di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
episode 1
Suara tembakan bergema di ruangan gelap.
Mayat-mayat berserakan di lantai, darah menetes perlahan, menimbulkan aroma besi yang menusuk hidung.
"Cepat, tembak mereka sekarang! ".
Di tengah kekacauan itu, seorang pria bergerak dengan cepat- matanya tajam, langkahnya senyap.
Ia menembak dengan pistol yang sudah di modifikasi khusus: tanpa suara, tapi mematikan. Peluru menembus kepala lawannya, meninggalkan lubang kecil yang langsung meneteskan darah panas.
Zephyrion Llewellyn, atau biasa di panggil Rion, adalah seorang assassin tingkat tinggi. Dunia bawah mengenalnya dengan satu julukan:
"The Silent Reaper"- Pembunuh tanpa suara.
Langit malam tanpa cahaya bulan menjadi saksi bisu dari pertumpahan darah itu. Mayat berserakan, dan mereka yang masih hidup menunggu giliran mati.
Rion melangkah menghampiri rekan-rekannya yang berada tak jauh darinya. Tubuh mereka berlumuran darah, pakaian robek, nafas tersenggal-semua tampak kelelahan setelah pertempuran panjang.
"Misi selesai". Ujar Rion dingin. " Sekarang kita kembali ke markas".
Semua mengangguk.
Namun ketika Rion menoleh, salah satu rekan mendekatinya- tanpa tanda-tanda mencurigakan.
Jlep
Sebuah belati menembus dada kirinya.
Tepat di jantung.
Rion terpaku.
Mulutnya mengeluarkan darah, nafasnya terkenal. Ia menatap wajah rekannya- mata itu penuh pengkhianatan.
"kau... ". Ucapnya lirih darah mengalir di sudut bibirnya. " mengkhianatiku?".
Rekannya menatap Rion dengan tatapan menghina. Tubuh Rion terjatuh ke tanah, darah mengalir membentuk genangan merah gelap di bawahnya.
"Sayang sekali kau harus mati, ketua". Suara itu dingin, tapi sarat kepuasan.
"Kau tau kenapa aku membunuh mu? Karena aku iri. Pemimpin lebih menyukai mu daripada aku. Jadi... aku harus menyingkirkanmu, agar tempatmu menjadi milik ku".
Rion menatap tajam ke arah pria itu, tapi tubuhnya tak mampu bergerak. Matanya di penuhi kebencian dan ketidakpercayaan.
Beberapa orang lain hanya menatap dingin, lalu berbalik pergi, meninggalkan tubuhnya yang perlahan kehilangan kehidupan.
Sunyi.
Hanya desiran angin malam dan bau darah yang menemani.
Rion menatap langit-langit tanpa bulan, tanpa bintang. Senyum tipis muncul di wajahnya, getir dan hampa.
"Padahal aku begitu mempercayaimu...
Tapi yang kudapat hanya pengkhianatan".
Ia tertawa pelan, suara tawanya lebih mirip gumaman putus asa.
"apakah ini karma untukku? seorang pembunuh akhirnya di bunuh.... oleh orang yang ia percayai".
Wajah rion semakin pucat.
Nafasnya berat. Pandangannya berkunang- kunang. Ia tersenyum sekali lagi-bukan senyum bahagia, tapi senyum yang menerima takdir.
"Sepertinya... ini akhir dariku".
Kelopak matanya perlahan tertutup.
Dunia menjadi gelap.
Dan untuk sesaat, keheningan benar- benar menelan segalanya.
###
Namun, dalam kegelapan itu- ada sesuatu yang lain.
Bukan kehampaan, tapi arus hangat yang mengalir di tubuhnya.
Ia mendengar suara lembut, samar namun jelas, seperti gema dari tempat jauh:
"Anak ku... tidurlah sebentar lagi. Bayanganmu belum berakhir".
Seketika, cahaya keemasan menembus kegelapan. Tubuhnya terasa ringan, lalu....
####
Udara lembab memenuhi kamar tua itu.
Cahaya keemasan dari lilin di sudut ruangan bergetar pelan, menari di dinding baru yang mulai di telan jamur dan debu.
Kasur reyot di tengah ruangan tampak menyimpan seseorang- seorang remaja berwajah pucat, tampak rapuh, seolah waktu sendiri telah berhenti di sana.
Lalu... kelopak mata itu bergerak.
Perlahan terbuka, menampilkan sepasang iris berwarna emas murni-berkilau lembut di bawah cahaya yang redup.
Mata yang indah, namun menatap dunia dengan kebingungan mendalam.
"... Dimana ini? kenapa aku ada disini? ".
Suara itu serak, lebih lembut dari pada yang seharusnya.
Tak ada jawaban.
Hanya bunyi detak jam tua yang berderit pelan di dinding dan aroma debu bercampur obat herbal.
Hening yang panjang di pecah oleh suara engsel pintu berderit.
kreeeekkk...
Pintu kamar terbuka, menampilkan seorang pria muda berpakaian pelayan-kemeja putih yang sedikit robek, rompi gelap, dan celemek berdebu.
"Pangeran! syukurlah anda sudah sadar! ".
Pelayan itu berlari mendekat, wajahnya antara terkejut dan bahagia, lalu segera membantu remaja itu duduk
Remaja itu-Zephyrion Llewellyn- hanya bisa memandang bingung.
" S-siapa?".
Pelayan itu membeku di tempat.
"Pangeran... apa anda melupakan saya? Saya Alaric, pelayan pribadi anda".
Nama itu terasa asing di kepalanya.
Alaric? Aku tidak pernah punya pelayan bernama begitu. Dan sejak kapan aku dipanggil… pangeran?
Ia menatap sekeliling. Dinding batu. Perabotan kayu tua. Tirai tebal bergoyang tertiup angin malam.
Semuanya asing—tak ada cahaya neon, tak ada bau logam, tak ada suara kota yang biasa ia dengar.
Rion—atau entah siapa ia sekarang—memandangi tangannya sendiri.
Kulitnya pucat dan halus, bukan milik seorang pembunuh.
Tidak ada bekas luka, tidak ada goresan senjata.
“Tubuh ini… bukan milikku.”
Alaric memandang dengan cemas.
“Anda… tak ingat apa pun, Yang Mulia?”
Rion hanya diam.
Kepalanya berdenyut hebat, seperti ada ribuan suara berdesakan di dalam pikirannya.
Lalu tiba-tiba—
Brakk!
Rasa sakit menusuk kepalanya, memaksa ingatan yang bukan miliknya muncul begitu saja.
Suara tangisan seorang wanita.
Pekik api.
Dan teriakan tajam di telinganya—
“Lari, Valerian! Pergilah sebelum mereka menemukanmu!”
Matanya terbuka lebar. Napasnya tersengal.
Nama itu… Valerian.
Ia menggenggam dada kirinya yang berdebar cepat, lalu berbisik pelan, nyaris tak terdengar—
“Jadi ini… tubuh Valerian de Velthoria?”
Alaric memandang bingung, tak berani bertanya.
Sementara itu, cahaya lilin di ruangan bergetar lebih keras—
dan di udara yang dingin, bayangan di dinding perlahan memanjang…
menyentuh ujung ranjang tempat “pangeran” itu duduk.
Bayangan itu tersenyum.
Pangeran Valerian menatap ke arah Alaric. Pelayan muda itu langsung menundukkan kepalanya dalam-dalam, seolah takut membuat kesalahan di hadapan tuannya.
Valerian menelusuri ruangan dengan tatapan datar. Ia tidak tahu tempat apa ini.
Dari yang ia lihat, kamar ini lebih mirip gudang tua dari pada kamar pangeran. Dinding batu tertutup jamur, cat mengelupas, dan udara lembab menusuk hidung.
Kasur reyot di bawah tubuhnya terasa keras dan dingin- membuat punggungnya pegal meski baru sebentar berbaring di atasnya.
"Berapa usiaku?". Tanya Valerian pelan, suaranya terdengar datar namun tegas.
Alaric mengangkat wajahnya sedikit.
"Saat ini usia Anda empat belas tahun, Pangeran".
Valerian mengangguk perlahan.
Empat belas tahun. Tubuh muda, tapi terlalu lemah.
"baiklah". batinnya. " Mulai sekarang aku akan hidup sebagai Valerian de Velthoria. bukan sebagai pangeran yang lemah dan di kucilkan, tapi... aku yang baru.
Aku -Zephyrion Llewellyn, The Silent Reaper- akan mengambil alih hidup ini sepenuhnya".
Grrr....
Suara keras memecah kesunyian.
Valerian membeku sejenak, wajahnya langsung memerah. Ia melirik Alaric yang berusaha menahan tawa, tapi senyum kecil tetap lolos dari wajah pelayan itu.
"S-saya akan menyiapkan makanan untuk Anda, Pangeran". Ucap Alaric sambil menunduk.
Valerian berdeham pelan, menatap ke arah lain.
"T-terima kasih".
Alaric segera keluar dari kamar, meninggalkan Valerian sendirian.
Sunyi kembali.
Valerian menurunkan kakinya dari kasur dan mencoba berdiri, tapi tubuhnya langsung goyah.
Otot nya lemah, sendi- sendinya terasa berat.
" Huh... tubuh ini benar- benar lemah". Gumamnya kesal. "Kalau tubuhku yang dulu, aku bisa menundukkan tiga orang tanpa senjata".
Ia mengepalkan tangan.
Tangan itu kurus dan gemetar, tapi dalam genggamannya....
ada sensasi samar, seperti denyut energi hitam yang tertidur di bawah kulitnya.
Valerian berhenti.
Mata emasnya menyipit, menatap telapak tangannya.
"Apa ini...".
Udara di sekitarnya tiba-tiba terasa lebih dingin. Bayangan di lantai bergoyang, menari di bawah cahaya lilin yang hampir padam. Untuk sesaat, ia melihat bentuk wajah samar di dalam bayangan itu- senyum halus seorang wanita.
"Bangkitlah, anakku".
Suara lembut dan menggema di telinganya. Valerian terdiam.
Nafasnua cekatan, jantungnya berdetak cepat.
"Siapa kau...? ".
Bayangan itu memudar seiring lilin padam sepenuhnya. Dan dalam gelap, Valerian tahu- tubuh ini tidak hanya menyimpan masa lalu orang lain, tapi juga kekuatan yang belum siap ia pahami.
Tak lama kemudian, suara engsel pintu kembali terdengar.
Kreeeeekk...
Alaric masuk sambil membawa nampan. Namun langkahnya berhenti seketika ketika melihat kamar pangerannya gelap gulita.
"pangeran...? anda di dalam?".
Ia buru - buru menyalakan lilin baru. Cahaya kekuningan menyingkap wajah Valerian yang duduk di tepi ranjang, menatap ke arah jendela tanpa ekspresi.
" Ah! syukurlah... saya kira anda pingsan lagi". Ucap Alaric lega, lalu meletakkan nampan di meja kecil dekat ranjang.
"Silakan, pangeran. Ini makanan anda".
Valerian membuka penutup nampan itu perlahan. yang terlihat hanya nasi putih dingin, sayur rebus nyaris tanpa warna dan semangkuk sup roti yang keras yang mengambang di atas air bening.
Ia terdiam sejenak, menatap makanan itu tanpa bicara. Bau anyir dan lembab dari ruangan bercampur dengan aroma sup hambar.
"Tidak heran tubuh ini kurus dan lemah". batinnya datar. " dengan makanan seperti ini, jangankan berlatih... untuk berdiri saja butuh tenaga besar".
Alaric menunduk dalam- dalam, suaranya pelan penuh rasa bersalah.
"Maaf, pangeran. uang kita tidak cukup untuk membeli daging. Yang mulia raja hanya memberi jatah kecil bulan ini... ".
Valerian menatapnya sekilas, lalu menghela nafas panjang.
"Tak apa. Kita akan mencari cara untuk mendapatkannya".
Nada suaranya tenang tapi tegas- bukan suara anak lemah, melainkan seseorang yang pernah hidup di dunia yang keras.
Ia mulai makan perlahan. Rasa gambar menempel di lidahnya, tapi tetap memaksa menelan.
"Rasa makanan tidak penting". Pikirnya. " Yang penting aku bertahan hidup. Dunia ini... belum selesai dengan ku".
Sementara itu, Alaric hanya berdiri di samping ranjang, menatap sang pangeran yang makan dengan lahap. Ada rasa haru dan bersalah di matanya- ia tahu betapa keras kehidupan pangerannya di tempat pembuangan ini.
Valerian menatap pelayannya sejenak, lalu berbicara di sela makannya.
"Ngomong-ngomong, kita.... ada di mana?".
Alaric segera menjawab dengan hormat.
"Menjawab pangeran, kita berada di benua astrein. Benua ini di penuhi Ksatria berbakat dalam sihir, juga banyak tumbuh tanaman obat langka".
Valerian berhenti mengunyah.
Sihir.
Kata itu berputar di kepalanya, membuat sudut bibirnya terangkat sedikit.
"Jadi... dunia ini penuh dengan sihir?".
Ia menatap ke arah api lilin yang bergetar pelan, matanya memantulkan cahaya emas yang samar. Senyum tipis muncul di wajahnya.
"Kalau begitu... sepertinya hidup di sini tidak akan membosankan".
Bayangan di dinding bergotang lembut, seolah ikut tersenyum bersamanya.