NovelToon NovelToon
MR. LEONARDO

MR. LEONARDO

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / CEO / Cinta setelah menikah / Percintaan Konglomerat / Beda Usia / Menyembunyikan Identitas
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: nura_12

Leonardo, seorang pria berusia 30 tahun pengusaha kaya raya dengan aura gelap. Dari luar kehidupan nya tampak sempurna.

Namun siapa yang tahu kalau pernikahannya penuh kehampaan, bahkan Aurelia. Sang istri menyuruhnya untuk menikah lagi, karna Aurelia tidak akan pernah bisa memberi apa yang Leo inginkan dan dia tidak akan pernah bisa membahagiakan suaminya itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nura_12, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

makan malam pertama

Waktu terus berputar hingga langit luar gelap pekat. Lampu-lampu di seluruh rumah besar itu menyala, membuat bangunan megah tersebut terlihat semakin berwibawa. Arinda yang masih belum terbiasa dengan kehidupan barunya, duduk di depan meja rias sambil menyisir rambut panjangnya yang sedikit kusut. Tangannya tampak kikuk, belum luwes dalam bergerak.

Tok-tok-tok.

Sofia mengetuk pintu perlahan.

“Nona, sudah waktunya makan malam,” ucapnya lembut dari luar.

Arinda menoleh ke arah pintu, lalu berdiri sambil membawa sisir. “Iya, Mbak, sebentar.”

Begitu Sofia masuk, dia melihat Arinda sedang sibuk merapikan rambutnya. Sambil tersenyum, Sofia berjalan mendekat dan tanpa banyak bicara, ia mengambil sisir dari tangan Arinda untuk membantunya. Tapi Arinda buru-buru menahan.

“Mbak, Arinda bisa sendiri kok. Masak nyisir rambut aja harus dibantu? Malu, ih.” Wajahnya merona, polos sekali.

Sofia terkekeh kecil. “Bukan karena tidak bisa, Nona. Tapi saya terbiasa membantu majikan saya agar terlihat lebih rapi. Itu bagian dari tugas saya.”

“Tapi kan ini rambut Arinda, Mbak. Masa nyisir harus orang lain? Kalau orang lihat bisa diketawain.” Arinda mengembungkan pipinya, membuat Sofia semakin gemas.

Akhirnya Sofia mengalah. Ia mundur perlahan, menunduk sopan. “Baiklah, kalau begitu silakan saja, Nona. Tapi, ayo kita turun. Sudah waktunya makan malam.”

Begitu mendengar kata “makan malam”, mata Arinda langsung berbinar. Sejak siang tadi, perutnya memang sudah keroncongan. “Iya, iya, ayo Mbak. Dari tadi Arinda lapar, soalnya siang nggak makan. Habis sibuk liatin kamar, eh malah lupa.”

Mereka keluar dari kamar, lalu menuju lift yang terletak di ujung lorong. Arinda menatap pintu lift dengan wajah heran.

“Mbak, kenapa kita naik mesin ini? Kan bisa turun tangga,” tanyanya polos.

Sofia menahan tawa. “Ini lift, Nona. Kalau naik tangga capek, jadi kita gunakan ini supaya cepat.”

Arinda menoleh dengan wajah serius. “Terus, kenapa kamar Arinda nggak di bawah aja, Mbak? Biar nggak usah naik-naik beginian. Kan lebih gampang kalau di lantai dasar.”

Sofia terdiam sesaat, mencoba mencari kata-kata. Namun suara berat terdengar dari belakang mereka.

“Karena kamu istri saya.”

Arinda sontak menoleh. Di belakangnya, berdiri Leo dengan tatapan tajam dan aura dingin yang membuat udara sekitar terasa menekan. Pria itu mengenakan kemeja hitam sederhana, namun entah bagaimana pesonanya begitu menonjol, membuat siapa pun segan menatap terlalu lama.

Leo melanjutkan dengan nada tegas, “Kamar yang ada di bawah itu milik para pekerja. Kamu berbeda. Status kamu di rumah ini adalah istri saya. Jadi tempatmu ada di atas, bukan di bawah. Mengerti?”

Arinda menelan ludah. Bibirnya bergerak pelan, suaranya lirih. “I-iya, paham…”

Ia refleks mendekat ke arah Sofia, seolah mencari perlindungan. Sofia bisa merasakan betapa tubuh Arinda menegang, jelas sekali nona mudanya itu belum terbiasa dengan tatapan tajam tuannya.

Lift akhirnya terbuka. Mereka bertiga masuk, suasana hening. Hanya terdengar bunyi mesin lift yang bergerak turun. Arinda menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap ke arah Leo. Sesekali matanya melirik ke arah tombol yang menyala, berusaha mengalihkan rasa gugup.

Setibanya di lantai dasar, aroma makanan menggoda langsung menyambut. Meja makan besar dengan lilin dan peralatan makan berkilau sudah tertata rapi. Arinda menelan air liurnya, perutnya makin bergejolak minta diisi.

Sofia membimbing Arinda duduk di kursi yang memang sudah disediakan khusus di sisi Leo. Namun ketika melihat jarak kursinya begitu dekat dengan pria itu, Arinda kembali ragu.

“Ehm, Mbak… Arinda bisa duduk agak jauh nggak? Biar nggak sempit,” bisiknya pelan.

Sofia melirik Leo sekilas, lalu tersenyum canggung. “Tidak bisa, Nona. Itu tempat Anda.”

Dengan langkah kikuk, Arinda pun duduk. Leo yang sejak tadi diam hanya mengawasi dengan tatapan tajam, membuat jantung Arinda berdebar tak karuan. Ia mencoba tersenyum sopan, meski lebih mirip meringis.

Pelayan datang membawa hidangan. Sup hangat, steak yang masih mengepulkan asap, hingga roti lembut tersusun cantik. Bagi Arinda, pemandangan ini terasa seperti jamuan kerajaan.

Matanya berbinar. “Wah, banyak banget. Enak-enak semua lagi.”

Leo melirik sekilas, lalu menaruh sendok di piringnya. “Ambil makanmu.”

Arinda mengangguk cepat. Namun ketika ia melihat sendok, garpu dan pisau di depannya, wajahnya mendadak berubah bingung. Ia terbiasa makan dengan tangan dan sendok di rumah, atau kalaupun pakai sendok, tidak pernah seribet ini.

Sofia yang duduk agak jauh sudah memperhatikan. Gadis polos itu tampak kebingungan memilih peralatan makan.

“Mbak… yang dipakai yang mana ya? Kok sendoknya ada tiga, garpunya dua. Mana yang buat sup? Mana yang buat nasi?” bisiknya lirih, takut terdengar Leo.

Sayangnya suara itu cukup jelas. Leo menghentikan gerakannya, lalu menoleh dengan alis terangkat. “Kamu tidak tahu cara makan seperti ini?”

Arinda langsung menunduk, pipinya memerah. “D-dulu di rumah makannya pakai tangan, Mas…”

Sofia nyaris tertawa, tapi cepat-cepat menunduk. Leo hanya menghela napas berat, namun ada kilatan aneh di matanya. Bukannya marah, ia justru tampak menahan senyum kecil.

Dengan suara lebih tenang, ia berkata, “Pakai sendok yang kecil untuk sup. Garpu yang besar untuk daging. Nanti terbiasa.”

Arinda mengangguk cepat, lalu dengan hati-hati mengambil sendok kecil. Ia menyeruput sup hangat itu, dan matanya langsung berbinar. “Enak banget! Mbak Sofia, ini lebih enak daripada sop buatan tetangga Arinda di rumah!”

Sofia hanya tersenyum, sementara Leo menggeleng pelan. Gadis di sampingnya ini memang polos luar biasa.

Selama makan, Arinda tak berhenti berkomentar—tentang rasa roti yang empuk, daging yang lembut, bahkan tentang betapa licinnya piring sampai ia takut piring itu “lari sendiri”. Semua celotehannya membuat Sofia ingin tertawa, sementara Leo diam saja, meski sekali-kali sudut bibirnya terangkat tipis.

Bagi Leo, ini adalah pertama kalinya meja makan yang biasanya sunyi berubah ramai. Dan meski sedikit mengganggu, entah mengapa hatinya terasa lebih hangat dari biasanya.

Arinda berusaha fokus pada makanannya. Sambil mengunyah, bibirnya tanpa sadar berucap lirih,

“Kenapa nggak ada telur mata sapi, ya… semuanya daging…”

Ia tidak bermaksud mengeluh keras-keras, hanya bergumam kecil. Tapi naas, gumaman itu jelas terdengar oleh Leo yang sedang meneguk air mineral dengan tenang. Lelaki itu menghentikan gerakannya, lalu mengeluarkan dehem singkat.

Uhuk!

Suara itu membuat Arinda tersentak. Ia cepat-cepat menegakkan punggung, menundukkan kepala, dan meremas sendok di tangannya. Wajahnya memerah malu.

Sofia yang duduk tak jauh dari meja makan sempat melirik ke arah tuannya. Ia tahu betul bahwa Leo tidak menyukai komentar asal di meja makan.

Leo menatap istrinya yang kini menunduk, wajahnya datar tanpa ekspresi. Tatapan itu saja sudah cukup membuat Arinda merasa seolah dirinya baru saja melakukan kesalahan besar.

Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut Leo, hanya tatapan dingin yang membuat suasana makin mencekam.

Arinda menelan ludah. Astaga, kenapa Rinda harus ngomong soal telur mata sapi segala… bodohnya Rinda, batinnya.

Dia menunduk lebih dalam, memilih mengunyah makanan di piringnya tanpa berani mengangkat kepala lagi.

Beberapa menit kemudian, Leo sudah selesai dengan makanannya. Gerakannya rapi, setiap potongan daging di piringnya bersih tanpa sisa. Ia meletakkan sendok garpu dengan presisi di atas piring, lalu mengusap bibirnya dengan serbet.

Kemudian, tanpa nada emosi, ia berkata,

“Sofia.”

Sofia yang sedari tadi diam segera menunduk hormat.

“Iya, Tuan?”

“Temani dia makan. Setelah itu, antar dia ke kamar.”

Sofia mengangguk patuh, “Baik, Tuan.”

Namun sebelum sempat Sofia melangkah, ia ragu lalu bertanya,

“Ke kamar Tuan, atau…”

Kalimat itu belum selesai, tapi Leo langsung memotong dengan suara dingin,

“Ke kamarnya. Saya masih banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”

Arinda yang dari tadi menunduk jelas mendengar ucapan itu. Ada rasa perih yang menyelinap ke hatinya, meskipun ia sendiri tidak mengerti kenapa bisa sesakit itu.

Oh… jadi memang dia tidak ingin Rinda di kamarnya. Dia bahkan ingin Rinda makan ditemani orang lain, bukan dirinya.

Ia tidak berani menunjukkan ekspresinya, hanya berusaha tersenyum kecil walau tidak ada yang melihat.

Leo bangkit dari kursinya, langkah kakinya mantap, penuh wibawa, lalu meninggalkan meja makan begitu saja. Aroma parfum maskulin yang khas tercium samar, semakin menegaskan kehadiran dominannya sebelum akhirnya lenyap di ujung lorong.

Arinda berhenti mengunyah. Ia menatap piringnya yang masih penuh, tiba-tiba kehilangan selera makan.

Namun Sofia mendekat, menatap lembut pada nona mudanya itu.

“Nona, mari lanjutkan makannya. Tuan memang sibuk, tapi beliau tetap memperhatikan. Tuan menyuruh saya menemani nona agar tidak sendirian.”

Arinda mengangguk pelan. “Iya, Mbak…” suaranya lirih.

Ia kembali menyuap makanan, meski kali ini rasanya hambar. Sesekali ia melirik kursi kosong di hadapannya, tempat Leo duduk tadi. Dalam hatinya, Arinda bertanya-tanya.

Kenapa dia begitu dingin pada Rinda? Apa Rinda melakukan kesalahan? Atau memang Rinda hanya orang asing yang kebetulan jadi istrinya?

Sofia duduk mendampinginya dengan sabar, bahkan sesekali menyendokkan sup ke piring Arinda. Gadis itu makan dengan patuh, walau perasaannya bercampur aduk.

Setelah selesai, Sofia berdiri dan berkata,

“Kalau sudah kenyang, mari saya antar ke kamar.”

Arinda bangkit, mengikuti Sofia dengan langkah pelan. Saat mereka melewati lorong panjang menuju lift, Arinda sempat berbisik,

“Mbak, kenapa suami Rinda… eh, Tuan Leo, selalu terlihat… menyeramkan?”

Sofia tersenyum samar. “Itu karena Tuan memang terbiasa hidup dengan wibawa yang tinggi, Nona. Beliau bukan orang yang banyak bicara, tapi sebenarnya tidak berniat menakut-nakuti. Nona hanya perlu belajar memahami caranya.”

Arinda mengangguk kecil. “Tapi rasanya sulit… Rinda bahkan takut menatap matanya terlalu lama.”

Sofia hanya tersenyum, tak menambahkan apapun. Ia tahu itu bukan hal yang bisa dijelaskan dalam sekali percakapan.

Sesampainya di kamar, Sofia membukakan pintu.

“Silakan beristirahat, Nona. Kalau butuh sesuatu, saya akan berjaga di luar.”

Arinda masuk, menoleh sejenak, lalu mengucap lirih,

“Terima kasih, Mbak Sofia…”

Pintu tertutup, meninggalkan Arinda seorang diri.

Ia duduk di tepi ranjang besar, menatap kosong ke arah jendela yang tirainya setengah terbuka. Dari luar, gemerlap lampu kota terlihat berkilauan.

Arinda memeluk lututnya, membiarkan kepalanya bersandar di atasnya.

“Kenapa suamiku begitu dingin…” gumamnya lirih.

Ia ingin sekali memahami lelaki itu, tapi rasanya seperti menabrak tembok tebal yang tak bisa ditembus.

Namun, jauh di dalam hatinya, Arinda tetap menyimpan harapan—semoga suatu hari Leo bisa sedikit saja membuka hatinya, dan melihat bahwa istrinya hanyalah gadis polos yang ingin dicintai.

1
Khalisa
kyknya seru nih cerita
CantStopWontstop
Makin suka sama cerita ini.
Luna de queso🌙🧀
Gak sabar next chapter.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!