Masuk ke situs gelap. Cassia Amore nekat menjajakan dirinya demi bisa membiayai pengobatan ibunya. Kenekatan itu membawa Amore bertemu dengan Joel Kenneth pengusaha ternama yang namanya cukup disegani tak hanya bagi sesama pengusaha, namun juga di dunia gelap!
“Apa kau tuli, Amore?” tanya Joel ketika sudah berhadapan langsung tepat dihadapan Cassia. Tangannya lalu meraih dagu Cassia, mengangkat wajah Cassia agar bersitatap langsung dengan matanya yang kini menyorot tajam.
“Bisu!” Joel mengalihkan pandangan sejenak. Lalu sesaat kembali menatap wajah Cassia. Maniknya semakin menyorot tajam, bahkan kini tanpa segan menghentakkan salah satu tungkainya tepat di atas telapak kaki Cassia.
“Akkhhh …. aduh!” Cassia berteriak.
“Kau fikir aku membelimu hanya untuk diam, hmm? Jika aku bertanya kau wajib jawab. Apalagi sekarang seluruh ragamu adalah milikku, yang itu berarti kau harus menuruti semua perkataanku!” tekan Joel sangat arogan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fakrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
35
Cassia merasa kepalanya berdenyut. Namun ia berusaha menutupi rasa pusing yang mulai menguasai tubuhnya. Malam ini adalah pesta yang sudah lama dinantikan, dan ia tidak ingin merusaknya. Ia duduk di samping Nania, tersenyum kecil meski pandangannya mulai kabur. Cassia tahu, sahabatnya itu sudah bekerja keras demi malam ini. Ia tidak ingin membuat Nania khawatir, apalagi sampai mengalihkan kegembiraannya hanya karena dirinya.
“Cassy... kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Nania, begitu menyadari ada yang berbeda dari wajah sahabatnya.
Cassia menggeleng pelan. “Nggak... nggak apa-apa. Aku cuma sedikit lelah. Duduk sebentar rasanya sudah cukup membantu,” ujarnya dengan suara tenang, berusaha terdengar meyakinkan.
Nania mengangguk. Ia tak punya alasan untuk meragukan Cassia. Bagaimanapun, Cassia adalah sekretaris pribadi Joel—jabatan yang menuntut kesibukan tanpa henti. Wajar jika tubuhnya kelelahan.
“Baiklah. Kalau begitu, aku ke sana sebentar, ya. Kamu duduk saja di sini, istirahatkan tubuhmu sejenak. Nanti aku segera kembali,” ujar Nania lembut.
Di meja hidangan, beragam makanan tersusun menggoda. Nania memang tipe gadis yang selalu antusias mencicipi sesuatu yang baru. Cassia hanya mengangguk, memberi izin tanpa banyak bicara. Tak lama, Nania pun melangkah pergi, matanya berbinar saat melihat deretan makanan yang mungkin menarik perhatiannya.
Tak lama setelah Nania pergi, Cassia merasakan sesuatu yang aneh menguasai tubuhnya. Ada panas yang merayap pelan di bawah kulitnya—panas yang sulit dijelaskan, seperti membakar dari dalam.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi sensasi itu justru makin menjadi. Dengan langkah tergesa, Cassia memutuskan pergi ke toilet, berharap air dingin bisa menolongnya sedikit.
Apa yang terjadi padaku? Kenapa tubuhku bereaksi aneh seperti ini? batinnya panik.
Namun panas itu terus menjalar, membuatnya hampir kehilangan kendali atas tubuhnya sendiri. Dalam perjalanan menuju toilet, Cassia mulai gelisah, jemarinya bergerak membuka sedikit bagian gaunnya untuk memberi ruang bernapas.
Gerakannya itu ternyata tak luput dari pandangan seseorang di ruangan itu—seseorang yang segera menghampirinya.
Seseorang mendekat cepat, langkahnya berat namun pasti. Sebelum Cassia sempat menyadari siapa yang datang, tengkuknya sudah diraih, tubuhnya ditarik menjauh dari keramaian.
“Lepaskan…” suaranya lemah, nyaris tak terdengar. Namun genggaman di tengkuknya tetap kuat, menyeretnya menembus lorong sepi yang berakhir di sebuah ruangan kosong di sisi belakang gedung pesta.
Pintu tertutup rapat di belakang mereka. Musik, tawa, dan hiruk pikuk pesta menguap lenyap. Yang tersisa hanya napas Cassia yang tersengal, dan gemerisik kecil dari kain gaunnya yang bergetar karena tubuhnya sendiri tak stabil.
“Cassia,” suara pria itu dalam, mengandung nada cemas. “Ada apa denganmu?”
Cassia menatapnya samar. Pandangannya kabur, seperti melihat dunia dari balik kabut.
“Aku... aku nggak tahu. Tubuhku... panas. Aku nggak bisa... mengendalikannya.”
Tangannya gemetar, wajahnya memucat di tengah hawa gerah yang tak beralasan.
Pria itu melangkah lebih dekat. “Kau kelihatan pucat sekali. Duduk dulu.”
Ia menuntun Cassia ke kursi kecil di sudut ruangan, mencoba menenangkannya.
Cassia menggeleng lemah. “Nggak... ini aneh. Aku merasa... seperti bukan diriku.”
Matanya mencari sesuatu, seolah memohon pertolongan yang bahkan ia sendiri tak tahu bentuknya.
Pria itu berjongkok di depannya, menatap Cassia dari dekat. “Hey, dengar aku. Kau butuh udara. Mungkin ada yang salah dengan minumanmu.”
Nada suaranya tegas, tapi ada kegelisahan di baliknya.
Cassia menatapnya lama. “Minuman…?” gumamnya, berusaha mengingat. “Aku cuma minum satu gelas tadi.”
Ia terdiam, lalu menatap tangannya yang mulai gemetar hebat. “Tapi kenapa rasanya seperti ini?”
Pria itu menghela napas berat, mencoba berpikir cepat. “Kau harus keluar dari sini. Aku akan—”
Namun sebelum sempat menyelesaikan kalimatnya, Cassia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya oleng, membuat pria itu refleks menangkapnya. Cassia jatuh dalam pelukannya, napasnya cepat, wajahnya tampak tersiksa.
“Cassia! Hey—lihat aku!” serunya. Tapi Cassia tak menjawab. Matanya terbuka setengah, seolah kesadarannya digantung di antara dunia nyata dan kekosongan yang asing.
Dalam diam itu, hanya terdengar detak jantung keduanya, berirama cepat. Pria itu menatap Cassia lekat-lekat—di wajah pucatnya, ada campuran ketakutan dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan.
“Bertahanlah. Aku akan panggil bantuan,” ucapnya pelan, hampir seperti doa yang gugur di udara.