Pada malam pernikahannya, Hwa-young seharusnya meminum racun yang memulai kehancurannya. Namun, takdir memberinya kesempatan kedua. Ia kembali ke malam yang sama, dengan ingatan penuh akan pengkhianatan dan eksekusinya. Kini, setiap senyum adalah siasat dan setiap kata adalah senjata. Ia tidak akan lagi menjadi pion yang pasrah. Menghadapi ibu mertua yang kejam dan suami yang penuh curiga, Hwa-young harus mengobarkan perang dari balik bayang-bayang untuk merebut kembali takdirnya dan menghancurkan mereka yang telah menghancurkannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Salsabilla Kim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pembukaan Pasar Bayangan
Napas Jenderal Kim terdengar berat di ruangan yang sunyi itu. "Perintahnya sudah dikirim, Yang Mulia. Serangan balik reputasi. Matriarch Kang menuduh Putri Mahkota mendanai Chungmae dengan kekayaan ilegal dan korupsi tanah."
Rasa takut yang tidak disembunyikan terpancar dari mata jenderal tua itu. "Dia akan menggunakan persidangan palsu itu untuk panggungnya. Ini upaya putus asa untuk mengalihkan perhatian dari kekalahan Garamnya, langsung ke jantung kredibilitas Anda."
Hwa-young merasakan hawa dingin yang familier menjalari tulang punggungnya. Dingin yang sama seperti saat ia dijebak di kehidupan sebelumnya. Taktik Kang memang licik. Jika Chungmae, simbol perlawanan rakyat, diasosiasikan dengan korupsi, seluruh fondasi moral yang mereka bangun akan runtuh. Kredibilitas politik yang ia raih dengan susah payah bersama Yi Seon kini benar-benar di ujung tanduk.
Namun, di balik rasa dingin itu, ada api yang menyala. Dia tidak akan jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali.
"Tentu saja," kata Hwa-young, terdengar begitu tenang hingga terasa ganjil, kontras dengan badai di dalam dirinya. "Inilah yang kita inginkan. Dia menelan umpan Sutra Chungmae. Dia tahu tidak bisa menang di pasar, jadi dia menyerang kita secara pribadi. Persidangan ini bukan akhir dari Chungmae, Yi Seon. Ini adalah panggung utama kita."
Yi Seon, yang sedari tadi mondar-mandir seperti singa dalam kurungan, berhenti. Alisnya terangkat tak percaya. "Panggung utama? Kau ingin menghadapi tuduhan korupsi di hadapan seluruh Kekaisaran? Dari musuh kita yang paling licik? Hwa-young, itu bunuh diri!"
"Justru sebaliknya," Hwa-young menatap suaminya, tatapannya tajam, memaksanya untuk tenang dan mendengarkan. Dia harus mengendalikan situasi ini. "Serangan Sutra kita berhasil melumpuhkannya. Para Nyonya bangsawan kini memihak kita karena kualitas, dan rakyat jelata melihat ada alternatif dari monopolinya yang mencekik."
Jenderal Kim mengangguk, sedikit lebih tenang. "Putri Mahkota benar, Yang Mulia. Laporan dari Distrik Timur menyebutkan Sutra Kekaisaran tidak laku sama sekali. Sutra Chungmae membanjiri pasar dengan harga 10% lebih murah dan kualitas tiga kali lipat. Itu kerugian yang sangat besar bagi Kang."
"Kerugian itu baru permulaan," sela Hwa-young. "Yang lebih penting, sentimen rakyat. Mereka memuji kebijakan Pangeran Mahkota yang melonggarkan pajak, itu idemu, Yang Mulia, dan sekarang mereka memuji sutra murah berkualitas. Matriarch Kang tidak tahan melihat dirinya menjadi musuh rakyat."
"Jadi dia membalas dengan narasi," desis Yi Seon, tangannya terkepal. "Dia ingin mencuci tangannya dengan melumurkan kotorannya padamu. Bagaimana kita melawannya? Dia mengendalikan seluruh birokrasi persidangan!"
"Kita tidak melawannya dengan kepalsuan," kata Hwa-young, jemarinya menelusuri sampul buku tua tentang administrasi negara di atas meja. "Yi Seon, kau harus secara terbuka mendukung persidangan itu."
"Mendukung?!"
"Ya." Hwa-young menatapnya lekat. "Klaim bahwa kau, sebagai Putra Mahkota, tidak akan menoleransi korupsi sekecil apa pun, bahkan di dalam rumah tanggamu sendiri. Katakan bahwa persidangan ini adalah kehormatan, sebuah kesempatan untuk membersihkan nama. Itu akan merampas elemen 'serangan kejutan' darinya."
"Dia ingin menghancurkanku, dan aku harus berterima kasih padanya?" Yi Seon bergumam, frustrasi.
"Dia ingin kita takut. Jangan berikan kepuasan itu padanya," Hwa-young meyakinkan, sebelum beralih ke Jenderal Kim. "Jenderal, Tuan Park harus segera dipindahkan. Dia saksi kunci kita untuk Gudang Garam."
"Sudah diamankan, Yang Mulia," lapor Jenderal Kim. "Dia disembunyikan oleh para kasim loyalis Anda di Sayap Barat. Matriarch Kang tidak pernah mengunjungi area itu, terlalu hina baginya."
"Sempurna." Hwa-young mengangguk. Sekarang, untuk pertarungan berikutnya. "Yi Seon, fokus kita malam ini bukan persidangan. Itu hanya pengalih perhatian. Pertarungan sebenarnya akan terjadi di pasar. Matriarch Kang akan melancarkan serangan balasan."
"Dengan sutra busuknya itu?" Yi Seon mendengus.
"Dia tidak pernah gagal karena produk yang buruk," balas Hwa-young, serius. "Dia gagal karena keserakahannya. Sekarang, untuk menghancurkan kita, dia akan membuang keserakahannya. Dia akan menjual Sutra Ungu itu dengan kerugian total. Mungkin ... 50% di bawah harga kita."
Keheningan menyelimuti ruangan. Yi Seon menatapnya, ngeri. "Dia akan bangkrut!"
"Orang bangkrut karena utang. Matriarch Kang tidak punya utang, dia mengendalikan kas Kekaisaran," jelas Hwa-young. "Dia punya cukup dana darurat untuk menanggung kerugian selama berbulan-bulan hanya untuk mematikan kita. Kita tidak akan bertahan bahkan seminggu."
"Lalu ... kita biarkan Chungmae tenggelam?" tanya Yi Seon.
"Tidak," jawab Hwa-young tegas, api di matanya kembali berkobar. "Jika Chungmae tenggelam, para pedagang kecil yang menaruh kepercayaan pada kita akan hancur. Kredibilitas kita akan musnah. Kita harus bersiap. Perang harga itu akan dimulai dalam 24 jam."
Pikirannya berpacu, mengurai benang kusut strategi Kang. Tiba-tiba, sebuah ingatan melintas. Buku Besar Keuangan yang mereka selamatkan.
"Yi Seon, Buku Besar itu!" serunya. "Cepat bawa kemari! Kita harus menemukan kelemahannya sekarang juga."
Mereka membentangkan gulungan kertas yang rapuh itu di atas meja. Angka-angka berbaris rapi, menyembunyikan jaringan korupsi yang masif.
"Cadangan likuidnya terlalu besar," kata Yi Seon sambil menunjuk sebuah kolom. "Dana Pengembangan Darurat Istana. Itu semua uangnya."
Hwa-young tidak peduli dengan angka besar. Matanya mencari anomali, sesuatu yang tidak pada tempatnya. Dan ia menemukannya. Di bagian utang.
"Lihat ini," desahnya, jarinya menunjuk sebuah entri. "Utang kepada Faksi Selatan, 50 keping emas. Pembayaran mingguan, 5 gulungan Sutra Ungu dan 3 karung Bijih Besi."
"Dia membayar sekutunya dengan komoditas, bukan uang," gumam Yi Seon, mulai mengerti.
"Tepat!" Hwa-young merasa sebuah kepingan puzzle jatuh pada tempatnya. "Dia menipu sekutunya sendiri. Dia mengikat mereka dengan komoditas yang nilainya ia kendalikan. Sutra Ungu yang kusam itu bukan hanya produk dagang, itu adalah alat politik. Itu adalah janji palsu Kang kepada para jenderal dan faksi yang mendukungnya!"
Yi Seon menyeringai, akhirnya melihat celah dalam baju zirah Kang. "Jadi serangan Sutra Chungmae kita ... bukan hanya menyerang pasarnya, tapi juga menghancurkan alat pembayarannya kepada aliansinya!"
"Bencana ganda untuknya," Hwa-young mengangguk. "Itulah mengapa serangan balasannya akan begitu brutal. Dia harus membuktikan kepada sekutunya bahwa sutranya masih yang terkuat. Dia akan membakar uangnya untuk memenangkan perang ini."
Hwa-young segera menulis pesan sandi baru untuk Sora, menyelipkannya di lapisan sapu tangan sutra. Jenderal Kim berangkat, menyamar sebagai utusan istana. Waktu mereka hampir habis.
*
Aroma pegunungan yang lembap menyambut Jenderal Kim. Sora membaca pesan itu di bawah cahaya lentera di gudang baru mereka. Wajahnya mengeras saat memahami gawatnya situasi. Perang harga 50%. Itu adalah hukuman mati.
"Matriarch Kang akan menjual sutranya setengah harga dari kita," kata Sora dalam rapat darurat dengan anggota inti Chungmae, termasuk Kapten Yoon. tenang, memantulkan keteguhan yang ia pelajari dari Hwa-young.
Aula menjadi riuh. "Kita harus lari!" teriak seorang pedagang.
"Tidak," balas Sora, matanya berkilat. "Kita akan melakukan apa yang tidak pernah ia duga. Mulai besok, kita jual Sutra Chungmae 10% lebih mahal."
Semua orang terdiam, menatapnya seolah ia sudah gila.
"Masyarakat tidak hanya butuh harga murah," lanjut Sora, bergema di keheningan. "Mereka butuh nilai. Mereka butuh kepercayaan. Nyonya Hwa memberi kita instruksi, sutra kita lebih mahal karena etosnya lebih tinggi. Keuntungan 10% itu tidak akan masuk ke kantong kita."
Sora menunjuk peta di dinding. "Dana itu akan kita gunakan untuk mendirikan Program Pinjaman Mikro. Untuk para janda dan pedagang kecil yang dihancurkan oleh monopoli Kang. Kita akan buktikan bahwa Chungmae bukan sekadar pedagang. Kita adalah gerakan keadilan yang dipimpin oleh Pangeran Mahkota."
Strategi itu begitu berani, begitu jenius, hingga membuat semua orang terpana. Sutra yang lebih mahal menjadi simbol martabat, sebuah penolakan terhadap harga murah Kang yang predatoris.
"Tapi persidangan di istana..." seorang anggota mengingatkan dengan cemas. "Jika Putri Mahkota dihukum, etos kita akan hancur."
"Justru karena itu," balas Sora, "kita harus memastikan persidangan itu menjadi panggung kemenangannya."
*
Siang hari, Aula Persidangan terasa menyesakkan. Hwa-young berdiri tegak, merasakan ratusan pasang mata menusuknya. Di sampingnya, Yi Seon duduk dengan wajah sekeras batu. Di seberang mereka, Matriarch Kang tersenyum penuh kemenangan.
"Putri Mahkota Hwa-young dituduh memeras pedagang garam demi monopoli pribadinya!" seru Kang, menggema.
Seorang pedagang bernama Tuan Choi maju, bersaksi dengan gemetar. "Putri Mahkota memaksa saya membatalkan kontrak garam! Dia mengancam akan memotong pasokan air keluarga saya!"
Bisik-bisik ketakutan menyebar di antara penonton. Garam adalah kehidupan. Hwa-young dituduh bermain-main dengan kehidupan rakyat.
Saat itulah Hwa-young melangkah maju, hatinya berdebar kencang, tetapi mantap. "Tuan Choi berbohong karena diancam. Tapi ada satu kebenaran dalam ceritanya, para pedagang kecil seperti dia memang menderita. Mereka tercekik utang akibat monopoli Matriarch Kang!"
"Itu tidak relevan!" teriak Kang.
"Itu adalah inti dari keadilan!" balas Hwa-young, menggelegar. Ia menoleh ke Yi Seon, lalu ke seluruh hadirin. "Untuk membuktikan niat tulus kami, saya, di hadapan seluruh Kekaisaran, mengumumkan pendirian Dana Kesejahteraan Chungmae! Seluruh keuntungan dari Sutra Chungmae akan digunakan untuk Program Pinjaman Mikro, untuk membebaskan semua pedagang yang dirugikan oleh Matriarch Kang, termasuk Tuan Choi, dari utang mereka!"
Aula gempar. Ini bukan pembelaan, ini serangan balik filantropi. Matriarch Kang membeku, wajahnya pucat pasi. Dia tidak bisa menentang program ini tanpa terlihat seperti monster.
Yi Seon berdiri. "Saya, Putra Mahkota, mendukung penuh pendirian dana ini! Ini adalah bukti bahwa rumah tangga kami bersih dan kami peduli pada rakyat!"
Wajah Matriarch Kang memerah karena amarah. Dia telah dipermalukan. "Ini belum selesai!" desisnya. "Aku punya bukti lain! Aku tahu siapa mata-matamu, Hwa-young. Jenderal Kim!"
Semua mata beralih ke Jenderal Kim, yang melangkah maju dengan tenang. "Saya hanya melayani Putra Mahkota."
"Kebohongan!" raung Kang, kehilangan kendali. "Aku akan membuktikannya! Putri Mahkota menyembunyikan garam curian di Gudang Utara! Tangkap dia! Kita geledah gudang itu sekarang!"
Tanpa menunggu perintah, Kang berlari keluar, diikuti pengawalnya. Kepanikan melanda Yi Seon dan Hwa-young. Gudang Utara adalah umpan, tapi dana operasional Chungmae ada di sana!
"Yi Seon, dia akan menghancurkan semuanya!" seru Hwa-young.
Mereka berlari mengejarnya, melintasi halaman istana. Di kejauhan, mereka melihat Kang dan pasukannya mendekati Gudang Utara.
"Dobrak pintunya!" perintah Kang.
Pintu kayu yang kokoh itu hancur berkeping-keping. Kang melangkah masuk dengan angkuh, siap menemukan tumpukan garam ilegal.
Namun, ia terpaku. Gudang itu kosong. Benar-benar kosong.
"Di mana...?"
Tiba-tiba, dari balik tumpukan jerami di sudut, Sora bangkit berdiri, tatapannya sedingin es.
"Anda terlambat, Matriarch Kang," kata Sora. "Dana Chungmae sudah disalurkan kepada rakyat."
Raungan marah keluar dari tenggorokan Kang. Dia menerjang ke arah Sora, tetapi Kapten Yoon dan pasukannya muncul dari terowongan rahasia, mengepungnya.
Dia kalah. Terpojok.
Mata Kang yang liar beralih ke Hwa-young dan Yi Seon yang baru saja tiba di ambang pintu. "Kau merancang ini!"
"Kami hanya membangun sesuatu yang lebih baik," balas Hwa-young.
Tawa gila dan serak keluar dari bibir Kang. "Jika aku tidak bisa memilikinya, maka tak seorang pun boleh!"
Dengan gerakan cepat, dia merebut obor dari salah satu pengawalnya dan melemparkannya ke tumpukan jerami kering. Api langsung menyambar, menjalar dengan kecepatan mengerikan.
"Aku akan membakar Chungmae beserta kalian semua di dalamnya!" teriaknya sambil mundur ke pintu keluar. Asap hitam tebal mulai memenuhi ruangan.
"Selamat tinggal, Putri Mahkota!" seru Kang sebelum menghilang, meninggalkan mereka terperangkap dalam neraka.
"Kita harus keluar!" teriak Yi Seon, terbatuk.
"Tidak ada waktu!" balas Hwa-young, matanya menyapu sekeliling. "Sora, Kapten Yoon, bawa sisanya dan pergi lewat terowongan! Itu perintah!"
Sora ragu sejenak, lalu mengangguk dan menghilang ke dalam terowongan bersama pasukannya.
Kini hanya Hwa-young dan Yi Seon yang tersisa. Atap gudang mulai berderak, siap runtuh.
"Kita akan mati di sini," desah Yi Seon, menarik Hwa-young ke sudut yang apinya belum terlalu besar.
"Tidak," balas Hwa-young, napasnya tersengal karena asap. Di antara kepulan asap dan panas yang membakar, sebuah ingatan dari Ibunda Ratu melintas di benaknya, bisikan tentang jalan rahasia di gudang tua ini. Tangannya meraba-raba dinding batu yang kasar, putus asa.
Jarinya menyentuh sebuah tonjolan longgar. Sebuah batu. Dengan sisa tenaganya, ia mendorongnya. Batu itu bergeser, memperlihatkan sebuah celah sempit yang gelap.
"Yi Seon! Lewat sini!"
Mereka merangkak masuk tepat saat atap gudang runtuh di belakang mereka dengan suara gemuruh yang memekakkan telinga. Terowongan itu sempit dan lembap, tapi itu adalah jalan menuju kehidupan.
Mereka terengah-engah saat menemukan jalan keluar, sebuah lubang pembuangan yang mengarah ke alun-alun kota. Hwa-young mendorong penutupnya dan merangkak keluar, diikuti oleh Yi Seon. Wajah mereka hitam oleh jelaga, pakaian mereka compang-camping.
Di hadapan mereka, kerumunan besar rakyat telah berkumpul, menatap ngeri ke arah gudang yang dilalap api. Dan di tengah-tengah mereka, di atas sebuah panggung darurat, berdiri Matriarch Kang.
Melihat Hwa-young muncul dari tanah seperti hantu, Kang tersenyum sinis. Ini bahkan lebih baik dari yang ia rencanakan.
"Rakyat Ibukota!" menggelegar, diperkuat oleh trompet kuno. "Lihat! Putri Mahkota Hwa-young! Dia membakar gudangnya sendiri untuk menyembunyikan kejahatannya! Dia telah bersekutu dengan jaringan pedagang kotor Chungmae untuk menimbun garam dan menghancurkan Kekaisaran!"
Kang menunjuk lurus ke arah Hwa-young, yang berdiri gemetar, bukan karena takut, tapi karena amarah.
"Tapi kebohongannya tidak berhenti di situ!" lanjut Kang, matanya berkilat penuh kemenangan. "Saya telah menemukan kebenaran yang jauh lebih gelap. Kebenaran tentang asal-usulnya, tentang darah yang mengalir di nadinya. Wanita yang kalian sebut Putri Mahkota ini ... dia bahkan bukan..."
Matriarch Kang berhenti sejenak, membiarkan ketegangan menggantung di udara, sebelum melontarkan tuduhan terakhirnya yang paling beracun. "Dia bahkan bukan putri sah dari mendiang Jenderal Yoon!”