NovelToon NovelToon
Saat Aku Berhenti Berharap

Saat Aku Berhenti Berharap

Status: sedang berlangsung
Genre:Poligami / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Dijodohkan Orang Tua / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:32.3k
Nilai: 5
Nama Author: Lisdaa Rustandy

Dua tahun menjadi istri dari pria cuek nan dingin yang tak pernah mencintaiku, aku masih bersabar dalam pernikahan ini dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban untuk hubungan kami.
Tetapi, batas kesabaranku akhirnya habis, saat dia kembali dari luar kota dengan membawa seorang wanita yang ia kenalkan padaku sebagai istri barunya.
Hatiku sakit saat tahu dia menikah lagi tanpa izin dariku, haruskah dia melakukan hal seperti ini untuk menyakiti aku?
Jujur, aku tak mau di madu, meskipun awalnya aku meyakinkan diriku untuk menerima wanita itu di rumah kami. Aku memilih pergi, meminta perpisahan darinya karena itulah yang ia harapkan dariku selama ini.
Aku melangkah pergi meninggalkan rumah itu dengan hati yang hancur berkeping-keping. Kupikir semua sudah berakhir begitu aku pergi darinya, namun sesuatu yang tak terduga justru terjadi. Ia tak mau bercerai, dan memintaku untuk kembali padanya.
Ada apa dengannya?
Mengapa ia tiba-tiba memintaku mempertahankan rumah tangga kami?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisdaa Rustandy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

#35

[PAGI HARI – RESTORAN HOTEL]

Restoran hotel itu ramai namun tertata rapi. Cahaya matahari pagi menembus jendela-jendela besar, memantulkan kilau lembut di lantai marmer. Aroma kopi panas, roti panggang, dan hidangan khas Medan menguar di udara, menciptakan suasana pagi yang hangat.

Alden dan Naysila duduk bersebelahan di salah satu meja dekat jendela. Di seberang mereka, Pak Haldy dan Bu Tamara sudah lebih dulu duduk sambil menikmati sarapan. Namun berbeda dari suasana hangat malam sebelumnya, pagi ini terasa kaku.

Naysila menunduk, jemarinya memegang sendok tanpa benar-benar menyentuh makanannya. Wajahnya tampak pucat, matanya sayu. Alden duduk tegak di sampingnya, sesekali melirik ke arah istrinya dengan ekspresi sulit dibaca. Ada canggung, ada gelisah, dan ada sesuatu yang tertahan.

Bu Tamara memperhatikan keduanya diam-diam. Dari cara mereka duduk, dari keheningan yang terasa tidak biasa, ia merasa ada perubahan. Dalam hatinya, Bu Tamara bergumam pelan.

"Pasti semalam ada yang terjadi antara mereka."

Bu Tamara menatap keduanya bergantian. Tanpa siapapun melihat, bibirnya mengulas senyum simpul seolah ada rasa kepuasan dalam dirinya melihat anak dan menantunya seperti ini.

Bukan puas karena Naysila dan Alden saling diam, tapi ia puas karena yakin semalam rencananya berhasil.

Pak Haldy melirik istrinya sejenak, lalu geleng-geleng kepala saat sadar sang istri tersenyum puas. Ia tahu betul apa yang istrinya lakukan semalam pada Naysila, tapi memilih untuk mendukungnya karena itu demi kebaikan Alden dan Naysila.

Ia meletakkan cangkir kopinya perlahan, lalu menatap Alden dan Naysila bergantian.

Suasana makin sunyi. Bahkan suara alat makan dari meja lain terasa lebih jelas.

Akhirnya, Bu Tamara menarik napas kecil lalu memecahkan keheningan itu.

"Kalian kenapa?" tanyanya lembut tapi penuh selidik. "Dari tadi diam saja sejak kita duduk di sini."

Spontan, Alden dan Naysila menoleh ke arahnya hampir bersamaan. Keduanya sama-sama terkejut, lalu refleks memaksakan senyum.

"Gak apa-apa, Bu," jawab Naysila pelan. Suaranya lembut tapi terdengar sedikit kaku. "Aku cuma masih agak ngantuk."

Alden segera menimpali, seolah ingin membantu merapikan suasana. "Iya, Bu. Semalam kurang tidur. Jadi sekarang masih agak mengantuk."

Bu Tamara menatap mereka berdua lebih lama. Dalam hatinya ia semakin yakin tentang apa yang terjadi antara keduanya. Namun ia hanya mengangguk kecil, berpura-pura tidak tahu.

"Oh begitu," capnya singkat.

Pak Haldy lalu menyela sambil melihat jam di pergelangan tangannya. "Kalau begitu, habiskan sarapannya, ya. Kita akan pulang sebentar lagi. Ambil penerbangan pagi, jadi setelah ini kita langsung ke bandara."

"Iya, Yah," jawab Alden.

Naysila ikut mengangguk pelan. "Baik, Yah."

Keheningan kembali menyelimuti meja mereka. Namun kali ini, Alden tanpa sadar menggeser posisi duduknya sedikit lebih dekat ke Naysila. Gerakan kecil itu tak luput dari perhatian Bu Tamara, yang kembali tersenyum tipis dalam diam.

Sementara itu, Naysila tetap menunduk, tidak bergerak sama sekali dari tempatnya seolah tubuhnya terpaku di kursinya.

____________

Setelah sarapan selesai, mereka kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap menuju bandara. Lorong hotel kembali terasa lengang, hanya suara koper yang ditarik sesekali memecah keheningan.

Alden dan Naysila masuk ke kamar mereka tanpa adanya percakapan.

Begitu pintu kamar tertutup di belakang mereka, suasana langsung berubah canggung. Naysila berjalan menuju lemari, merapikan isi kopernya dan memastikan semua barang sudah lengkap. Gerakannya cepat, seolah ingin segera keluar dari ruangan itu.

Alden memperhatikannya beberapa detik, lalu melangkah mendekat.

"Nay…" panggilnya pelan.

Naysila berhenti, tapi tidak langsung menoleh.

Alden mengulurkan tangan, menahan pergelangan tangan istrinya dengan lembut. "Nay… apa kamu marah?"

Naysila akhirnya mengangkat wajahnya, menatap Alden sekilas sebelum kembali memalingkan pandangan. "Marah kenapa?"

"Atas kejadian semalam," jawab Alden jujur.

Naysila terdiam. Tangannya perlahan terlepas dari genggaman Alden. Ia menarik napas dalam, lalu menoleh kembali, kali ini lebih lama. Mata Alden bisa membaca kegundahan di sana, campuran bingung, sedih, dan lelah.

"Aku minta maaf…" ucap Alden lirih. "Seharusnya aku tidak melakukan itu."

Naysila menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca. Ia berusaha tersenyum, meski terlihat rapuh. Bayangan kejadian semalam membuatnya sedih. Ia seolah-olah terjebak pada kejadian yang tak pernah ia inginkan.

"Gak apa-apa, Mas. Kamu gak salah… semua terjadi karena aku yang meminta."

"Tapi tetap saja," Alden menggeleng pelan. "Aku seharusnya gak menuruti permintaanmu. Kamu gak benar-benar menginginkannya."

Naysila menunduk sesaat, lalu kembali menatap Alden. "Ya, memang. Tapi kalau bukan kamu yang membantuku semalam, siapa lagi? Mana mungkin aku minta bantuan dari pria lain, Mas."

Ruangan itu kembali sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar samar.

"Aku gak apa-apa, Mas…" lanjut Naysila lirih. "Aku ikhlas. Itu memang hak kamu sebagai suamiku."

"Aku merasa sangat bersalah, Nay. Maafkan aku."

Naysila menggeleng, bibirnya tersenyum pahit. "Sudahlah, Mas. Lupakan saja. Semua sudah terjadi dan aku yang bersalah dalam hal ini."

Kalimat itu justru membuat dada Alden terasa semakin sesak.

Ia tahu, Naysila sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya. Kejadian semalam bukan hal yang mereka inginkan, namun keduanya benar-benar hanyut dalam penyatuan itu tanpa rencana.

Tapi sekeras apapun Naysila berusaha, tetap saja ia kalah oleh rasa sedihnya. Air mata Naysila akhirnya jatuh juga, satu per satu, tak lagi bisa ditahan. Bahunya bergetar. Alden spontan menarik Naysila ke dalam pelukannya, memeluk erat tanpa kata, membiarkan istrinya menangis di dadanya.

"Maafkan aku, Nay…" bisik Alden dengan suara bergetar. "Maaf… aku benar-benar minta maaf."

Tangannya mengusap punggung Naysila perlahan, penuh penyesalan. Ia tahu, ada sesuatu yang telah berubah di antara mereka, sesuatu yang tak bisa begitu saja diputar ulang.

"Aku akan bertanggung jawab untuk itu, Nay..." ucap Alden.

Naysila tidak merespon. Ia menangis tanpa suara di pelukan Alden. Rasanya ingin menjerit sekeras-kerasnya, tapi suaranya seolah tertahan, sehingga tangisan tanpa suara itu justru terasa semakin menyakitkan.

Pelukan itu berlangsung lama. Di tengah keheningan kamar hotel, mereka berdiri saling bersandar, membawa luka dan rasa bersalah masing-masing, sebelum akhirnya harus melangkah keluar dan kembali menghadapi dunia seolah tak ada apa-apa yang terjadi.

*****

[DI DALAM PESAWAT – MENUJU JAKARTA]

Deru mesin pesawat terdengar konstan, berpadu dengan suara pramugari yang memberi pengumuman singkat sebelum lepas landas. Alden dan Naysila duduk berdampingan, kursi dekat jendela menjadi milik Naysila.

Namun tak seperti sebelumnya, Naysila sama sekali tak menoleh saat pesawat mulai bergerak. Tatapannya kosong ke arah luar, menembus kaca jendela seolah mencari sesuatu di balik hamparan awan. Bibirnya terkatup rapat, wajahnya tenang, tapi justru itulah yang membuatnya tampak rapuh.

Alden meliriknya dari samping. Dadanya terasa sesak.

Rasa bersalah itu kembali menguat, menekan benaknya tanpa ampun. Ia tahu, meski semalam terjadi atas permintaan Naysila, ia tetap merasa telah melukai wanita yang kini duduk di sampingnya. Wanita yang dulu begitu asing, bahkan sempat tak ia sukai, kini justru membuat hatinya penuh penyesalan.

Perlahan, tangan Alden bergerak, ingin menyentuh jemari Naysila. Hanya sekadar menggenggam, memberi sedikit kehangatan, atau mungkin sekadar mengatakan aku di sini tanpa kata.

Namun gerakan itu terhenti di udara.

Alden mengurungkan niatnya. Tangannya kembali ke pangkuan, mengepal pelan. Ia merasa tak pantas. Ia merasa telah berbuat jahat, meski niatnya bukan untuk menyakiti.

Sepanjang penerbangan, tak ada percakapan di antara mereka. Hanya jarak yang terasa semakin nyata, meski tubuh mereka begitu dekat.

*****

[SIANG HARI – BANDARA SOEKARNO-HATTA]

Pesawat akhirnya mendarat dengan mulus. Para penumpang mulai berdiri, mengambil barang bawaan. Alden berdiri lebih dulu, membantu mengambil tas kecil Naysila dari kompartemen atas, lalu menyerahkannya tanpa banyak bicara.

Naysila menerimanya dengan anggukan kecil sebagai tanda terima kasih.

__________

Setelah keluar dari bandara bersama Pak Haldy dan Bu Tamara, mereka sempat berbincang singkat soal perjalanan pulang. Di mana Bu Tamara dan Pak Haldy akan pulang dengan mobil mereka seperti saat pergi sebelumnya.

Alden menoleh pada Naysila.

"Nay, kamu pulang bersamaku. Aku akan mengantarkanmu pulang sampai ke rumah karena aku sudah janji pada kedua orang tuamu."

Naysila menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. "Iya."

Tak ada tambahan kata.

Setelah pamitan kepada Bu Tamara dan Pak Haldy, mereka berjalan menuju mobil Alden. Keduanya masuk ke dalam, lalu kendaraan itu melaju meninggalkan area bandara. Jakarta menyambut mereka dengan lalu lintas yang padat dan langit siang yang sedikit mendung.

Sepanjang perjalanan menuju rumah Naysila, keheningan kembali menguasai ruang di antara mereka. Tak ada percakapan, tak ada pertanyaan, bahkan tak ada musik yang dinyalakan.

Naysila menatap lurus ke depan, sesekali menoleh ke luar jendela. Alden fokus pada jalan, tangannya mencengkeram setir sedikit lebih kuat dari biasanya.

"Nay..." ucap Alden, memulai percakapan dengan ragu.

"Ya?" suara Naysila terdengar lebih pelan dari biasanya.

"Boleh aku hubungi kamu lagi setelah ini?"

"Untuk?"

"Bukan untuk macam-macam. Aku hanya... Terkadang ingin tahu kabar kamu."

Naysila tidak langsung menjawab, matanya masih fokus menatap ke depan seolah sosok Alden yang duduk di sampingnya tak benar-benar hadir.

"Kalau kamu keberatan... gak apa-apa," ucap Alden, segera menimpali sebelum Naysila menolak. "Aku minta maaf karena terlalu lancang."

"Boleh," ucap Naysila tanpa menoleh. "tapi hanya saat ada kepentingan saja."

Alden tersenyum lega, kepalanya mengangguk mantap. "Baiklah."

Setelahnya, suasana kembali hening. Alden fokus menyetir, sementara Naysila larut dalam pikirannya yang kacau.

Alden pun tak mengganggunya dengan bicara yang tak perlu. Ia membiarkan Naysila merasa nyaman tanpa gangguan darinya.

Mobil terus melaju. Dan meskipun udara Jakarta panas di siang hari, namun di dalam mobil itu tetap saja terasa dingin.

*****

Beberapa saat kemudian...

Mobil Alden berhenti di depan pagar rumah Naysila. Pria itu langsung mematikan mesin mobilnya dan menoleh pada Naysila sejenak.

Naysila tak balas menoleh. Ia malah keluar lebih dulu dan mengambil kopernya di bagasi mobil Alden.

Alden pun menyusul turun, menghampiri Naysila dan mengambil koper itu dari istrinya. "Biar aku yang bawakan, Nay."

"Gak perlu," jawab Naysila sambil mengambil kembali kopernya dengan gerakan pelan. "aku bisa sendiri, Mas."

"Kamu pasti lelah setelah perjalanan jauh. Biar aku yang bantu walaupun hanya bantuan kecil."

Naysila tersenyum. "Terima kasih. Kamu sudah cukup membantuku."

Alden terdiam. Ia tahu apa yang Naysila maksud.

Naysila menyeret kopernya perlahan sambil membuka pintu pagar. Namun sebelum ia memasuki halaman rumahnya, Naysila menoleh pada Alden dan menatap pria itu sejenak.

"Terima kasih untuk semuanya, Mas."

"Aku senang bisa diajak ke acara pernikahan Aura," tambahnya.

Alden berjalan mendekat. Ia lalu berdiri di hadapan Naysila, menatap mata sayu wanita itu.

"Aku juga berterima kasih, Nay... Karena kamu bersedia ikut bersama kami."

"Maaf, kalau kamu pulang dengan hati yang kecewa karena perbuatanku," tambahnya tulus.

Sejenak, keduanya tak berkata apa-apa lagi. Hanya saling menatap dalam diam selama beberapa saat, seolah ada beberapa kata yang terpendam dan tak mampu meredam ucapkan.

"Istirahatlah, Nay," ucap Alden. "Kalau terjadi apa-apa tolong kabari aku."

Naysila hanya mengangguk singkat. Tanpa kata ia berbalik dan memasuki halaman rumahnya. Ia menutup pintu pagar tanpa mengajak Alden untuk mampir.

Alden tak merasa tersinggung. Ia tahu betul apa yang sedang Naysila rasakan saat ini, apalagi selama ini sikapnya buruk terhadap Naysila. Rasa sakit hati wanita itu tak akan sembuh hanya dengan ia berbuat baik padanya.

Alden masih berdiri di tempatnya, menatap punggung Naysila yang perlahan menjauh, hingga akhirnya ditelan oleh pintu rumah sederhana itu.

"Maafkan aku, Naysila..." ucapnya untuk terakhir kali, sebelum ia masuk ke dalam mobil dan pergi.

Sementara itu di dalam rumah, Naysila berdiri di jendela kamarnya dan menatap keluar.

Ia memperhatikan mobil Alden yang melaju pergi meninggalkan rumahnya. Membawa semua kenangan antara mereka yang tercipta secara tiba-tiba.

Air matanya perlahan jatuh kembali. Mengingat kejadian semalam membuatnya merasa bodoh.

Naysila bukan tak rela kesuciannya direnggut suaminya sendiri, yang jelas masih memiliki hal atas dirinya. Tapi ia merasa berat karena pria itu tak pernah mencintainya, bahkan selama ini berusaha menyingkirkannya.

Dan semua itu terjadi karena kesalahan yang terjadi pada tubuhnya.

"Kenapa aku merasa kotor..."

*****

1
amilia amel
kabar yang bakalan membuat Alden, keluarga Alden dan keluarga Naysilla bahagia
amilia amel
buka hatimu Nay.... biarkan luka itu sembuh dengan kebahagiaan yang akan kamu dapatkan
amilia amel
jujurlah sama perasaanmu Nay
amilia amel
Alhamdulillah al dan nay semakin dekat
amilia amel
moga doa kalian berdua terkabul hingga kalian bisa berjumpa kembali
amilia amel
ayo ai... ceritakan yang sejujurnya
Sunaryati
Tanyakan saja biar kamu plong
amilia amel
moga aja Al dan Nay bersatu kembali
Sunaryati
Wah pacaran menjelaskan batalnya perceraian, mungkin kecebong Alden ada yang tumbuh di Naysila
Sunaryati
Nah jika kau telah mencintai Nay kejar berjuanglah, dan untuk Nay pastikan dulu seberapa besar kegigihan Alden untuk mendapatkan kesempatan darimu Nay.
Sunaryati
Semoga awal yang pada hubungan kamu dan Alden suamimu Nay
Sunaryati
Nay jika hatimu masih ada cinta untuk suamimu, hubungan suami istri yang kamu lakukan tidak salah, Alden kan baru memberi talak satu artinya kamu bisa rujuk lagi. Apalagi jika kejadian itu membuat kamu hamil Alden semakin tak mau melepasmu
amilia amel
bagus ceritanya
Tutuk Isnawati
🤣ada yg panas tp bukan bakso g d beli nay
Sunaryati
Kamu nanti yang bucin Alden
Yati Syahira
lebay nyesel ydk guna
Yati Syahira
dibikin menye menya drama lgi
Lisdaa Rustandy: lahhhh, emang ada novel yg gak drama? semua juga butuh drama biar seru😄
total 1 replies
Yati Syahira
laki munafik dan bodoh ,bikin bucin dan nyesel nay dpt yg lebih dari alden
Yati Syahira
cerai bicara jujur jgn nyiksa diri
Yati Syahira
sungguh brutal dan kejam perkataanya ,pergi dan cerai nay ,tdk di hargai sebagai wanita
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!