat, Hulya tidur sambil memeluk guling dengan wajah lelah serta lebam. Marchel ragu untuk membangunkan istrinya, Hulya sangat lelap tidur.
“Apa besok saja aku bawa ke rumah sakit ya?” pikir Marchel, namun melihat kondisi tangan dan kaki Hulya membuat dia dilema, jika nanti dibiarkan akan semakin parah.
Marchel duduk di tepi kasur lalu meraba wajah itu, suhu tubuh Hulya sangat panas, Marchel jadi cemas dan istrinya mulai mengigau tak jelas.
“Hulya, bangunlah.” Wanita itu membuka mata perlahan, merasa sakit di tangan dan kaki serta kepala yang begitu ngilu karena terbentur lantai yang cukup keras.
“Kamu sudah pulang, mana minyak urut yang aku minta?” tanya Hulya dengan suara lemah.
“Kita ke rumah sakit saja, tangan dan kaki kamu sudah bengkak.”
“Aku tidak mau, aku mau di rumah saja.”
“Tubuhmu panas sekali Hulya, kau jangan keras kepala begini.”
“Nanti kalau aku ke rumah sakit, orang-orang akan berpikir aku ini kena kdrt, kamu mau orang-orang beranggapan jelek sama kamu?” Marchel menghela nafas lalu memeluk Hulya, menyembunyikan rasa sesak di hatinya saat ini, Hulya sedikit meringis karena punggungnya juga sakit.
“Aku memang melakukan kdrt padamu, peduli apa dengan perkataan orang lain. Aku hanya ingin kau baik-baik saja, melihat kau begini, aku khawatir.” Hulya tersenyum.
“Lalu? Saat melihat aku berguling di tangga sampai teriak kesakitan tadi? Apa kau tidak khawatir? Kau bahkan meninggalkan aku tanpa melirikku lagi,” ujar Hulya, Marchel mengalihkan wajahnya, menghapus air mata yang turun lalu kembali menatap istrinya.
“Kita ke rumah sakit, ayo!” Marchel menggenggam dan menarik lembut tangan Hulya tapi istrinya itu justru tidak bergeming.
“Maafkan aku Marchel, aku salah, harusnya aku tidak mengatakan sesuatu yang menyakiti hatimu, apa aku dimaafkan?” Marchel tidak bisa lagi membendung rasa sedihnya, ia kembali memeluk Hulya dengan erat sambil terisak pilu.
“Punggungku sakit, jangan peluk sekuat itu,” ringis Hulya dan Marchel melonggarkan pelukannya.
“Maafkan aku Hulya, aku yang salah, tidak seharusnya aku emosi begitu.”
“Sudahlah lupakan, tolong pijat aku ya, ini benar-benar sangat sakit.”
“Berbaringlah, aku akan memijatmu.” Hulya berbaring lalu perlahan Marchel mengambil minyak urut yang biasa dipakai istrinya, membuka baju Hulya dan meraba bekas luka serta memar di tubuh itu.
Mata Hulya terpejam, tangannya terkulai lemas dan tubuhnya semakin panas. Marchel menepuk pelan pipi Hulya tapi wanita itu tak merespon lagi.
Hulya pingsan dengan suhu tubuh yang begitu panas, Marchel panik dan kembali mengenakan pakaian istrinya, dia menggendong Hulya lalu memasukkannya ke dalam mobil.
Marchel memacu mobil dengan kecepatan tinggi hingga tiba di rumah sakit. Hulya segera ditangani oleh dokter, Marchel merutuki dirinya karena telah membuat Hulya seperti itu.
Setengah jam berlalu, dokter menyatakan Hulya baik-baik saja, tangan dan kakinya terkilir serta demam Hulya sudah mulai turun setelah diberi obat.
Marchel memasuki ruang rawat itu dengan langkah gontai, istrinya tersenyum, dengan satu tangan yang di infus, selang oksigen di hidung.
Marchel langsung memeluk Hulya dan meminta maaf, dia menyesali semua perbuatannya itu. Menciumi setiap inci wajah istrinya dan mengusap memar yang tersebab olehnya tadi.
“Maafkan aku Hulya, harusnya aku tidak melakukan ini padamu.” Hulya meletakkan jari telunjuknya di bibir Marchel, mengisyaratkan agar Marchel tidak melanjutkan pembicaraannya.
“Aku yang minta maaf, aku terlalu bodoh karena membela pria lain di depan suamiku, aku mengerti dengan amarahmu Marchel, peluk aku.” Senyuman Hulya membuat Marchel semakin merasa bersalah, dia tahu, dari kecil memang Hulya perempuan yang baik hati, mudah memaafkan dan meminta maaf.
Marchel tak kuasa menahan tangis, dia menangis dalam diam sambil memeluk Hulya, bayangan ketika dia mendorong Hulya dari tangga serta menggauli istrinya secara kasar langsung berputar dalam benaknya.
“Mana cokelat yang aku minta tadi?” Suara manja Hulya terdengar lirih, Marchel menatap istrinya dengan mata yang masih basah.
“Kapan kamu minta cokelat?” tanya Marchel bingung.
“Tadi pas aku telpon kamu.” Marchel melonggarkan pelukannya lalu menatap intens Hulya dengan tatapan bingung.
“Bukannya di telpon kamu bilang mau minyak urut sama obat saja ya?”
Hulya mendengus kesal lalu menggigit bahu Marchel sampai suaminya meringis kesakitan.
“Sakiit Hulya, aw.” Marchel sedikit menjauh dari istrinya dan mengusap bahu itu perlahan.
“Kamu itu bagaimana, aku tadi minta cokelat juga, kamu tidak mendengarnya berarti,” dengus Hulya kesal.
“Aku belum tuli sayang, aku hanya dengar kamu minta minyak dan obat, tidak ada kamu minta dibelikan cokelat.” Marchel tetap kekeh kalau Hulya tidak meminta cokelat di telepon tadi.
“Ya bagaimana kamu mau dengar, aku bilang pas telfonnya udah mati,” jawab Hulya dengan santai membuat Marchel menganga lalu tertawa.
“Ya jelas aku tidak dengar.”
“Itu salah kamu, kenapa tidak dengarkan aku sampai selesai bicara dulu.”
“Oke oke aku salah, kamu mau cokelat sekarang?”
“Iya sekarang.”
“Aku cari keluar dulu.”
“Sekalian sama cemilan terus minuman dingin ya.”
“Oke sayang, aku pergi dulu ya.” Marchel mencium lembut kening istrinya lalu pergi mencari supermarket yang buka 24 jam.
Beberapa menit akhirnya Marchel kembali ke ruang rawat istrinya dan melihat kalau Hulya sudah tidur, wajahnya masih pucat. Marchel membangunkan Hulya tapi istrinya terlihat mengantuk berat sehingga dia memutuskan untuk tidur di samping istrinya itu.
Ranjang kelas VVIP tersebut memang cukup besar dan muat untuk dua orang dewasa. Marchel memeluk Hulya dan membenamkan wajahnya di ceruk leher Hulya, tak butuh waktu lama, akhirnya dia pun terlelap.
...***...
Keesokan harinya, hasil pemeriksaan Hulya keluar. Marchel sedang berada di ruangan dokter yang menangani Hulya, dia memberikan hasil pemeriksaan itu pada dengan wajah cerah dan senyum ramah.
“Selamat sir, istri anda tengah hamil dua minggu, kondisinya baik dan kandungannya juga baik. Usahakan untuk tidak membuatnya stres dan perbanyak istirahat, karena hamil muda, sangat rentan stres dan perubahan hormon juga sering kali terjadi,” tutur dokter itu pada Marchel.
Marchel bahagia sekali mendengar kabar kehamilan istrinya, dia melihat hasil lab itu dengan wajah cerah serta senyum mengambang.
“Terima kasih dokter.”
Marchel meninggalkan ruangan dokter itu, berjalan santai menuju ruangan Hulya, hatinya sangat bahagia dan juga sedih.
“Berarti semalam aku hampir membuat Hulya keguguran, bodoh sekali kau Marchel.” Marchel merutuki dirinya sendiri, mengingat saat dia mendorong Hulya dari tangga, istrinya itu tengah hamil, untung saja kandungan Hulya tidak bermasalah.
Marchel memasuki ruangan itu sambil membawa hasil lab serta makanan untuk istrinya. Dia melihat Hulya tengah asik menonton televisi, dengan ramah, Hulya tersenyum dan senang melihat Marchel membawa makanan.
Marchel mengecup kening Hulya dan memberikan makanan yang dia beli tadi pada sang istri.
“Biar aku suapin, tunggu sebentar,” kata Marchel lalu menaruh beberapa makanan lagi di atas meja, kemudian menyuapi Hulya dan juga dirinya sendiri karena dia juga belum makan.
“Kapan dokter membolehkan aku pulang? Aku tidak betah di sini,” keluh Hulya.
“Dua hari lagi, sabar ya, aku juga ada berita buat kamu.” Hulya mengerutkan keningnya, melihat wajah Marchel yang tiba-tiba berubah menjadi serius.
“Berita apa?”
“Jika nanti aku membagi cinta dan kasih sayang dengan orang lain bagaimana?” Hulya langsung saja menggigit bahu Marchel dengan kuat sehingga Marchel sedikit berteriak.
“Ih gigimu itu Hulya, tajam semua, gila, sakit bahu ku,” ringis Marchel.
“Siapa selingkuhan kamu?” tanya Hulya dengan nada sinis dan tatapan tajam.
“Jangan marah ya.”
“Ya jelas aku bakalan marah, gimana sih, kalau memang kamu mau berbagi cinta, kenapa kamu nikahi aku, tidak ada cerita kamu berbagi. Aku akan bunuh selingkuhan kamu itu.” Marchel tertawa melihat kecemburuan istrinya, dia senang karena Hulya cemburu, berarti sudah ada rasa cinta di hati Hulya padanya.
“Wah, istriku sudah bisa main ancam, mau aku ajari membunuh tidak?” ledek Marchel.
“Kalau cuma membunuh selingkuhan kamu, aku bisa, tidak perlu pelatihan khusus,” sengit Hulya yang membuat Marchel semakin tertawa.
Marchel membawa Hulya dalam pelukannya dan mengusap lembut perut yang masih datar itu.
“Aku akan berbagi cinta dengan anak kita nanti, maafkan aku ya, semalam aku hampir membunuh kalian berdua, aku minta maaf sayang.” Marchel kembali menangis, dia bisa merasakan betapa sakit Hulya semalam karena dirinya, ditambah lagi dengan kehadiran calon anak mereka.
“Hah?” Hulya masih belum mencerna omongan Marchel.
“Kamu hamil, baru dua minggu.” Hulya begitu senang, matanya berbinar menatap Marchel.
“Haha aku akan jadi ibu, pintar juga aku bikin baby ya,” ujar Hulya dengan ceria dan mood yang bagus, Marchel melihat hal itu tersenyum lalu mengusap kepala Hulya dan mencium perut istrinya.
“Karena bantuanku juga, kalau kamu sendiri yang bikin nggak bakalan bisa.” Hulya tertawa, Marchel semakin jatuh cinta pada istrinya itu, ditambah lagi sekarang sudah ada benihnya dalam rahim Hulya.
...•••BERSAMBUNG•••...