ini adalah perjalanan hidup clara sejak ia berumur 5 tahun membawanya bertemu pada cinta sejatinya sejak ia berada di bangku tk, dan reymon sosok pria yang akan membawa perubahan besar dalam hidup clara. namun perjalanan cinta mereka tidak berjalan dengan mulus, akankah cinta itu mempertemukan mereka kembali.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Spam Pink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 35
Gelap menelan kamar kos Clara. Hanya suara napasnya sendiri yang terdengar, pendek, patah, dan terlalu keras di telinganya sendiri. Ares berdiri tepat di sampingnya, tubuhnya tidak bergerak, seperti hewan liar yang sedang membaca ancaman dari kegelapan.
Clara bisa melihat siluet wajah Ares hanya dari cahaya tipis yang menyusup dari jendela. Ia tidak tahu apakah itu membuatnya lebih aman atau justru lebih takut.
“Jangan bicara,” bisik Ares, nyaris tanpa suara.
Clara mengangguk pelan. Ia bahkan menahan napas.
Detik berikutnya…
CREK.
Suara langkah pelan di luar kamar.
Bukan satu.
Dua.
Tiga.
Setiap langkah terdengar seperti seseorang sedang merasakan lantai dengan telapak kaki. Seolah mereka tahu kamar mana yang harus mereka datangi—atau mereka sedang mencari.
Clara menutup mulutnya erat, menahan isak.
Ares menempelkan punggung tangannya ke pintu, wajahnya menegang.
“Ares…” Clara berbisik hampir tak terdengar.
Ares mengangkat satu jari.
Diam.
Suara langkah berhenti tepat di depan pintu kamar Clara.
Clara merasakan lututnya melemas. Seluruh tubuhnya dingin seperti tenggelam di air es.
Seseorang mengetuk perlahan.
Tok… tok… tok…
Knock yang sama seperti sebelum Ares datang. Lambat. Menggoda.
Membuat Clara hampir muntah karena takut.
“Clara… aku tahu kamu di dalam.”
Suara laki-laki itu. Yang tadi di lorong.
Lembut. Penuh keyakinan.
Berbahaya.
Ares mengepalkan tangan, rahangnya mengeras.
“Keluar. Kita bicara sebentar saja.”
Nada suaranya hampir manis, malah lebih menakutkan.
Clara menatap Ares.
Ares menggeleng tegas.
Ketukan kembali datang. Kali ini lebih keras.
TOK. TOK. TOK.
“Aku tidak suka menunggu.”
Ares berbisik, “Saat dia mundur, kita keluar lewat jendela belakang. Kos ini punya akses darurat kecil. Turun dari sana lebih aman.”
Clara menelan ludah.
“Ares… kalau dia melihat…?”
Ares menatapnya, mata gelap di balik bayangan.
“Aku tidak akan membiarkan dia menyentuhmu.”
Clara hampir menangis.
Laki-laki misterius di luar pintu itu tiba-tiba tertawa pelan.
“Kau pikir Ares bisa menahan kami selamanya?”
Ares menegang.
Clara terasa ingin jatuh pingsan.
Kalimat itu—kami—berarti lebih dari satu.
Mereka tahu Ares ada di dalam.
Mereka tahu siapa Ares sebenarnya.
Mereka bahkan seolah menunggu.
“Waktumu tidak banyak, Clara,” suara itu melanjutkan.
“Semakin lama kau bersama Ares, semakin cepat Reymon hancur.”
Clara meneteskan air mata.
Ia tidak paham.
Ia benar-benar tidak paham.
Ares tiba-tiba menarik lengan Clara, sangat cepat, dan menyeretnya menuju jendela kamar.
“Kita keluar sekarang.”
Jalan Gelap
Ares membuka jendela senyap mungkin. Clara merangkak keluar lebih dulu, tubuhnya gemetar. Jendela kos itu menghadap ke lorong kecil di belakang gedung, yang nyaris tanpa cahaya.
Ares meloncat turun menyusulnya tanpa suara.
“Ke kiri,” ucap Ares. “Ada tangga besi darurat.”
Clara mengangguk dan mengikuti — tapi ia melihat sesuatu dari sudut mata.
Seseorang berdiri di atas atap gedung kos, menatap ke bawah.
Diam.
Mengawasi.
Clara mencengkeram lengan Ares dengan panik.
“Ares… Ares… Ares, dia… dia di atas!”
Ares menoleh cepat.
Sosok di atas atap itu berdiri tegap, siluetnya seperti bayangan hitam dengan sorotan mata samar. Wajahnya tak terlihat — tapi posturnya berbeda dari pria tadi di lorong.
Berbeda sekali.
Ares menggeram rendah.
“Bukan dia. Yang di kamar itu sudah aku kenal suaranya.”
“Jadi ada dua?!”
Ares tidak menjawab.
Mereka lari menyusuri lorong sempit di belakang kos, melewati tumpukan kardus dan motor yang ditutupi terpal.
Udara malam terasa lebih tebal dari sebelumnya, seolah seluruh kampus memegang napas menunggu sesuatu pecah.
Setelah berlari sekitar lima puluh meter, Ares berhenti.
Clara mengerutkan kening.
“Ada apa?”
Ares memandang ke kiri dan kanan.
“Kurasa… mereka mengurung kita.”
Clara langsung lemas. “Ares—”
“Diam.”
Langkah-langkah terdengar dari depan…
Dari belakang…
Dari sisi kiri lorong.
Lalu suara berdesing rendah seperti sesuatu bergerak di udara.
Ares meraih Clara dan menariknya ke belakang sebuah pos listrik kecil.
“AP—”
Ares meletakkan tangannya di mulut Clara.
“Jangan bergerak.”
Clara menunduk sambil menahan tangis.
Dua bayangan melintas di dekat mereka.
Melesat.
Cepat.
Nyaris tidak terdengar.
Bukan orang biasa.
Tidak mungkin.
Clara menggenggam tangan Ares erat-erat.
Ares menunduk ke arah Clara, berbisik:
“Dengarkan aku. Kita tidak bisa ke rumah Reymon malam ini. Mereka tahu rute itu.”
Clara menatapnya panik.
“Terus… kita kemana?!”
Ares menatap kegelapan.
“Mungkin tempat yang bahkan Reymon tidak tahu.”
Clara tercengang.
“Kenapa Reymon nggak boleh tahu?”
Ares menatapnya lurus.
“Karena semakin banyak orang yang tahu tempat itu, semakin berbahaya tempat itu untukmu.”
Clara merinding.
“Siapa mereka, Ares? Kenapa mereka mengejarku? Apa hubungannya sama Rey?”
Ares menghembuskan napas perlahan.
“Karena mereka tidak bisa menyentuh Reymon secara langsung.”
Ia memandang Clara dengan sorot mata yang membuat dada Clara sesak.
“Jadi mereka mengambilmu.”
Clara menggigit bibir hingga berdarah.
“Apa mereka mau menyakitiku?”
“Tidak,” jawab Ares dengan datar.
“Lebih buruk.”
Clara gemetar.
Ares melanjutkan pelan, “Mereka akan membuatmu mengatakan sesuatu yang Reymon simpan hampir sepanjang hidupnya.”
“Rahasia?” Clara berbisik.
Ares diam.
“Reymon… punya rahasia sebesar itu?”
Ares menoleh.
“Rahasia yang bahkan aku pun tidak sepenuhnya tahu.”
Clara memegang dadanya.
Dunianya seperti ditarik dari bawah kakinya.
Rey…
Apa yang selama ini ia sembunyikan?
Reymon Bergerak
Di kamp latihan, Reymon berlari menuju gerbang utama. Prajurit jaga berusaha menghentikannya.
“REYMON! Kau tidak bisa keluar malam—”
Reymon tidak berhenti.
Ia tidak bisa berhenti.
Ia menyerahkan ID militer tanpa melihat.
“Ini urusan darurat.”
Penjaga gerbang membaca ID itu, dan wajahnya langsung berubah.
“Ini… ini kode merah…”
“Buka gerbang,” perintah Reymon.
“Tapi—”
“SEKARANG!”
Penjaga itu akhirnya membuka gerbang.
Reymon melangkah keluar seperti badai dalam tubuh manusia.
Ia tidak membawa senjata.
Tidak membawa perlengkapan perang.
Hanya tekad dingin yang membakar dadanya.
Ia mengambil motor yang ia sembunyikan dekat pos latihan dan menyalakannya tanpa suara.
“Clara…”
Angin malam menyapu wajahnya saat motor melesat di jalan sepi.
“Bertahanlah.”
Tempat yang Tak Boleh Dikunjungi
Clara dan Ares tiba di ujung lorong sempit yang menuju taman kampus sebelah. Ares memeriksa situasi, memastikan tidak ada bayangan mengikuti.
“Kita harus menyeberang ke gedung perpustakaan,” kata Ares.
Clara menelan ludah.
“Tapi itu jauh…”
“Tidak sejauh kalau mereka menangkap kita.”
Clara mengangguk, walau napasnya masih belum stabil.
Begitu mereka berlari menuju taman, angin malam meniup rambut Clara dengan keras seolah mencoba menahannya. Daun-daun jatuh dari pohon, menciptakan suara seperti bisikan kecil.
Ares menggenggam pergelangan tangan Clara, memastikan ia tidak tertinggal.
“Kita hampir—”
Namun Ares tiba-tiba berhenti.
Clara menabrak punggungnya. “A-Ares?”
Ares menatap tanah.
Ada selembar kertas tergeletak tepat di tengah jalan setapak.
Putih.
Bersih.
Seperti ditaruh baru beberapa detik lalu.
Clara menahan napas.
Ares mengambil kertas itu perlahan.
Ada tulisan singkat di tengahnya.
“Jangan bawa dia ke Perpustakaan Lama.”
Clara menatap Ares dengan wajah yang memucat.
“Apa maksudnya…? Ares… apa itu tempat yang kamu bilang tadi…?”
Ares tidak menjawab.
Clara langsung tahu jawabannya dari ekspresi wajah Ares.
“Itu… pesan untukmu,” Clara bergumam pelan. “Mereka tahu kamu mau ke sana.”
Ares meremas kertas itu.
“Mereka terlalu cepat membaca langkahku.”
Clara menatap sekeliling.
Angin malam seperti menertawakan mereka.
“Ares… aku tidak mau lari tanpa arah. Aku tidak kuat lagi. Aku butuh tempat yang aman. Tolong…”
Ares menahan bahunya, menunduk menatap mata Clara.
“Satu langkah lagi, Clara. Setelah ini, kau aman.”
Clara menggigit bibir.
“Ke mana?”
Ares membuang kertas itu ke tanah.
“Ke tempat yang tidak ada di peta kampus.”
Sorot matanya dingin dan pasti.
“Tempat yang bahkan orang-orang itu takut memasukinya.”
Clara menelan ludah.
“Ares… tempat apa itu?”
Ares berbisik:
“Gudang Arsip Bawah Tanah.”
Clara terpaku.
“Ada… tempat seperti itu…?”
Ares mengangguk.
“Itu tempat yang dilarang dibuka sejak tiga tahun lalu. Bahkan mahasiswa Teknik nggak bisa masuk tanpa kunci khusus.”
Ia menatap Clara.
“Dan hanya Reymon yang pernah punya kunci cadangannya.”
Clara membelalak.
“Kenapa Rey—”
Ares menutup mulutnya pelan.
“Jangan tanya kenapa.”
Sebelum Clara sempat bicara lagi, Ares menariknya menuju arah lain—bukan perpustakaan, bukan taman, tapi menuju gedung yang jarang dipakai.
Gedung Laboratorium Lama.
Clara menoleh satu kali.
Dan ketika ia menatap kembali ke arah taman…
Seseorang berdiri di sana.
Sosok yang sama yang berdiri di bawah lampu kampus malam pertama.
Tidak bergerak.
Tidak berbicara.
Hanya menatap Clara dari kejauhan.
Tatapan kosong yang membuat darah Clara membeku.
“Ares…”
Suara Clara pecah. “Ares, dia… dia di sana…”
Ares menoleh sekilas.
Sosok itu tidak mengejar.
Tidak bergerak.
Hanya memiringkan kepala, seolah membaca isi hati Clara.
Ares menarik Clara masuk ke gedung lab.
“Kita tidak boleh berhenti,” katanya.
Clara menatap sosok itu untuk terakhir kali sebelum pintu laboratorium menutup.
Kemudian…
Sosok itu tersenyum.
Hanya sedikit.
Nyaris tidak terlihat.
“Waktunya hampir tiba, Clara,” gumamnya.
Lalu ia berjalan mundur, menghilang di balik bayangan pohon.
Gerbang Bawah Tanah
Di dalam Laboratorium Lama, bau debu dan oli mesin bercampur menjadi aroma yang menusuk hidung. Ruangan itu gelap, hanya ada sedikit cahaya dari lampu emergency yang berkedip-kedip.
Clara memegang punggung Ares dengan hati-hati.
“Ares… apa kamu yakin tempat ini aman…?”
Ares tidak berhenti melangkah.
“Tidak ada tempat benar-benar aman. Tapi ini satu-satunya yang tidak bisa mereka jangkau secepat itu.”
Ia menyibak tirai panjang yang menutupi dinding, memperlihatkan pintu besi tua.
Pintu itu terkunci oleh sistem digital yang sudah berkarat.
Ares mengetik sesuatu di panel.
Clara terpaku melihat keahliannya—gerakan itu terlalu lancar untuk seseorang yang katanya bukan bagian dari kampus.
Dengan bip kecil, pintu terbuka.
Di balik pintu, ada tangga menurun ke kegelapan.
Clara menelan ludah.
“Ares… apa di bawah…?”
Ares menatapnya serius.
“Tempat yang bahkan Reymon tidak ingin kau tahu.”
Clara terdiam.
“Kenapa…?”
Ares mendekatinya.
“Karena begitu kau turun ke sana… tidak ada jalan kembali.”
Clara hampir menangis.
“Kenapa semua ini terjadi… kenapa aku…”
Ares memegang bahunya.
“Clara… dengarkan aku.”
Suaranya lebih lembut dibanding sebelumnya.
“Reymon berjuang bertahun-tahun untuk meninggalkan masa lalunya. Tapi mereka kembali… dan mereka akan menghancurkannya dengan cara apapun.”
Ia menatap dalam.
“Kau bukan korban. Tapi kunci.”
“Kunci?” Clara terisak.
Ares mengangguk.
“Kunci untuk membuka sesuatu… yang mereka butuhkan dari Reymon.”
Clara menggeleng keras.
“Aku nggak mau jadi alasan Rey disakiti…”
Ares meraih pergelangan tangan Clara.
“Itu sebabnya kita harus sembunyikan kau dulu. Sebelum mereka mencarimu lagi.”
Clara memandang tangga gelap itu dengan tubuh menggigil.
Lalu ia menarik napas.
“Baik… Ares. Kita turun.”
Ares memimpin langkah pertama.
Tapi sebelum mereka turun, suara langkah cepat terdengar dari koridor lab.
Clara langsung menatap Ares dengan mata ketakutan.
“Ares…”
“Ya,” jawab Ares tegang.
“Mereka sudah menemukan kita.”
Dan pintu utama lab mulai bergetar.
BRAM!
BRAK!
DUARR!
Seseorang—or banyak orang—berusaha mendobraknya.
Ares menarik Clara ke tangga.
“Turun sekarang!”
Clara hampir tersandung tapi berhasil menahan diri.
Pintu besi bergetar lebih keras.
Suara-suara mulai terdengar dari luar.
“Buka pintunya, Clara…”
Suara familiar.
Suara laki-laki misterius.
“Aku janji… hanya bicara.”
Clara menangis saat Ares menariknya lebih dalam.
Dan tepat ketika pintu besi bawah tanah menutup otomatis—
BRAK!!!
Pintu laboratorium utama berhasil dijebol.
Suara langkah-langkah cepat terdengar menyebar.
Clara memeluk Ares dari belakang.
“Ares… apa mereka akan masuk ke sini…?”
Ares menatap pintu baja kecil di depan mereka.
“Kita hanya punya beberapa menit.”
Clara mengusap air mata.
“Ares… siapa sebenarnya mereka?”
Ares tidak menjawab.
Ia menatap gelap di bawah, lalu menatap Clara.
Dan untuk pertama kalinya…
Clara melihat ketakutan di mata Ares.
Mata itu berbisik satu hal:
Mereka bukan manusia biasa.
Dan mereka menginginkan sesuatu yang tidak boleh jatuh ke tangan siapapun.
Ares memegang tangan Clara erat.
“Kita harus mencapai ruang paling bawah.”
Clara mengangguk.
Ares berbisik:
“Clara… di bawah sana, kau akan menemukan sesuatu tentang Reymon.”
Clara terdiam.
“Sesuatu yang… selama ini ia sembunyikan.”
Ketukan keras mulai menghantam pintu baja.
Ares menarik Clara turun ke kegelapan.
Dan pintu menutup.
BERSAMBUNG…..