Nico Melviano, dia merasa dirinya pria bodoh membuang waktu bertahun-tahun menunggu cinta berbalas. Tapi ternyata salah, wanita itu tidak pantas untuk ditunggu.
Cut Sucita Yasmin, gadis Aceh berdarah Arab. Hanya bisa menangis pilu saat calon suaminya membatalkan pernikahan yang akan digelar 2 minggu lagi hanya karena dirinya cacat, karena insiden tertabrak saat di Medan. Sucita memilih meninggalkan Banda Aceh karena selalu terbayang kenangan manis bersama kekasih yang berakhir patah hati.
Takdir mempertemukan Nico dengan Suci dan mengikat keduanya dalam sebuah akad nikah. Untuk sementara, pernikahannya terpaksa disembunyikan karena cinta keduanya terhalang oleh obsesi seorang perempuan yang menginginkan Nico.
Bagaimana perjalanan rumah tangga keduanya yang juga mengalami berbagai ujian? Cus lanjut baca.
Cover by Pinterest
Edit by Me
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Nia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Taman (2)
Ketakutan Suci berubah menjadi rasa lega campur kaget dan heran. Pria yang tadi pagi terhalang jarak jauh kini muncul di hadapa nya.
"Mas Nico."
Suci berpindah posisinya ke samping Nico. Dua pria tegap dan tampan saling beradu tatapan tajam. Seolah saling menyelami, saling mengukur kemampuan juga kehebatan masing-masing.
Atmosfer kesejukan dari taman yang asri dan teduh, kini berubah panas. Tak ada yang mengalah untuk menurunkan maupun mengalihkan pandangan. Membuat Suci menjadi takut jika tiba-tiba kedua pria tampan itu berkelahi.
"Jangan berlaku kasar pada perempuan!" Nico berucap dengan tegasnya, auranya berubah dingin. Ia tadi dengan jelas melihat Suci yang berontak ketakutan dan kesakitan. Jika tidak mampu mengendalikan emosi, sudah ditonjoknya orang yang berbuat kurang ajar terhadap kekasihnya itu.
"Kamu jangan ikut campur urusan pribadi orang lain!" Rafa tak kalah menggertak. Ia merasa asing dengan sosok pria di depannya itu. Matanya memindai tampilan casual pria bersorot mata dalam, perasaannya tidak enak, ia merasakan adanya aura rivalitas.
"Kalau menyangkut Suci, tentu aku akan ikut campur. Karena aku adalah masa depannya, sedangkan kamu hanya masa lalunya." Nico berubah berkata dengan santai. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku depan celana jeans selutut yang dipakainya. Ia sudah mampu mengendalikan emosinya. Ia tidak mau membuat keributan di ruang publik.
Gurat keterkejutan nampak di wajah Rafa, mendengar pengakuan Nico. Ia mengalihkan tatapannya ke Suci yang tengah memandangnya lebih dulu. "Suci, benarkah?" Pertanyaan singkat Rafa mendapat anggukan kuat dari Suci.
Dengan langkah tergesa, Rahma mendekat ke arah Suci. Ia terlihat bingung melihat kemunculan dua pria selama dirinya pergi ke toilet. "Suci, ini ada apa?" bisik Rahma.
"Nanti lah aku ceritain. Kamu kenapa lama sih?" Suci balas menjawab dengan berbisik.
"Sorry. Aku sakit perut. Toilet antri." Setelah jelas alasan Rahma, mereka pun diam. Kembali menyaksikan dua pria yang belum mencairkan keramahan.
"Aku harap kamu bisa menerima kenyataan. Dan kita bisa berteman," Nico mengulurkan tangan kanannya mengajak bersalaman. Bukannya bersambut jabat tangan, yang ada hanya tepisan dari Rafa sambil dirinya berlalu pergi dengan mimik yang sulit ditebak.
Nico tersenyum tipis. Perhatiannya kini beralih kepada Suci. "Kamu nggak apa-apa?" Nico spontan meraih tangan Suci untuk melihat bekas cengkraman Rafa.
"Tadi hanya sedikit sakit. Sekarang sudah nggak apa-apa, Mas" Suci menarik pelan tangan yang digenggam Nico.
"Syukurlah."
****
"Mas Nico, kenapa bisa berada di sini? Bukannya di Jakarta?" Rasa penasaran Suci dari tadi akhirnya bisa diungkapkan. Mereka duduk berdua di bangku taman tempat Suci tadi duduk bersama Rahma. Nico telah meminta izin kepada Rahma untuk ngobrol berdua dengan Suci.
"Minum dulu nih!" Nico memberikan sebotol air mineral yang masih bersegel dari tasnya.
Tiga tegukan air mineral menyejukkan tenggorokan Suci setelah sesaat tadi mengalami ketegangan.
"Eh Mas Nico, kenapa minum bekas aku?" Suci merasa nggak enak hati melihat Nico minum bekasnya.
"Ini enak, seger. Serasa ada manis-manisnya gitu---" sahut Nico sambil menaik turunkan kedua alisnya. Suci terkekeh geli, jawaban Nico merasa seperti iklan di tv.
"Mas Nico belum jawab ih. Aku kan penasaran." Suci sudah tak sabar mendengar jawaban Nico kok bisa kebetulan bertemu di taman dalam keadaan dirinya lagi ketakutan.
Nico duduk bertumpang kaki dengan kedua tangan meregang di sandaran kursi. Sepintas kelihatannya seperti memeluk bahu Suci.
"Kamu masih ingat tadi pagi bilang apa hmm?" Gara-gara ungkapan cintamu aku jadi merasa gila, pengen menculikmu ke KUA." Nico menatap gemas gadis di sampingnya itu yang hanya mengulum senyum setelah mendengar penuturannya.
"Aku gak sabar pengen ketemu kamu, udah rindu berat."
Suci memalingkan wajahnya yang tersipu ke arah lain mendengar ungkapan rindu dari Nico. Sedikit merubah posisi duduknya untuk menetralkan jantungnya yang bertalu, Suci kembali bertanya. "Bagaimana Mas Nico tahu aku ada di sini?"
"Selama ponselmu aktif, dengan mudah aku akan menemukanmu, cantik." Nico mencolek hidung bangir sang kekasih. Ia sudah terlalu gemas melihat ekspresi keingintahuan Suci yang malah terlihat imut, ingin sekali menggigit bibir pink alami gadis cantik itu.
Suci bernafas lega dan tersenyum lebar, keingintahuannya terjawab tuntas.
"Suci, ada hal penting yang ingin aku sampaikan." Raut wajah Nico berubah tegang. Kedatangannya menyusul Suci ke Banda Aceh selain karena rindu, juga untuk mengungkap kejujuran yang menjadikannya beban pikiran. Dirinya sudah pasrah menerima akan respon Suci nantinya
"Kenapa, Mas?" Suci mengernyit, melihat raut Nico.yang tiba-tiba berubah serius.
Nico sejenak menghela nafas panjang. "Apakah kamu percaya jika aku tulus mencintaimu?" Kali ini Nico mengubah posisi duduknya miring menghadap Suci.
"Iya aku percaya. Dan aku pun tulus membalas cinta Mas Nico." Suci membalas tatapan lembut pria di sampingnya itu.
"Apa kamu kenal dengan gelang ini?" Nico mengambil sebuah gelang emas yang rantainya telah putus. Gelang dengan sebuah bandul hati berinisial SY.
Suci terkaget, dirabanya perlahan gelang yang berada di tamgannya. "Ini gelang aku. Hilang saat kecelakaan di Medan. Bagaimana bisa ada di Mas Nico?" Suci mengernyit, menatap penuh tanya.
"Aku-aku menemukannya tergeletak di aspal. Karena orang yang menabrakmu adalah aku."Nico mengucapkannya dengan gugup dan mata terpejam. Tidak berani melihat bagaimana reaksi Suci setelah dirinya menyampaikan kejujuran. Tapi satu hal, hatinya menjadi lapang. Seolah beban berat yang menghimpit dada terbang ke angkasa. Benar kata orang bijak, sampaikanlah kejujuran walaupun pahit. Dan Nico telah siap menerima pahitnya.
Semburat jingga mulai melukis angkasa. Pertanda hari telah senja. Lalu lalang orang di taman semakin ramai, untuk menghabiskan sore di taman Putreo Phang, menyaksikan matahari yang mulai undur menuju peraduan.
Suci berdiri terpaku tanpa kata. Lidahnya kelu, tak mampu untuk berucap. Ia merasa takdir mempermainkannya, pagi tadi dirinya bahagia, telah mengucap balas cinta. Sore ini dirinya harus menerima fakta, pria yang dicintanya yang menyebabkan dirinya celaka.
"Kenapa waktu itu Mas Nico melarikan diri?" setelah sekian menit hening tercipta, Suci baru bertanya dengan pandangan lurus ke depan, menatap anak-anak yang riang bermain.
Nico ikut bangkit dari duduknya. Ia memutar bahu Suci agar mau menatapnya. "Suci, saat itu situasinya tidak kondusif, aku menghindar dari amukan massa yang mau main hakim sendiri. Besoknya aku mencarimu ke rumah sakit kota, tapi nihil. Sampai akhirnya aku harus pulang ke Jakarta karena perusahaan lagi kolaps. Aku melanjutkan mencarimu dengan menyuruh teman, sampai kemudian tahu namamu dan tempat tinggalmu."
"Apa kamu ingat saat seorang pria menabrak kursi rodamu di bandara Soetta? itu aku. Aku sedang menjemput teman yang akan memberi informasi tentangmu."
Suci kembali termangu. Kilas balik beberapa bulan yang lalu tergambar di kepalanya. "Apakah donatur selama pengobatanku itu Mas Nico?" Suci menatap sayu pria tegap yang kini menunduk tak berani menegakkan wajahnya.
"Iya Suci. Dan aku mulai menyukaimu sejak melihatmu terapi. Aku selalu memandangmu lewat kaca jendela, tanpa kamu tahu."
"Suci...maafkan aku." lirih Nico. Ia mengangkat wajahnya dengan tatapan sendu. Melihat Suci yang diam membisu, Nico kembali mengiba. "Suci, bicaralah! Jangan siksa aku dengan rasa bersalah yang terus menghantui."
Suci memundurkan badannya dua langkah ke belakang. Tatapannya berubah tajam, membuat dada Nico berdesir nyeri, seakan narapidana yang siap mendengar ketok palu sang hakim.
"Maaf. Aku mau pulang!"