Sebuah perjodohan membuat Infiera Falguni harus terjebak bersama dengan dosennya sendiri, Abimanyu. Dia menerima perjodohan itu hanya demi bisa melanjutkan pendidikannya.
Sikap Abimanyu yang acuh tak acuh membuat Infiera bertekad untuk tidak jatuh cinta pada dosennya yang galak itu. Namun, kehadiran masa lalu Abimanyu membuat Infiera kembali memikirkan hubungannya dengan pria itu.
Haruskah Infiera melepaskan Abimanyu untuk kembali pada masa lalunya atau mempertahankan hubungan yang sudah terikat dengan benang suci yang disebut pernikahan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kunay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Memilih Mengabaikan
Fiera masuk ke dalam kamarnya dengan kemarahan yang meledak. Satu tahun dia bertahan setiap mendengar kemarahan Abimanyu yang selalu saja mengeluarkan kata-kata menyakitkan. Pria itu tidak pernah memuji pekerjaannya, tapi dia selalu menghina kesalahannya.
Setelah shalat maghrib, Fiera sama sekali tidak memedulikan tugasnya. Dia hanya mengurung dirinya di kamar hingga terlelap.
Sedangkan Abimanyu, dia hanya masuk ke kamarnya untuk mandi dan kembali keluar karena belum makan malam.
Abimanyu melihat sesuatu di atas meja, dia melihat kalau itu bungkusan makanan. ‘Dia belum makan malam?’ gumamnya.
Tentu saja, siapa lagi yang membeli makanan itu kalau bukan Fiera, istrinya. Abimanyu beberapa kali melihat sang istri membeli makanan khas sunda dan membawanya pulang untuk makan. Wanita itu jarang masak dan selalu makan di luar.
Jujur, hal itu sedikit membuat Abimanyu jengkel. Bukankah seharusnya wanita itu memasak untuk dirinya? Setiap minggu, Abimanyu selalu memenuhi kulkasnya dengan sayuran dan juga buah-buahan, tapi tetap saja Abimanyu harus memasaknya sendiri.
Abimanyu lupa kalau dirinya sendiri bahkan tidak pernah peduli dengan keperluan istrinya, yang notabene adalah kewajibannya.
Suasana hatinya memburuk setelah pertengkarannya dengan Infiera untuk pertama kalinya setelah pernikahan mereka, Abimanyu membuka kulkas dan hanya mengambil satu apel, lalu membawanya menuju ruang kerjanya.
Abimanyu menghela napas saat melihat ruang kerjanya yang berantakan. Dia ingin marah, tapi kembali menahannya karena sadar dirinya juga salah karena sudah terlalu kasar bicara pada Fiera.
Abimanyu membereskan buku-buku Infiera. Dia melihat laptop istrinya yang masih menyala. Ternyata, wanita itu sedang mengerjakan tugasnya.
Sedikit penyesalan kembali menyergap hatinya. Wanita itu ternyata bukan hanya sedang bermalas-malasan, tapi dia sedang mengerjakan tugasnya.
Abimanyu juga lupa kalau itu adalah tugas yang dia berikan sebagai hukuman.
Setelah membereskan barang-barang milik Fiera, Abimanyu juga meletakkan kembali buku-buku miliknya ke rak buku. Baru saja dia akan duduk di kursi kerjanya, ponselnya berdering. Beberapa pesan masuk secara beruntun.
[Mas.]
[Mas, bagaimana ini, aku merasa gugup dengan besok. Secara besok adalah hari pertamaku mengajar.]
Abimanyu tersenyum, suasana hatinya membaik seketika saat melihat nama si pengirim. Almira Shahira, mantan kekasihnya. Wanita yang dia cintai, sebelum akhirnya kedua orang tuanya menjodohkannya dengan gadis yang sama sekali tidak pernah dikenalnya. Sampai saat ini pun, Abimanyu tidak pernah berusaha mengenal wanita itu meski mereka tinggal satu rumah.
Abimanyu sibuk dengan dunianya, begitu juga dengan Infiera yang asyik dengan dunianya sebagai mahasiswa.
[Tidak perlu merasa gugup. Ini bukan pertama kalinya kamu mengajar. Mas yakin kamu bisa.] Abimanyu meyakinkan.
Almira adalah gadis yang pintar dan mudah sekali beradaptasi dengan lingkungan baru. Tentu saja, Abimanyu sangat mengenalnya, mereka menjalin hubungan sekitar 4 tahun sebelum akhirnya dia harus memutuskan, sesaat sebelum ijab kabulnya dilakukan dengan Infiera Falguni yang saat ini sudah sah menjadi istrinya.
Namun, Abimanyu sulit sekali menghilangkan nama Almira dari hatinya sampai saat ini.
[Kalau begitu, Mas, harus membantuku jika aku memiliki kesulitan.]
[Tentu, mas akan selalu membantumu.]
Abimanyu tersenyum, Almira selalu bisa mengobati suasana hatinya yang buruk. Dia bahkan sampai melupakan pertengkarannya dengan Infiera.
Sampai tiga hari berlalu setelah pertengkaran itu. Fiera sama sekali belum pernah bertegur sapa dengan Abimanyu. Tepatnya, dirinya selalu menghindari pria itu. Fiera juga mogok untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Dia hanya pulang untuk tidur.
“Dia tidak pernah menghargaiku selama ini. Jadi, mari kita hidup masing-masing saja mulai saat ini.” Infiera membulatkan tekadnya untuk melakukan hal yang sama seperti Abimanyu yang mengabaikan keberadaannya di rumah.
Suasana hatinya kembali membaik. Fiera hanya butuh duduk di depan laptopnya selama berjam-jam, menumbuhkan imajinasi untuk mengeluarkan segala emosi yang ada di dalam pikirannya, setelahnya dia akan menciptakan salah satu tokoh yang menjadi gambaran emosinya saat ini.
Infiera dikejutkan oleh teman sekelasnya yang tiba-tiba duduk dan menjatuhkan kepalanya di atas meja seraya mengeluh.
“Lo kenapa, Lin?” tanya Fiera bingung melihat teman sekelasnya seperti orang yang sedang putus asa.
Linda, teman sekelas Fiera mengangkat kepalanya dengan wajah yang memelas. “Fier, Lo tahu engga kalau gue lagi kesel?”
“Engga?”
Aaaaa
Linda kembali menelungkupkan kepalanya karena Fiera malah bercanda untuk menyahuti ucapannya.
Fiera tergelak melihatnya. Dia akhirnya memasang wajah serius sebelum bertanya.
“Baiklah, baiklah. Memang kenapa?”
“Gue kesel karena author kesayangan gue engga update bukunya selama tiga hari.”
Fiera mengerutkan keningnya. “Siapa author kesayanganmu itu?” tanyanya.
Apakah ini sebuah kebetulan? Fiera juga sudah tiga hari ini tidak memperbarui ceritanya. Beberapa pembaca yang tergabung dalam grup whatsapp-nya sudah terus menghubungi untuk menanyakan hal itu.
“Memang cerita siapa yang lo baca?”
“Cerita Pena Rindu.”
Fiera menahan senyumnya karena ternyata dugaannya benar, kalau yang dimaksud Linda adalah dirinya. Ternyata, salah satu teman sekelasnya juga ada yang baca ceritanya?
Jika Fiera hanya menahan senyumnya, berbeda dengan Anisa yang terbahak di seberang meja.
“Heh, lo kenapa? Engga kesurupan, kan?”
Anis masih tertawa, dia menatap Linda setelah menyeka ujung matanya yang basah. “Lo baca cerita itu juga? Lo pasti kesel dengan tokoh Darma yang jadi penjahat?”
Linda berbinar mendengar ucapan temannya. Dia senang karena ternyata memiliki teman yang juga membaca cerita itu. “Kau juga membaca cerita itu?”
Anis mengangguk, seraya melirik ke arah Fiera yang meneruskan makan siangnya. Wanita itu kini pura-pura tidak mengerti. Padahal, jelas-jelas dia yang sedang dibicarakan.
“Hah... benar, kan, kalau author-nya menyebalkan karena engga update-update? Awas saja kalau nanti dia buat Riana-nya mati. Aku akan bikin hidup authornya tidak tenang.”
Mendengar hal itu, Fiera yang sedang makan langsung tersedak dan Anis kembali tertawa dengan pernyataan temannya. Dia tidak tahu saja kalau penulis yang dimaksud adalah Infiera.
“Fier, lo kenapa? Ini minum.” Linda menyerahkan gelas di depannya.
Fiera tidak mengatakan apa pun, dia hanya sibuk meredakan tenggorokannya yang sakit karena tersedak.
“Gue engga apa-apa.”
“Apakah saya boleh gabung?”
Suara seorang wanita terdengar dari arah keributan, membuat mereka yang sedang mengkhawatirkan Fiera langsung menoleh ke belakang. Ternyata, dosen barunya, Almira Shahira, yang baru tiga hari mengajar di kampus itu.
“Eh, Bu.” Bimo yang duduk di samping Fiera yang pertama kali berbicara. “Boleh, Bu, silakan.” Bimo bangkit dari duduknya dan berpindah ke sisi Anis yang ada di seberang meja.
“Makasih, ya, Bim.”
“Sama-sama, Bu.” Bimo terlihat girang karena dosen cantiknya mengingat namanya. Selain Bimo, yang lainnya juga terlihat senang dengan kedatangan dosen baru itu, karena ternyata dia sangat baik dan juga ramah. Padahal, baru tiga hari di kampus itu untuk mengajar.
Sedangkan Fiera? Wanita itu hanya bisa mematung saat melihat Abimanyu, suaminya datang bersama dengan Bu Almira dan duduk sejajar dengannya.
Fiera memalingkan wajahnya, enggan melihat pria itu, pria yang selalu saja menyakitinya setiap kali mereka berbicara. Fiera merasa mereka tidak pernah bicara baik-baik selama ini. pembicaraan mereka terjalin hanya saat Abimanyu sedang kesal saja.
Di sisi lain, awalnya Abimanyu hanya ingin membeli air minum di kantin, tapi dia bertemu dengan Almira yang hendak makan siang.
Wanita yang masih memiliki tempat di hatinya itu meminta untuk ditemani karena dia belum benar-benar belum mengenal lingkungan barunya itu.
Sebenarnya Abimanyu sedikit enggan, tapi dia akhirnya mengiyakan ajakannya saat melihat mata Almira yang memohon. Dia merasa lemah saat di hadapan wanita itu.
Siapa sangka, Almira malah menariknya menuju bangku, di mana mahasiswanya berada, yang lebih mengejutkan lagi di sana juga Fiera sedang makan siang. Istrinya yang sejak tiga hari lalu bahkan tidak pernah menampakkan wajah di hadapannya.
“Kalian sedang membahas apa? Sepertinya seru banget?” tanya Almira memulai pembicaraan.
“Linda, ini, Bu, bisa-bisanya dia galau karena penulis kesayangannya engga update.” Bimo menjelaskan. Padahal, sejak tadi dia tidak ikut pembicaraan para wanita.
“Oh, ya, siapa penulisnya? Ibu juga suka baca buku online.”
“Pena Rindu.” Linda menyahut dengan sedih, lalu wajahnya kembali kesal mengingat penulis itu.
Abimanyu yang duduk di sebelah Almira, sejak tadi melirik ke arah Fiera yang hanya menunduk dan terlihat tidak nyaman dengan kehadirannya.
Apalagi... saat ini Almira bersama dengan mereka. meski sebenarnya, istrinya itu tidak pernah tahu jika Almira adalah mantan kekasihnya.
Tiba-tiba Abimanyu sedikit mengernyit saat mendengar nama itu. Pena Rindu?
Bukankah itu penulis yang seminggu lalu naskahnya dia tolak? Ternyata banyak juga penggemarnya. Abimanyu masih belum tergerak hatinya untuk menerbitkan cerita itu, karena dia masih tidak bisa menerima akhir yang bahagia pada cerita itu. Sedikit tidak masuk akal untuk plot yang terlalu kompleks.
“Wah, Pena Rindu, ya? Ibu juga penggemarnya.” Lalu, Almira menoleh pada Abimanyu yang duduk di sampingnya. “Pak, Anda tahu kalau penulis itu sangat berbakat. Saya berharap dia memiliki buku yang dicetak.” Almira berbicara secara formal karena dia sadar di mana dirinya berada.
Abimanyu memaksakan senyumnya. “Saya akan mencari tahunya terlebih dahulu.”
Fiera tiba-tiba bangkit dari duduknya dan menoleh pada Almira, tapi mengabaikan Abimanyu terang-terangan. “Bu, saya permisi, ya.”
“Eh, kamu Infiera, kan? Yang kemarin memberikan ide menarik untuk diskusi pertama kita?”
Infiera tersenyum mendengar hal itu.
“Benar, Bu. Saya permisi dulu.”
Meski dia tahu kalau Abimanyu dan juga Almira adalah rekan sesama dosen. Entah kenapa Fiera merasa ada hal lain yang tidak diketahuinya mengenai mereka berdua.
Baginya, kedetakan mereka berdua sedikit berbeda. Bagaimana Abimanyu menatap wanita itu, begitu pun dengan sebaliknya. Dia tidak tahan tetap berada di sana dan menyaksikan kedekatan keduanya, meski tidak ada hal apa-apa yang akan membuat orang lain curiga, tapi hatinya mengatakan untuk segera pergi.
“EH—“
Almira menahan ucapannya yang ingin berbicara.
“Maaf, Bu, dia sepertinya sedang tidak enak badan. Sejak pagi mengeluh pusing.” Bimo yang menjelaskan saat melihat dosen barunya sedikit canggung karena dia hendak bicara, tapi Fiera sudah pergi begitu saja.
“Ah, begitu, ya?”
Mendengar kalau Fiera sedang sakit, Abimanyu mengalihkan pandangannya pada punggung istrinya yang sudah berjalan semakin menjauh dan berbelok di pintu keluar kantin. Hatinya menjadi tidak nyaman.