NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Puncak yang Tergesa

...Chapter 35...

Arc itu seharusnya terjadi dua episode setelah ini.

Bukan sekarang, bukan di tengah situasi yang masih menyisakan bau logam dan suara hujan yang tak sempat jatuh.

Namun kenyataan jarang memberi ruang pada “seharusnya”.

Di tangan dunia yang dikendalikan para Administrator, garis waktu bisa diremuk dan dijahit ulang bagai kain kusam yang masih ingin tampak baru.

Di sinilah Theo berdiri, di antara naskah yang berubah dan skenario yang menolak patuh.

Ia tahu bahwa apa yang sedang terjadi bukan lagi bagian dari rencana awal.

Pertikaian yang mestinya menjadi puncak arc kesatu episode tujuh kini muncul prematur, membentuk luka aneh di struktur cerita.

Tapi entah mengapa, luka itu terasa hidup—seolah dunia sedang menulis dirinya sendiri tanpa izin dari siapa pun.

Benih konflik antara Erietta dan Aldraya telah tumbuh dengan cepat, mengerupai tanaman beracun yang disiram oleh keputusasaan dan keangkuhan.

Mereka bukan lagi dua tokoh yang memainkan peran, melainkan dua jiwa nan menolak dikekang oleh garis naskah.

Theo menyaksikan itu dari jauh, menatap bagaimana setiap emosi mereka membentuk badai baru dalam udara yang bergetar.

Sementara itu, di sisi lain, Cru melangkah dengan langkah penuh keyakinan, menjadi tangan yang mewujudkan kehendak sistem.

Ia tidak menyerang karena kebencian, melainkan karena kewajiban untuk meluruskan yang menyimpang, mengembalikan dunia ke orbitnya.

Dan di tengah benturan kehendak yang lebih besar dari dirinya, Theo hanya bisa menatap sambil merasakan dingin menjalar di balik luka nan belum sepenuhnya sembuh.

Ketika Cru akhirnya menahan langkahnya, dunia seakan membeku dalam kebisuan yang menyesakkan.

Theo berdiri di antara api yang hampir padam dan hujan yang enggan turun, di antara tawa pahit dan nafas begitu berat.

Ia tahu bahwa semua ini terjadi karena pilihan manusia yang berusaha menantang takdir, namun juga karena tangan dewa nan iseng memutar jarum waktu.

Dalam kekacauan itu, Theo bertanya pada dirinya sendiri.

‘Di manakah batas antara takdir yang tertulis dan improvisasi seorang tokoh yang sadar bahwa dirinya sedang dimainkan?’

Dan saat pertanyaan itu menggema di dadanya, Theo hanya tersenyum kecil.

Senyum yang retak, tapi tulus dalam kepasrahan.

Mungkin memang begini caranya tertawa di tengah luka.

'Sudah sepuluh menit, cukup baik.

Lengan kiriku perlahan bisa digerakkan kembali, walau masih terasa kaku bagai besi dingin.

Namun setidaknya rasa nyerinya sudah hilang.

Tentu tidak mungkin aku terus-terusan berbaring di bawah pohon.

Lebih baik kusaksikan sendiri cara Ilux menangani kedua orang itu.’

Huuuuuf!

‘Kuharap dia tidak terluka parah.

Sebab ketika Aldraya dan Erietta sedang marah, mereka telah menghancurkan segala sesuatu yang melintas.

Bahkan sebelumnya aku hampir terkena sabetan pedang mereka berdua.'

Wuuussh!

'Baik, mari kita pantau seberapa jauh kekacauan ini berlangsung, sebelum ada Administrator lain yang ikut campur tangan.’

Sekitar sepuluh menit Theo membiarkan dirinya terbaring di antara bayang-bayang pepohonan yang bernafas pelan.

Tanah lembap di bawah punggungnya terasa bak pelukan dunia nan sudah terlalu lelah menyaksikan kekacauan, namun masih berusaha menenangkan makhluk kecil yang memohon istirahat di permukaan.

Napasnya turun naik dengan ritme teratur, sementara embusan angin menggoyang ranting dan menggesek ujung daun—menciptakan suara nan nyaris menyerupai bisikan doa.

Luka di bahu dan lengan kirinya memang belum hilang sepenuhnya, tapi regenerasi yang menggila di dalam tubuhnya telah bekerja dengan sabar, seperti waktu yang perlahan menghapus bekas air mata di wajah bumi.

Rasa nyeri berubah menjadi kesemutan, lalu menjadi kelonggaran aneh nan membuatnya kembali mampu menggerakkan jari-jarinya.

Ia duduk perlahan, menatap telapak tangannya yang kini kembali utuh.

Meski masih kaku, masih dingin.

Di ujung pandangan, dunia tampak bergetar tipis, seperti ilusi hologram nan mencoba menyesuaikan diri dengan realitas yang telah disobek oleh tangan-tangan para Administrator.

Theo menarik napas panjang, membiarkan udara yang mengandung aroma besi dan asap mengalir ke dalam paru-paru.

Ia tahu, di suatu tempat tak jauh dari sini, Ilux sedang berjuang untuk menenangkan dua perempuan yang, tanpa sadar, telah menjadi sumbu api bagi seluruh narasi.

Dan di antara jeda yang hening ini, Theo menyadari sesuatu begitu ganjil—bahwa kehadirannya di dalam skenario yang berantakan ini bukan lagi sekadar kesalahan teknis, melainkan bagian dari kehendak lebih besar, sesuatu yang bahkan mungkin melampaui kehendak para Administrator itu sendiri.

Dengan langkah yang perlahan, Theo mulai berjalan.

Setiap langkahnya menimbulkan suara kecil—daun retak, ranting patah, tanah nan tertekan oleh beban tubuh sekaligus beban pikirannya.

Hujan tipis mulai turun, menimpa rambut dan bahunya, memantulkan cahaya samar dari langit yang belum sepenuhnya gelap.

Cahaya itu berpendar di kulit logam yang mulai tumbuh di bawah lapisan dagingnya, menandakan bahwa proses penyembuhan masih terus berlangsung.

Ia tidak bergegas.

Ia tahu tidak ada gunanya terburu-buru di dunia yang bahkan waktu pun tak lagi patuh pada garisnya sendiri.

Dan pada akhirnya, dalam diam yang menyelimuti seluruh medan yang baru saja ditinggalkan peperangan, Theo sampai di tempat yang dituju.

Tidak terlalu jauh dari pusat konflik, tapi cukup aman untuk sekadar mengamati tanpa ikut terseret di dalamnya.

'Tampaknya usaha ini berhasil.

Ilux sungguh paham cara meredakan amarah kedua monster itu.'

Tsuuuuf!

'Dari kejauhan terlihat jelas—Erietta dan Aldraya mulai menurunkan senjata masing-masing.

Mereka bahkan menyembunyikan senjata itu seakan tidak ingin ada pemicu yang bisa membangkitkan kemarahan kembali.

Akan tetapi, ini bukan pertanda perdamaian. Sorot mata mereka—masih saling menikam, bagaikan gencatan senjata ini hanyalah formalitas semata.'

Uuuuuuhh!

'Setidaknya gencatan senjata untuk sementara waktu lebih baik daripada pertempuran yang terus berkobar.

Memang mereka berdua keras kepala, namun cukup bijak untuk menyadari adanya ancaman nan jauh lebih besar daripada sekadar ego pribadi.’

Di antara lebat hutan yang diselimuti kabut tipis, Theo Vkytor tampak bak siluet yang bersembunyi dari mata dunia.

Ia mematung di antara dua batang pohon yang kulitnya kasar dan tua, sementara jemarinya masih menggenggam buku catatan lusuh—benda terakhir nan menolak musnah ketika realitasnya ditelan hingga sembilan puluh sembilan persen oleh dunia permainan Flo Viva Mythology.

Di sisi lain, keheningan nan menyesaki udara bukanlah ketenangan, melainkan sisa-sisa ledakan emosi yang baru saja mereda.

Semburat cahaya dari langit nan berwarna kelam menimpa wajah, menegaskan keletihan dalam matanya yang menatap ke arah dataran seberang, tempat dua sosok mulai menurunkan senjata mereka.

Erietta dan Aldraya berdiri di tengah medan bekas pertempuran, napas keduanya masih beradu dengan sisa debu yang belum sempat mengendap.

Gerakan mereka lambat, namun pasti.

Senjata yang tadi memantulkan kilau pertempuran kini menghilang dari pandangan, diserap oleh kehendak dunia yang lebih besar dari diri mereka sendiri.

Ketegangan itu menipis, berganti dengan kesepahaman yang dingin—sebuah jeda di antara dua kutub yang tidak lagi ingin saling melukai, tapi juga belum siap berdamai.

Dalam bayangan pepohonan, Theo menyaksikan semuanya, tak berani bergerak lebih dekat, seakan tahu bahwa setiap langkahnya berpotensi mengubah takdir yang telah tertulis.

Ia kemudian menegakkan tubuh, bersandar pada batang pohon begitu tebal, menatap langit nan menggantung di atas mereka bagai jubah gelap yang menjebak segala cahaya.

Buku di tangannya terangkat perlahan setinggi dada, seolah Theo sedang menimbang sesuatu yang lebih dari sekadar catatan.

Di sana, tersimpan banyak hal—rencana, kenangan, bahkan potongan skenario yang dahulu hanya menjadi bagian dari permainan, kini menjelma kenyataan yang mengikat hidupnya.

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!