"Aku akan menghancurkan semua yang dia hancurkan hari ini."
Begitulah sumpah yang terucap dari bibir Primordia, yang biasa dipanggil Prima, di depan makam ibunya. Prima siang itu, ditengah hujan lebat menangis bersimpuh di depan gundukan tanah yang masih merah, tempat pembaringan terakhir ibunya, Asri Amarta, yang meninggal terkena serangan jantung. Betapa tidak, rumah tangga yang sudah ia bangun lebih dari 17 tahun harus hancur gara-gara perempuan ambisius, yang tak hanya merebut ayahnya dari tangan ibunya, tetapi juga mengambil seluruh aset yang mereka miliki.
Prima, dengan kebencian yang bergemuruh di dalam dadanya, bertekad menguatkan diri untuk bangkit dan membalaskan dendamnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Dara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mengejutkan
Anita menangkap sikap tak biasa pada Pram sejak masih di acara peresmian kantor barunya tadi. Pram terlihat mendadak menjadi lebih diam dengan mimik mukanya yang tampak cemas. Sejak masuk ke dalam mobil yang mengantar mereka pulang, Pram belum berbicara sepatah kata pun. tatapan matanya mengarah ke luar jendela mobil.
Anita bukan tak perduli dengan apa yang ia lihat, namun kesibukannya menyapa tamu hari ini membuatnya belum sempat menanyakan apa yang terjadi pada Pram. Anita hanya berpikir mungkin Pram kelelahan.
"Kau ingin mampir membeli sesuatu dulu sayang?"
Pram menggeleng perlahan.
"Aku hanya ingin segera sampai di rumah, sepertinya aku sedikit lelah."
Anita menggenggam tangan Pram dan tersenyum haru.
"Terima kasih sayang, sudah menemaniku di hari istimewa ini. Maafkan aku sudah membuatmu lelah hari ini dengan tamu-tamu ku."
"Tidak masalah. Aku senang bisa menjadi bagian dari perjuanganmu."
Keduanya lalu tersenyum. Namun hanya sekilas saja, kembali melemparkan pandangannya ke arah luar jendela kaca mobil. Entah apa yang sedang ia lihat di sana. Tak dapat dipungkiri, ada rasa tidak tenang yang merasuki pikiran Anita. Namun ia berusaha menepis pikiran pikiran itu.
"Maaf pak Yusuf, bisa sedikit lebih cepat? Sepertinya Tuan kelelahan."
Pak Yusuf menoleh ke arah kaca spion dalam mobil. Sebetulnya ia menyadari apa yang tengah mengganggu pikiran Pramudya. Sesuatu yang juga mengganggu dirinya. Iya tidak pernah menyangka bahwa Nyonya Julia sudah begitu agresif mendekati keluarga ini. Hingga ia berani menjalin hubungan tidak hanya dengan Tuan Pram, tetapi juga diam-diam mendekati istrinya, nyonya Anita.
"Baik Nyonya."
**
Mobil hitam milik keluarga Pram terparkir di depan garasi rumah, setelah dua penumpangnya turun dalam keadaan yang cukup canggung satu sama lain. Pak Yusuf hanya bisa berharap keduanya akan baik-baik saja.
Pram dan Anita yang belum sempat makan malam usai acara peresmian kantor baru Anita, menyempatkan diri untuk makan di rumah bersama dengan anak mereka Primordia, yang sudah lama menunggu kepulangan mereka.
"Duduklah dengan tenang nak. Selesaikan dulu makanmu, jangan sambil berbicara."
Prima yang tampak begitu bersemangat menyambut kepulangan ayah dan ibunya, tak dapat menunda cerita-cerita serunya hari ini di sekolah.
"Papa sama mama lama sekali gak pulang-pulang. Prima kan udah nungguin dari tadi."
"Iya, maaf ya. Acara mama hari ini penting, tidak bisa mama tinggalkan."
"Emang papa harus ikut juga ya ma?"
"Iya, papamu bantuin mama tadi dikantor baru mama."
"Papa, bulan depan aku mau ada pementasan drama musikal di sekolah. Judulnya Putri Salju Dan Tujuh Kurcaci. Aku yang jadi Putri Saljunya. Papa besok datang ya sekolah buat nonton pertunjukannya."
"Iya, papa usahakan."
Pram mencoba untuk mendengarkan putrinya bercerita dengan menggebu-gebu. Memaksakan senyumannya yang kaku, dan Anita menyadari itu.
"Janji ya pa, jangan diusahakan tapi papa harus janji."
"Papa akan usahakan bisa datang nak, tapi papa kan harus tay dulu tanggal berapa. Biar papa bisa masukan ke agenda papa."
"Papa kan direkturnya, papa bisa dong atur waktu pekerjaan papa sesuai in sama jadwal pentas Prima."
"Iya, nanti kasih tau papa ya tanggalnya aja. Papa usahain bisa datang."
Prima yang tak puas dengan jawaban ayahnya, terus merengek mendesak Pram untuk berjanji datang ke sekolah. Sudah berkali-kali, Prima merasa kecewa karena Pram yang tak pernah bisa datang ke sekolahnya jika ada kegiatan yang melibatkan wali murid. Sekalipun sudah berjanji, akan tetapi pada akhirnya pekerjaan Pram membuatnya lupa akan janji itu kepada putrinya.
"Tapi janji dulu papa, janji dan catat dijadwal papa. Biar papa gak lu,-"
"Papa bilang papa akan usahakan Prima! Jangan terus merengek!"
Semuanya terdiam mematung, begitu Pram menggebrak meja makan dengan kedua tangannya. Anita yang tak menyangka Pram akan melakukan itu, terkejut dan membelalakkan matanya. Makanan yang sedang ia kunyah terasa hendak melompat keluar.
Prima yang juga kaget, menatap ayahnya penuh ketakutan. Matanya mulai basah dan tangannya gemetar. perang menyadari hal itu, bahkan ia sendiri terkejut menyadari apa yang telah ia lakukan.
"Prima, lanjutkan mak,-"
Prima Pak lagi mau mendengarkan perkataan ibunya. Iya berlari meninggalkan meja makan dengan makanannya yang belum selesai ya santap. lari sambil menangis menuju kamarnya di lantai 2.
Anita menghela nafas panjang. Iya benar-benar tak menyangka apa yang dilakukan oleh suaminya. Namun Anita tahu bahwa dalam keadaan seperti ini lebih baik jika ia tak menambah beban Pram dan ia memilih diam.
***