NovelToon NovelToon
Dia Dan 14 Tahun Lalu

Dia Dan 14 Tahun Lalu

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta pada Pandangan Pertama / Enemy to Lovers / Cintapertama / Romantis / Romansa / TimeTravel
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: Spam Pink

ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

episode 31

Ponsel itu terasa begitu dingin di telapak tangan Clara saat ia mengangkat panggilan itu. Tenggorokannya kering, jantungnya berdetak terlalu keras hingga ia yakin orang di sekelilingnya bisa mendengarnya.

“C-Clara.”

Suara di seberang terdengar rendah—sedikit berat, namun jelas. Suara yang pernah membuat Clara merasa tidak nyaman, suara yang dulu selalu mengusik ketenangannya setiap kali Reymon tidak ada.

“Ares…” Clara berbisik.

Hening menggantung di antara mereka selama beberapa detik sebelum Ares bicara lagi.

“Aku harap kamu lihat beritanya.”

Clara menggigit bibir. “Apa kamu… ada hubungannya sama ini?”

Ares menghela napas—panjang, dalam, seperti sedang menahan sesuatu. “Clara, kamu tahu aku nggak suka bikin masalah yang nggak perlu.”

“Oh, ya?” Clara mengepal tangannya. “Karena selama ini kamu justru selalu bikin masalah.”

Ares terdiam sejenak, lalu tertawa kecil. Bukan tawa bahagia—lebih seperti tawa seseorang yang tahu ia sedang memegang kendali.

“Aku cuma mau kamu hati-hati.”

“Hati-hati?” Clara meninggi. “Atau kamu mau aku berhenti nulis karena kamu takut Reymon jadi bahagia?”

Ares kembali terdiam.

Dan justru keheningan itu membuat Clara ketakutan.

Setelah beberapa detik, suara Ares terdengar lebih rendah daripada sebelumnya.

“Clara… kalau kamu pikir aku yang kirim pesan itu, kamu salah.”

Clara menahan napas.

“Jadi bukan kamu?”

“Bukan.” Jawabnya tegas. “Tapi aku tahu siapa yang mungkin melakukannya.”

Tubuh Clara langsung menegang. “S-siapa?”

Ares menghembuskan napas, terdengar frustrasi.

“Itu bukan hal yang bisa aku omongin lewat telepon. Kita ketemu.”

Clara langsung menggeleng. “Tidak.”

“Clara—”

“Tidak, Ares!” Clara hampir berteriak. “Aku nggak mau ketemu kamu lagi!”

Napas Ares terdengar berubah—lebih gelap, lebih dalam.

“Kamu pikir kamu bisa hadapi ini sendiri?”

Clara menelan ludah.

“Aku nggak sendirian.”

Ares mengeluarkan tawa pendek yang terdengar sinis. “Oh. Reymon? Dia bahkan nggak bisa buka ponsel seenaknya sekarang. Kamu harusnya tahu peraturan di tempat dia berada.”

Clara memejamkan mata.

Dan sakit itu langsung menyeruak. Entah kenapa ucapan Ares terasa seperti penjepit dingin yang menekan bagian paling rapuh dalam dirinya.

“Kamu nggak usah bawa-bawa Rey,” Clara berusaha menjaga suaranya tetap stabil.

“Clara…” suara itu agak lembut, namun Clara tahu, Ares tidak pernah benar-benar lembut. “Kalau kamu mau dia aman, kamu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kamu harus dengar dari aku.”

“Kenapa aku harus percaya kamu?”

“Karena orang lain yang terlibat di ini jauh lebih berbahaya daripada aku.”

Clara membeku.

“Besok jam enam sore. Di kafe depan kampus. Kalau kamu nggak datang, itu pilihan kamu.”

“Aku nggak—”

“Terserah.” Ares memotong. “Tapi kamu akan nyesel kalau kamu pikir ini cuma soal berita.”

Klik.

Telepon terputus.

Clara terdiam.

Dunia sekitarnya berputar perlahan, seperti tanah di bawahnya tiba-tiba tidak stabil. Tangan Clara gemetar hebat, hingga ponsel nyaris terjatuh lagi.

Suara Ares kembali bergaung di kepalanya.

“…orang lain yang terlibat di ini jauh lebih berbahaya…”

“…kamu pikir ini cuma soal berita…”

Clara memeluk dirinya sendiri. Angin taman berhembus pelan, membuat dedaunan bergetar seperti merespons kecemasannya.

Air mata yang ia tahan sejak pagi akhirnya turun, deras dan panas.

“Rey…” ia memanggil nama itu pelan, nyaris tanpa suara. “Apa aku udah bikin semuanya tambah kacau buat kamu…?”

Namun ia tidak sempat larut terlalu lama.

Tiba-tiba, di belakangnya terdengar suara langkah kaki seseorang.

Clara menengok cepat.

Seorang mahasiswi berdiri tidak jauh, menatapnya penuh rasa ingin tahu—atau mungkin rasa iba.

“Kamu… kamu nggak apa-apa, Clara?” tanyanya hati-hati.

Clara menghapus air matanya cepat-cepat dan berdiri. “A-aku nggak apa-apa, kok.”

Namun jelas dari wajahnya bahwa ia tidak baik-baik saja.

Mahasiswi itu tampak ragu, lalu berkata, “Kalau kamu butuh teman ngobrol atau butuh ditemenin… bilang aja, ya. Aku cuma… aku baca beritanya dan… aku bisa bayangin itu berat banget.”

Clara tersenyum kecil, walau wajahnya masih basah.

“Terima kasih. Tapi aku harus pergi.”

Ia berbalik dan meninggalkan taman itu.

Namun langkahnya terasa makin berat setiap detik.

Karena kini ada sesuatu yang jauh lebih besar dari rumor atau berita.

Seseorang sedang mengincarnya.

Seseorang yang tahu tentang Rey.

Seseorang yang tahu tentang buku itu.

Seseorang yang cukup dekat… atau cukup membenci… hingga berani mengancam.

Dan Ares bilang ia tahu siapa.

Tapi apakah Clara mau mempercayai Ares?

Setelah matahari mulai tenggelam, Clara berada di kamar apartemennya. Ia duduk di lantai sambil memeluk bantal, lampu kamar hanya setengah dinyalakan.

Ia sudah membaca semua berita tentang dirinya berkali-kali. Komentar warganet semakin liar.

“Kalau benar pacarnya anggota militer, bahaya banget sih…”

“Kok tega nulis begitu? Gila.”

“Pasti demi popularitas!”

“Kasihan cowoknya, bisa kena sanksi.”

Clara memejamkan mata.

“Aku nggak pernah maksud begitu…”

Buku itu lahir dari rindu. Dari kesepian. Dari cinta yang tidak bisa ia sampaikan ke siapa pun.

Dan tiba-tiba seluruh negara sedang membicarakannya.

Clara menghapus air matanya dan berdiri. Ia pergi ke jendela dan menatap lampu-lampu kota.

“Rey… kamu dimana sekarang…”

Ia tahu ia tidak bisa menelepon Rey. Tidak bisa mengirim pesan sesuka hati. Tidak bisa mengabari apa pun.

Aturan pendidikan Rey terlalu ketat.

“Mungkin dia belum tahu… mungkin dia baru tahu kalau pulang pekan depan…”

Dan ketika itu terjadi…

Apa Rey akan menyalahkannya?

Apa Rey akan berpikir Clara ceroboh?

Apa Rey akan marah?

Clara menggeleng keras.

Tidak. Rey tidak seperti itu. Rey mencintainya. Rey selalu bilang ia percaya sepenuhnya pada Clara.

Tapi ini bukan masalah hubungan mereka.

Ini masalah institusi Rey.

Dan itu jauh lebih besar.

Tiba-tiba ponselnya berbunyi.

Bukan pesan.

Bukan panggilan.

Tapi email masuk.

Dari seorang pengirim anonim.

Subjek: Kamu Menulis Terlalu Jujur

Tangan Clara langsung dingin.

Ia membuka email itu.

Dan isinya hanya satu kalimat:

“Kita belum selesai.”

Tidak ada nama.

Tidak ada tanda pengenal.

Tidak ada informasi lain.

Clara membekap mulutnya.

Ini… ini bukan Ares.

Ini seseorang lain.

Dan orang itu tahu terlalu banyak.

Tahu tentang Rey.

Tahu tentang buku itu.

Tahu tentang Clara.

Siapa dia?

Kenapa ia mengincar Clara?

Dan apa maksud kalimat “Kita belum selesai”?

Keesokan sore, jam menunjukkan pukul 17.47 ketika Clara duduk di sudut kafe dekat kampus. Ia mengenakan hoodie dan topi, berharap wajahnya tidak terlalu terlihat.

Ia tidak ingin datang.

Tapi kata-kata Ares terus menghantuinya sepanjang malam.

“…orang lain yang terlibat lebih berbahaya…”

“…kamu akan nyesel kalau pikir ini cuma soal berita…”

Clara menatap gelas cokelat panas yang belum disentuh. Tangannya dingin sejak ia masuk ke kafe.

Jam 18.00.

Tidak ada siapa pun.

18.05.

Masih tidak ada.

18.11.

Clara mulai gelisah. “Apa dia bohong? Apa dia cuma mau main-main—”

Suara kursi digeser membuatnya menoleh spontan.

Ares berdiri di samping mejanya.

Masih memakai jaket hitam, rambut sedikit lebih panjang dari terakhir kali Clara melihatnya. Tatapannya dingin—tajam seperti biasanya.

Clara langsung menegang.

Ares duduk tanpa menunggu izin.

“Kamu datang,” katanya.

Clara menatapnya tajam. “Aku bukan datang buat kamu. Aku datang karena kamu bilang ini penting.”

Ares menyandarkan punggung, mempelajari wajah Clara lama-lama. “Kamu kelihatan capek.”

“Aku nggak mau basa-basi. Langsung saja. Siapa yang kirim pesan itu?”

Ares mengetuk meja pelan.

“Clara… sebelum itu, aku mau kamu jawab satu hal.”

“Apa?”

Ares mencondongkan tubuh.

“Masih ada hubungan sama Reymon?”

Clara tersentak. “Itu bukan urusan kamu.”

“Berarti masih.” Ares menyipitkan mata. “Kalau gitu, kamu harus denger.”

Clara menahan napas.

Ares menghembuskan udara dan bersandar kembali. “Clara, kamu pikir hanya aku yang tahu tentang kalian?” Ia menatapnya dingin. “Kamu salah.”

“Apa maksud kamu?”

Ares memutar gelas kosong di meja. “Di angkatan Rey… ada seseorang lain yang tau hubungan kamu sama dia. Dan orang itu nggak suka.”

Clara merasakan jantungnya berhenti berdetak selama setengah detik.

“Siapa…?”

Ares menatapnya tajam.

“Orang itu benci Rey. Dan dia juga benci kamu.”

Clara membeku.

Ares melanjutkan, suaranya rendah:

“Dia iri sama Rey sejak awal. Dan dia tahu… cara melukai Rey paling mudah adalah lewat kamu.”

Clara memegangi dadanya yang mulai sesak.

Ares bersandar lebih dekat. “Dan orang itu sekarang lagi cari celah buat ngejatohin Rey.”

“Maksudnya…?”

“Kalau isu ini makin besar, Rey bisa kena sanksi. Bahkan bisa dikeluarkan.”

Wajah Clara langsung memucat.

“Tidak… Rey nggak salah apa-apa—”

“Itu bukan soal salah atau benar,” potong Ares cepat. “Itu soal siapa yang terlihat bersalah lebih dulu.”

Clara menutup mulutnya. Tubuhnya terasa dingin.

Ares memandang Clara lebih lama dari sebelumnya. “Aku nggak suka Rey, kamu tahu itu. Tapi aku juga bukan orang yang akan ngerusak hidup seseorang sampai sejauh itu.”

Clara mengangkat tatapannya.

Dan untuk pertama kalinya sejak ia mengenal Ares, ia melihat sesuatu di mata laki-laki itu.

Kejujuran.

Dan ketakutan.

“Clara,” suara Ares merendah, “orang ini bukan main-main. Dia bukan cuma iseng kirim rumor.”

Clara menelan ludah.

“S-siapa dia?”

Ares memejamkan mata, seolah mempertimbangkan konsekuensi dari apa yang akan ia katakan.

Kemudian, perlahan…

Ia membuka mata lagi.

Dan menyebut satu nama.

Nama yang membuat seluruh tubuh Clara membeku.

Nama yang tidak pernah ia duga.

Nama seseorang yang… mungkin tidak seharusnya tahu apa pun tentang dirinya dan Reymon.

Clara terperanjat.

“Tidak… itu… itu nggak mungkin…”

Ares menatapnya tanpa berkedip.

“Kenyataannya jauh lebih buruk dari dugaaan kamu.”

Clara menutupi mulut dengan kedua tangannya.

Air matanya jatuh tanpa bisa ia cegah.

“Kenapa… kenapa dia ngelakuin ini…”

Ares menggeleng, suaranya dingin.

“Kamu tahu jawabannya, Clara. Karena dia tidak pernah ingin Rey bahagia.”

Clara tidak bisa bernapas.

Ia merasa seperti baru saja mendengar sesuatu yang tidak boleh ia dengar.

Dan sebelum ia sempat menenangkan diri—

Ponselnya bergetar.

Pesan masuk.

Dari nomor anonim itu.

Clara membuka pesan itu.

Dan isinya membuat tubuhnya kembali membeku.

“Dia sudah cerita banyak padamu? Bagus. Karena setelah malam ini, kamu akan lihat sendiri apa konsekuensinya mencintai seorang prajurit.”

Clara menjatuhkan ponselnya.

Ares langsung meraihnya.

“Clara. Lihat aku.”

Clara mengangkat tatapannya yang penuh ketakutan.

Ares menatapnya serius. “Kamu harus siap. Ini baru mulai.”

Clara hampir tidak punya suara ketika membalas:

“Rey… Rey dalam bahaya, ya…?”

Ares mengangguk.

Dan kalimat berikutnya membuat Clara hampir pingsan.

“Bukan cuma Rey.”

Ares menatapnya dalam.

“Kamu juga.”

BERSAMBUNG…....

1
mindie
lanjut dong author ceritanya, ga sabar part selanjutnya
mindie
AAAAAA saltinggg bacanya😍😍🤭
Caramellmnisss: terimakasih kak☺️
total 1 replies
mindie
layak di rekomendasikan
Charolina Lina
novel ini bagus banget 👍🏻
Caramellmnisss: terimakasih kak😍🙏
total 1 replies
mindie
baguss bngt tidak sabar menenunggu updatetanny author🤩
Caramellmnisss
kami update tiap malam yah kak, jangan ketinggalan setiap eps nya yah☺️
Miu miu
Jangan lupa terus update ya, author!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!