"Angelica, seorang wanita tegar berusia 40 tahun, berani dalam menghadapi kesulitan. Namun, ketika dia secara bertahap kehilangan motivasinya untuk berjuang, pertemuan tak terduga dengan seorang pria tampan mengubah nasibnya sepenuhnya.
Axel yang berusia 25 tahun masih muda tetapi sombong dan berkuasa, cintanya yang penuh gairah dan kebaikannya menghidupkan kembali Angelica.
Bisakah dia menyembuhkan bekas lukanya dan percaya pada cinta lagi?
Kisah dua sejoli yang bersemangat dan berjuang ini akan membuktikan bahwa usia tidak pernah menjadi penghalang dalam mengejar kebahagiaan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angie de Suaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10
Akhirnya, Axel menyerahkan urusan pemilihan model kepada Marisolio. Ia mempercayai penilaian sang desainer andalannya. Setelah itu, ia meninggalkan kantor untuk makan siang bersama orang tuanya dan Patricia.
Bukan rencana yang menyenangkan, tapi Axel sudah merasa sesak di kantor, apalagi tanpa kabar pasti dari sang detektif tentang keberadaan Angélica. Ia pun tidak lagi mencoba menelepon, karena yakin ponsel Angélica memang rusak.
Saat keluar dari restoran, ia mengecek ponsel, berharap ada pesan dari penyelidik. Dan benar saja, ada sebuah notifikasi masuk.
📩 *Nomor yang Anda hubungi kini sudah dapat diakses.*
Tanpa pikir panjang, Axel langsung menekan tombol panggilan ke nomor Angélica. Ia yakin nomor itu kini aktif.
Tangannya gemetar, begitu gugup hingga rasanya jika ponsel itu sebuah pisang, pasti sudah meleleh di genggamannya. Satu dering, dua dering, tiga...
📲 “Halo?”
Axel membeku. Mendengar suara sensual Angélica membuatnya kehilangan kata-kata.
📲 “Halo? Kalau bisu\, kenapa menelepon? Dasar iseng!” *Bip\, bip\, bip...*
Angélica menutup telepon. Kesal\, ia menggerutu dalam hati\, *“Banyak banget orang gabut zaman sekarang.”*
Saat memeriksa nomor panggilan itu, ia sadar: itu nomor yang sama dengan yang meneleponnya berkali-kali kemarin.
“Aneh, segitu banyaknya nelpon cuma buat diam. Apa dia dengar suaraku yang terlalu seksi terus pingsan saking senengnya?” Ia tertawa sendiri.
Sore itu, setelah selesai bekerja, Angélica pergi ke ATM untuk mengambil sisa uang yang ia miliki.
Ia memasukkan kartu, mengetikkan PIN, dan memilih jumlah tarik tunai minimum. Tapi alih-alih uang, mesin justru mengeluarkan secarik kertas bertuliskan:
🎫 SALDO TIDAK MENCUKUPI
“Aduh! Padahal kupikir masih ada sedikit sisa. Tanpa ponsel aku masih bisa tahan, tapi makan? Teman-temanku mungkin baik, tapi bos mereka Sandra itu galaknya bukan main. Tak ada pilihan, aku harus kembali ke Darko Luxure, putus Angélica.
Masih dengan seragam petugas kebersihan, ia tiba di Emporium Darko Luxure. Ia lapor ke resepsionis dan diberi kartu identitas tamu untuk menuju bagian HRD.
Di sana, ia harus menunggu cukup lama. Baru satu jam kemudian, kepala bagian penggajian muncul dan mempersilakannya masuk.
“Jadi, Angelica. Anda ke sini untuk mengambil uang pesangon, ya? Tapi... belum seminggu berlalu dan berkas itu belum ditandatangani Tuan Darko. Silakan tunggu kabar dari kami atau datang lagi minggu depan,” jelas pria itu.
Yang tidak diketahui oleh mereka berdua adalah: Axel sebenarnya sudah meminta agar Angélica direkrut kembali.
Namun Angélica tidak mau pulang tanpa membawa uang. Ia butuh itu sekarang.
Dengan tekad bulat, ia naik ke lantai 21, menuju kantor presiden perusahaan. Di depan lift, ia disambut oleh tatapan sinis Sarah, sekretaris Axel.
“Selamat sore. Saya perlu bertemu dengan Tuan Darko,” sapa Angélica sopan.
“Tuan Darko hanya bisa ditemui dengan janji terlebih dahulu,” jawab Sarah ketus, tanpa basa-basi.
“Tolong bantu saya, ini penting,” pinta Angélica bersungguh-sungguh.
“Saya bisa atur janji... untuk Jumat depan,” sahut Sarah dingin.
Angélica tertegun. “Jumat depan? Hari ini saja baru Jumat, masa harus nunggu seminggu lagi?”
“Dia belum menandatangani surat pesangon saya, dan saya benar-benar butuh itu sekarang,” ucap Angélica, nyaris putus asa.
“Kalau begitu, silakan kembali ke lantai lima belas, bagian HRD. Mereka yang mengurusnya, bukan saya,” jawab Sarah malas, padahal Angélica sudah ke sana.
Saat itulah, Marisolio lewat “kebetulan”. Begitu melihat Sarah memperlakukan seseorang tanpa empati, ia langsung mendekat. Ia tahu sedikit-sedikit soal Angélica dan bahwa Axel belum menandatangani pesangonnya.
“Ada apa ini, Sarah? Kenapa kamu nggak bantu dia?” tanya Marisolio.
“Dia ingin bertemu dengan Tuan Darko untuk urusan pesangon. Saya sudah bilang itu urusannya HRD, tapi dia tetap maksa,” jawab Sarah ketus.
“Bantuin dong! Lihat mukanya itu... kayak belum makan tiga hari. Dia sudah kerja di sini, masa sekarang nggak dibayar cuma gara-gara tanda tangan?” Marisolio membela.
“Maaf ya, Marisolio. Saya juga kasihan, tapi itu prosedur. Saya nggak mau dimarahi Tuan Darko. Belakangan ini dia memang aneh,” dalih Sarah.
“Denger ya, Nona Kurus, kamu bukan bos! Jangan sok kuasa!” seru Marisolio dengan gaya khasnya.
Angélica hanya bisa terdiam menyaksikan pertengkaran itu. Tapi untuk pertama kalinya dalam hidup, ada orang yang membelanya di tempat seperti ini. Ia berharap Marisolio benar-benar bisa membantunya.
Sementara itu, Axel masih di dalam ruangannya. Sejak mendengar suara Angélica dari ponsel, ia tak bisa berhenti marah—terutama pada dirinya sendiri karena terlalu pengecut untuk berbicara.
Sudah dua hari sejak wanita itu pergi. Ia, Axel, pria yang biasanya mempermainkan wanita dan membuat mereka merengek minta kembali... kini justru ditinggalkan.
Baru saja ia menerima laporan dari sang detektif. Ia bingung: dibaca atau tidak? Tapi Angélica terus menghantui pikirannya. Wanita itu terlalu... beda. Begitu bebas, cantik, dewasa, bersemangat—dan yang paling membuatnya terhentak: ucapan terima kasih yang tulus.
“Terima kasih, Tuan. Saya sangat membutuhkannya,” begitu kata Angélica. Dan lalu... ia pergi begitu saja.
"Gila, aku yang dipakai!"
Sampai ia mendengar suara Marisolio dan Sarah yang kembali bertengkar. Axel kesal. Ia berdiri, melangkah cepat ke pintu, membukanya dengan keras.
Tiga pasang mata menoleh terkejut. Tapi Axel hanya melihat satu pasang mata.
Sepasang mata yang begitu ingin ia lihat kembali. Seolah sedang dalam mimpi, Axel berjalan menghampiri Angélica, menggenggam tangannya, dan menyeretnya masuk ke kantor. Pintu tertutup keras di belakang mereka.
“Aku mencarimu,” ucap Axel.
Lalu, tanpa menunggu jawaban, ia mencium Angélica. Dalam-dalam.
“Angélica... kembalilah bekerja padaku.”
--