Nuansa dan Angger adalah musuh bebuyutan sejak SMA. Permusuhan mereka tersohor sampai pelosok sekolah, tiada yang luput untuk tahu bahwa mereka adalah dua kutub serupa yang saling menolak kehadiran satu sama lain.
Beranjak dewasa, keduanya berpisah. Menjalani kehidupan masing-masing tanpa tahu kabar satu sama lain. Tanpa tahu apakah musuh bebuyutan yang hadir di setiap detak napas, masih hidup atau sudah jadi abu.
Suatu ketika, semesta ingin bercanda. Ia rencakanan pertemuan kembali dua rival sama kuat dalam sebuah garis takdir semrawut penuh lika-liku. Di malam saat mereka mati-matian berlaku layaknya dua orang asing, Nuansa dan Angger malah berakhir dalam satu skenario yang setan pun rasanya tak sudi menyusun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nowitsrain, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Beneath the Shadow
Saat K bertugas, Angger tidak hanya berdiam diri. Dia juga bekerja, seharian memantau pergerakan para agen. Dari sana, dia juga bisa sekalian memantau pergerakan mata-mata yang berhasil ditempeli alat pelacak. Angger memperhatikan betul setiap gerakannya, langsung meminta agen mengakses CCTV di setiap titik yang dilewati oleh si mata-mata. Yang pada akhirnya membawa Angger ke satu tempat, tujuan akhir si mata-mata saat bertemu dengan bosnya. Tapi saat Angger mengecek, dan dia akhirnya bisa mengenali si bos itu, dia tidak habis pikir karena hasilnya tidak terduga.
Ctak!
Angger menekan tombol spasi, video yang terputar terpause pada bagian yang menunjukkan wajah si bos. Saat dia hendak memperbesar gambar, terdengar suara akses pintu terbuka dari luar. Dia menunda zoom, menunggu dulu sampai K muncul.
Begitu muncul, K langsung ikut duduk di sofa sambil bertanya, "Ada apa, Chief?"
Angger menggeser laptop, lalu menekan zoom. Wajah K mendekat. "Orang kepercayaan Kertapati," jelas Angger. Gambar yang diperbesar itu buram, wajar mungkin kalau K agak tidak mengenal. Beda dengan Angger yang sudah hafal betul dengan wajah orang itu karena dia selalu mengikuti Tuan Kertapati ke mana pun dia pergi.
K menoleh, tampak terkejut. "Jadi maksudnya, orang-orang yang dikirim untuk memata-matai Nona Kertapati itu adalah suruhan ayahnya sendiri?"
"Mengingat kedekatan orang ini dengan Tuan Kertapati, iya." Angger mengangkat kakinya, dibuat bersila di atas sofa. "Mustahil dia bisa bergerak sendiri tanpa sepengetahuan tuannya."
"Tapi kenapa? Kenapa Tuan Kertapati memata-matai putrinya sendiri?"
Gelengan kecil Angger buat sebagai jawaban. "Itu yang harus kita cari tahu." Dia menatap K sebentar, lalu berkata lagi, "Tugas gue. Lo fokus aja soal Han Jean, dan para agen fokus ke Nuansa."
K mengangguk patuh. "Mengerti, Chief."
Ada jeda sebentar, sampai Angger kembali buka suara. "Lo dapat apa dari Rumah Kasih?" tanyanya, teduh dalam sorot matanya tidak tampak seperti seseorang yang sedang menuntut jawaban, lebih condong pada kesiapan mendengarkan cerita dari seseorang yang dia pedulikan.
"Oh," K buru-buru mengeluarkan ponsel dari saku celana, membuka pesan yang dikirim oleh agen, lalu dia membagikan tampilan layar dengan Angger. "Chief ingat anak magang yang kasih saya hadiah?"
Angger hanya mengangguk.
"Saya ketemu dia di Rumah Kasih," katanya. "Tapi saya nggak percaya kalau itu adalah sebuah kebetulan, jadi saya minta salah satu agen untuk langsung mencari tahu soal dia. Saya belum periksa, kita periksa bersama sekarang."
Angger merebut ponsel dari tangan K. Layar digulir ke bawah, lalu dia mengangguk-angguk. "Jayadi," gumamnya.
K mendengar gumaman tersebut, dahinya mengerut. Dia ikut mengintip ke ponselnya sendiri yang dikuasai Angger. Di sana, tertera latar belakang keluarga Jayadi, yang tidak semua detailnya dibagikan ke publik. Memang begitu, data yang diselidiki dan didapatkan oleh para agen sudah pasti berisi hal-hal yang tidak akan diketahui publik, yang aksesnya sulit dan butuh kemampuan tingkat tinggi untuk bisa mendapatkannya.
"Bukannya putri keluarga Jayadi itu adalah Nona … siapa namanya? Yang sudah diperkenalkan ke publik di perayaan ulang tahunnya yang ke-17?"
"Gayatri."
"Betul. Nona Gayatri." K memandang Angger bingung. "Lalu kenapa…"
"Gayatri itu anak dari istri sirih."
Fakta baru itu membuat K tercengang. "Istri sirih? Tuan Jayadi pernah menikah sirih?"
Angger mengangguk. "Dia menikahi kekasihnya yang sudah terlanjur hamil 5 bulan, tiga hari setelah menikah dengan istri sahnya."
K sudah tidak bisa berkata-kata. Ini lebih dahsyat daripada gosip artis mana pun. Dia tahu sih, kehidupan para konglomerat ini memang banyak kejutannya. Yang punya bisnis haram tapi branding-nya bersahaja juga banyak, apalagi hanya sekadar punya selingkuhan. Tapi masalahnya, ini adalah Jayadi, dan ternyata malah anak selingkuhan yang dideklarasikan ke hadapan public.
"Lo tahu siapa kekasihnya itu?"
Dia menggeleng, sepenuhnya tidak punya clue.
"Ya itu … istrinya yang sekarang. Yang dia nikahi 6 tahun setelah istri pertamanya meninggal kecelakaan. Lo ingat pernah ada selentingan dari orang-orang yang curiga kalau kematian istri pertamanya itu nggak wajar, kan?"
K mengangguk-angguk, seperti anak kucing yang penurut.
"Nah. Karena selentingan itu, mereka menunda pernikahan sampai 6 tahun kemudian."
"Tapi Nona Gayatri … alih-alih Treasure, kenapa dia yang diperkenalkan ke publik sebagai penerus keluarga Jayadi? Dari data itu, Treasure adalah anak dari istri sah—waktu itu."
"Gayatri didaftarkan sebagai anak dengan istri sah, dianggap anak pertama, tentu dengan manipulasi data dan sebagainya. Itu sebabnya dia yang dipilih. Tapi mungkin juga karena begitu cintanya dengan kekasihnya itu?" Angger mengedik, kembali fokus pada layar ponsel K di tangannya. “Tentu, kita juga harus cari tahu kenapa Treasure nggak kunjung diperkenalkan ke publik, dan kenapa juga dia bisa kerja magang di perusahaan gue alih-alih gunakan privilise sebagai anak Jayadi.”
"Tapi … Chief tahu dari mana soal prahara istri sirih ini? Bukannya ini adalah aib … yang seharusnya tidak ada orang luar yang tahu?" Fokus K sudah buyar, tidak lagi tertuju pada Treasure dan asal-usul keluarganya. Dia ingin tahu dari mana Angger mendapatkan informasi, yang bahkan tidak bisa ditemukan para agen dari data yang dikirimkan kepadanya itu.
Angger terkekeh pelan. "Lo meragukan kemampuan gue?"
K langsung menggeleng panik, khawatir sudah salah bicara. “Bukan, bukan,” sosornya. “Saya justru kagum karena Chief bisa menembus informasi rahasia seperti itu.”
Tawa kecil lolos dari belah bibir Angger. Namun alih-alih menjawab keingintahuan K, dia malah mengalihkan topik pembicaraan, membelokkannya ke arah yang jauh sekali berbeda.
“Lo udah makan?”
“Belum,” balas K, kepalanya menggeleng pelan. “Saya buru-buru pulang setelah terima pesan dari Chief, khawatir ada yang gawat.”
Lagi, Angger tertawa. Dia menurunkan kedua kakinya, mengembalikan ponsel kepada K. “Pesan makanan gih. Gue mau mandi dulu, belum mandi dari pagi,” katanya, sambil ngeloyor pergi.
Jangan tanya apa yang K lakukan, jelas langsung dia kerjakan apa yang Angger suruh, tanpa harus diulang perintahnya dua kali.
...✨✨✨✨✨...
Sejak ada anak bulu, Nuansa hampir tidak punya selera untuk meninggalkan kasur. Bekerja pun dia masih sambil setengah rebah di sana, dengan si mungil yang belum diberinya nama itu, duduk anteng di perutnya. Suara dengkuran halus menjadi backsound, tidak terganggu oleh desir pelan angin dari AC yang menyala non stop sejak pagi.
Di sela-sela pekerjaannya, Nuansa akan menyempatkan berhenti sejenak. Bukan menenggak air, bukan juga melemaskan otot-otot yang kaku, melainkan membelai lembut helaian bulu halus sang anak bulu.
"Namamu siapa ya enaknya? Dudung? Ali?" celotehnya, berujung tertawa sendiri, menertawakan ide nama yang tak biasa untuk diberikan kepada anabul lucu.
"Milo!"
Seruan tak diundang, datang menginterupsi ketenangan. Nuansa memutar bola mata malas, menyambut Amy melenggang centil ke dalam kamarnya, membawa sekotak anggur hijau sebesar biji mata manusia.
"Kita kasih dia nama Milo aja," kata Amy lagi. Kini pria gemulai itu sudah duduk di samping Nuansa, punggungnya bersandar di headboard, matanya jelalatan mencuri kesempatan mengintip ke layar laptop Nuansa yang masih menyala. "Eh, itu yey lagi nyari apose?" tanyanya kepo.
Tubuhnya maju cepat, makin berani membaca tulisan-tulisan yang ada di layar sejak Nuansa tidak menunjukkan gestur melarang. "Yey nyari jasa detektif swasta buat apaan?"
Dia menoleh, tatapan Nuansa tampak datar. "Ada yang buntutin gue beberapa hari terakhir ini. Gue mau sewa jasa mereka, yang terpercaya, buat cari tahu siapa sebenarnya yang buntutin gue."
Amy kembali menatap layar. Dalam waktu beberapa detik saja, bohlam di kepalanya menyala terang, pertanda munculnya segudang ide brilian. Senyumnya pun terkembang, matanya berkilau bagai habis ditimpa berkilo-kilo serpihan berlian.
"Yey tunggu di sini sebentar!" serunya heboh, main lompat turun dari kasur, meninggalkan kotak anggur di samping Nuansa. Dia berlari keluar kamar, terburu-buru, sampai hampir menabrak pintu.
Hal itu membuat Nuansa hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Bertahun-tahun sudah hidup dengan Amy si anomali, ternyata tidak serta-merta membuatnya terbiasa.
"Kamu jangan meniru gelagat aneh om-om gemulai itu ya, Milo."