Kisah yang menceritakan tentang keteguhan hati seorang gadis sederhana, yang bernama Hanindya ningrum (24 tahun) dalam menghadapi kemelut rumah tangga, yang dibinanya bersama sang suami Albert kenan Alfarizi (31 tahun)
Mereka pasangan. Akan tetapi, selalu bersikap seperti orang asing.
Bahkan, pria itu tak segan bermesraan dengan kekasihnya di hadapan sang istri.
Karena, bagi Albert Kenan Alfarizi, pernikahan mereka hanyalah sebuah skenario yang ditulisnya. Namun, tidak bagi Hanin.
Gadis manis itu, selalu ikhlas menjalani perannya sebagai istri. Dan selalu ridho dengan nasib yang dituliskan tuhan untuknya.
Apa yang terjadi dengan rumah tangga mereka?
Dan bagaimana caranya Hanin bisa bertahan dengan sikap dingin dan tak berperasaan suaminya?
***
Di sini juga ada Season lanjutan ya say. Lebih tepatnya ada 3 kisah rumah tangga yang akan aku ceritakan. Dan, cerita ini saling berkaitan.
Selamat menikmati!
Mohon vote, like, dan komennya ya. Makasih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon shanayra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35
Kenan melangkahkan kakinya menyusuri lorong rumah sakit. Masih terlihat sisa cairan bening yang tadi sempat menetes membasahi pipinya.
Pria itu berhenti di depan salah satu pintu kamar VVIP rumah sakit itu. Menenangkan hatinya, sebelum tangan menarik gagang pintu.
Dia memaksakan bibirnya untuk tersenyum, berusaha terlihat biasa.
Kenan mulai melangkah masuk. Terlihat seorang gadis cantik sedang terbujur lemah di atas ranjang. Dengan selang infus dan tranfusi darah terpasang di kedua tangannya. Kenan mendekat, membelai kepala gadis itu pelan.
Dan mencium keningnya hangat.
Wanita tadi membuka mata. "Gimana kak, apa kakak sudah mengusirnya?" Dia langsung bertanya saat melihat kakaknya datang.
"Bukankah kakak pernah mengatakannya padamu? Aku akan melakukan apa pun untuk membahagiakan mu Afril. Jadi, tolong jangan ulangi aksi bodoh mu ini." Kenan meraih jemari sang adik.
Afril tersenyum. "Aku hanya ingin tau, apakah kakak masih menyayangi ku seperti dulu." Dia tersenyum kecil.
"Aku masih menyayangimu, lebih dari nyawaku sendiri. Dan, sampai kapan pun, akan tetap seperti itu." Kenan menggenggam erat tangan adiknya.
"Istirahat lah. Aku akan menunggui mu disini." Kenan kembali membelai sayang kepala sang adik.
Afril tersenyum. "Makasih kakak." Dia mulai memejamkan mata. Dalam hati gadis itu merasa sangat puas. Karena, aksi nekatnya mengiris pergelangan tangannya sendiri, telah berhasil membuat Kakaknya melepaskan Hanin. Wanita yang sangat tidak disukainya selama ini.
Kenan mendengar nafas adiknya mulai teratur. Bertanda, kalau gadis itu sudah tertidur. Dia berdiri, mengeluarkan benda pipih dari kantong celananya. Dan berjalan keluar ruangan.
"Bagaimana, apa dia baik-baik saja?" Dia mulai bertanya lewat sambungan HP.
"Nona, baru sampai di rumah tuan. Kata bik Ita mata beliau terlihat sembab." Jawab orang yang ada di seberang.
"Biarkan saja, untuk beberapa hari ini. Aku tidak akan pulang. Kalau dia bertanya, jangan katakan apa pun. Aku tidak ingin dia merasa bersalah atas apa yang terjadi dengan Afril. Biarkan dia menganggap ku, sebagai pria brengsek. Agar, dia bisa melanjutkan hidupnya kembali." Kenan mengepalkan tangannya kuat. Menahan sakit di dadanya.
"Tuan, apa anda sudah yakin, kalau apa yang tuan lakukan ini benar. Bukankah kalian berdua saling mencintai?" Pria di seberang bertanya.
"Yah. Akan tetapi, Afril sangat membencinya. Jika aku tidak meninggalkan Hanin. Maka, dia akan mengakhiri hidupnya lagi. Aku tidak ingin mengambil resiko, Afril adalah adikku satu-satunya." Kenan menyandarkan dirinya ke dinding.
"Tapi, tuan. Dengan anda melakukan ini, tuan justru membuat nona Afril menjadi lebih egois lagi." Kembali pria itu berucap.
"Aku tau, tapi aku tak punya pilihan saat ini. Tolong Berryl, jangan membuat ku semakin merasa terbebani, setidaknya dengarkan saja aku untuk kali ini saja." Kenan memutus sambungan telfonnya. Dia masih bersandar disana. Menengadahkan kepalanya ke atas. Menahan cairan bening yang sudah mulai mengenang.
Di rumah besar, terlihat Hanin mulai mengepak. Dia hanya membawa barang yang di dapat dari hasil jerih payahnya. Lama terdiam di ranjang. Mengingat kenangan indah yang sering terjadi di kamar itu.
Dia mengusap air matanya berkali kali. Air mata yang seakan tak pernah habis. Dia mengambil selembar kertas, dan mulai menuliskan pesan untuk si empunya kamar. Dia menuliskan apa yang terasa di hatinya. Kata yang tak sempat di ucapkan saat mereka bersama.
Di temani dengan derai air mata, Hanin melipat kembali kertas yang telah bertulis itu. Membuka cincin dari jari manisnya. Cincin pernikahan mereka. Lalu, meletakkan benda itu di atas bantal. Mengusapnya beberapa kali. Kemudian berlalu meninggalkan kamar itu. Dan, kali ini mingkin untuk selamanya.
Hanin sampai di bandara, dia memikirkan kembali rencananya untuk pulang ke kampung halamannya. Dia takut, kedatangan tiba-tiba dirinya ke sana, bisa membuat ibunya terkejut. Belum lagi, gunjingan tetangga yang pasti akan menjadikan dirinya santapan lezat untuk di jadikan bahan ghibah.
Akhirnya, Hanin mengurungkan niatnya untuk kembali ke kampung halaman. Dia menarik kembali kopernya menuju pintu keluar. Berjalan menuju halte bis.
Hanin mencoba terus berfikir. Kemana dia harus pergi. Dia tak punya banyak teman di kota itu. Lelah, Hanin merasa pandangan matanya mulai berkunang. Kakinya lemah. Dan akhirnya semuanya mulai terlihat gelap. Dan wanita itu pun terjatuh disana.
"Nona, apa nona baik baik saja?" Samar terdengar suara seseorang memanggil. Dia juga mencium bau minyak Kayu putih. Hanin mulai mengedipkan mata beberapa kali. Menyesuaikan cahaya yang di tangkap oleh panca indranya.
"Di mana ini?" Hanin berusaha untuk duduk. "Aahh." Wanita itu segera memegang kepala yang terasa sakit dan berat.
"Jangan duduk dulu nona. berbaring saja lah." Wanita berkerudung hitam yang terlihat masih muda dari dirinya itu tersenyum.
"Di mana aku?" Hanin melihat sekitar. Dan hanya ada tembok di sana. Sepertinya. dia berada dalam sebuah kamar.
Gadis tadi meraih gelas yang berisi air mineral. "Minum dulu nona." Dia memberikan gelas pada Hanin.
Hanin menerima, dan langsung meneguknya hingga habis. Karena, memang dia sedang haus. "Terima kasih mbak." Dia mengembalikan gelas.
"Tidak usah memanggil, mbak. Nama ku suci nona." Dia kembali tersenyum pada Hanin.
"Kalau begitu, panggil saja aku Hanin." Wanita itu pun membalas senyum hangat wanita yang bernama suci tadi.
"Tapi, nona sepertinya lebih tua dari ku. Bagaimana kalau aku yang memanggil mbak?"
"Baiklah. Tapi suci, bagaimana aku bisa ada disini?" Hanin masih bingung, terakhir dia ingat dirinya sedang berjalan menuju halte bis bandara.
"Tadi, ketika aku mengantarkan pesanan ke bandara, tanpa sengaja aku liat mbak jatuh pingsan di jalan. Nah, aku di bantu oleh beberapa temanku, memindahkan mbak ke mobil. Lalu, membawa mbak kesini. Ini kamar kos ku mbak." Suci menjelaskan.
Hanin berucap syukur dalam hati. Karena Allah masih mempertemukan dirinya dengan orang orang yang baik.
Kembali ke RS.
Kenan terdiam duduk di sofa kamar rumah sakit. Pikirannya melayang pada wanita yang tadi pagi di usirnya. Khayalanya terputus saat mendengar suara ketukan pintu dari luar kamar.
"Hai.. " Terlihat seorang gadis yang sangat ingin Kenan jauhi sudah berdiri di sana.
"Mau apa kau kesini?" Kenan bertanya.
"oups, santai dong sayang... aku kesini mau jenguk Afril." Nesya berjalan mendekat kearah ranjang.
"Aku nggak papa kak." Afril membuka suaranya.
Kenan berjalan mendekat. "Kok kamu sudah bangun? Baru juga, tidur bentar." Pria itu membelai kepala adiknya.
"Aku berisik ya Fril? Maaf.. aku kesini karena khawatir sama keadaan kamu." Nesya membelai lengan gadis itu.
"Makasih kak" Tapi, aku udah nggak papa kok." Afril tersenyum kecil.
"Aku keluar sebentar, kalian boleh ngobrol dulu. Tapi ingat, hanya sebentar. Afril butuh istirahat." Kenan melangkah keluar.
Setelah memastikan Kenan menghilang dari pintu, Nesya mendudukkan dirinya sebelah Afril. "Gimana, rencana kita berhasil atau tidak?" Nesya bertanya.
Afril terlihat sedikit murung. "Berhasil sih iya. Tapi, aku jadi nggak tega liat wajah sedih kakakku."
"Alah, paling juga sedih sehari atau dua hari. Paling lama, juga seminggu. Yang penting gadis itu sudah pergi." Nesya tersenyum senang.
"Tapi, aku ampir aja lewat kak. Aku gx nyangka kalau ngiris urat ini dikit aja bikin aku separuh mati." Afril bersungut.
"Yang penting kamu lum lewat kan. Kalau mau mendapatkan sesuatu, kita memang perlu usaha yang maksimal." Nesya berucap enteng.
Afril hanya bersungut. Ada sedikit rasa bersalah yang bersarang di hatinya. Dia merasa menyesal karena membuat Kenan menjadi sangat panik.
Wajah pria itu seketika pucat saat melihat dirinya bersimbah darah. Wajah khawatir yang belum pernah di lihatnya selama ini. Dia merasa bodoh karena mau menuruti saran dari Nesya. Yang membuat dirinya berada di ambang kematian.
TBC
Selamat membaca Readers. Mohon bantu vote, like, beri hadiah dan silahkan berkomen ria.
TERIMA KASIH
sorry gwa baca sampe sini