Husna, putri bungsu kesayangan pasangan Kanada-Indonesia, dipaksa oleh orang tuanya untuk menerima permintaan sahabat ayahnya yang bernama Burak, agar menikah dengan putranya, Jovan. Jovan baru saja menduda setelah istrinya meninggal saat melahirkan. Husna terpaksa menyetujui pernikahan ini meskipun ia sudah memiliki kekasih bernama Arkan, yang ia rahasiakan karena orang tua Husan tidak menyukai Arkan yang hanya penyanyi jalanan.
Apakah pernikahan ini akan bertahan lama atau Husna akan kembali lagi kepada Arkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Sudah lima bulan usia kandungan Husna.
Hari itu, matahari pagi menyelinap lembut lewat celah jendela kecil rumah kayu itu.
Burung-burung berkicau di luar, namun suasana di dalam rumah terasa sepi dan hening yang menyesakkan.
Husna berdiri di dapur sederhana, menyiapkan sarapan di atas meja kayu.
Gerakannya pelan, matanya terlihat kosong. Ia tidak lagi mengingat siapa dirinya sebenarnya. Di kepalanya, hanya ada satu nama yang terasa nyata yaitu Arkan.
“Na,” suara lembut Arkan memecah keheningan.
Ia berdiri di ambang pintu, menatap Husna dengan senyum tenang.
“Kamu sudah bangun pagi sekali.”
Husna menoleh, tersenyum samar.
“Tentu saja, Kan. Aku ingin menyiapkan sarapan untukmu. Kau pasti lapar, kan?”
Arkan mendekat, langkahnya pelan. Ia menatap punggung Husna lama, lalu memeluknya dari belakang dengan hati-hati.
“Tahu nggak, Na. Aku selalu kagum melihat kamu seperti ini… tenang, lembut, dan… hanya milikku.”
Husna diam, matanya kosong sesaat sebelum tersenyum tipis lagi seolah percaya pada setiap kata itu.
Arkan kemudian berlutut perlahan di depan Husna, menatap perutnya yang mulai membuncit.
Dengan suara lirih, ia berbisik,
“Selamat pagi, bayi kecil. Ayahmu di sini.”
Ia menunduk, menyentuhkan keningnya di sana dengan lembut.
Husna menatapnya, perasaannya campur aduk antara hangat dan bingung karena di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa ganjil.
Ada suara samar, seperti bisikan jauh yang berusaha mengingatkannya pada seseorang.
Namun setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya langsung terasa berat, dan semua kembali gelap.
Arkan tersenyum, menatap wajah wanita itu yang kini mulai menunduk.
“Jangan pikirkan hal lain, Na. Kita sudah bahagia di sini, kan?”
Setelah sarapan, Arkan menggenggam tangan Husna dengan lembut.
“Ayo, Na. Udara pagi di luar segar sekali. Kita jalan-jalan, ya?”
Husna tersenyum tipis dan mengangguk. Ia mengikuti langkah Arkan keluar dari rumah kayu itu.
Pepohonan tinggi mengelilingi tempat itu, dedaunan berguguran perlahan tertiup angin.
Burung-burung beterbangan di langit, menambah suasana yang tampak damai terlalu damai untuk sesuatu yang sebenarnya tidak wajar.
Arkan memandang wajah Husna yang terlihat polos dan tenang.
“Kamu senang di sini, kan?”
Husna menatap langit biru di atas mereka, lalu tersenyum samar.
“Iya tempat ini tenang sekali. Aku merasa seperti tidak punya beban apa pun.”
Arkan mengangguk, tapi di balik senyumannya ada rasa puas yang gelap.
Sementara itu di tempat lain, Jovan duduk di ruang kerjanya di kantor polisi, wajahnya letih, matanya merah karena kurang tidur.
Sudah berhari-hari ia mencari Husna tanpa hasil. Semua petugas dikerahkan, semua rekaman CCTV diperiksa, tapi hasilnya nihil.
Ia menatap foto keluarga mereka di layar ponselnya.
“Na, di mana kamu?” gumamnya dengan suara bergetar.
Tiba-tiba, pikirannya terlintas pada Arkan yang sudah lama tidak menghubunginya.
Meski dokter sempat mengatakan Arkan masih pemulihan, sesuatu di dalam hati Jovan berteriak bahwa semua ini tidak beres.
Dengan tangan gemetar, ia menekan nomor Arkan.
Nada sambung terdengar. Sekali… dua kali… lalu tersambung.
“Halo, Arkan?”
Suara Jovan terdengar tajam namun lelah.
“Ini aku, Jovan. Aku cuma mau tahu, kamu di mana sekarang?”
Beberapa detik sunyi. Lalu suara Arkan terdengar dari seberang.
“Oh, Van. Aku cuma di rumah. Lagi istirahat. Ada apa?”
Namun di sela percakapan itu, samar-samar dari kejauhan, Jovan mendengar suara lembut seorang wanita.
Suara itu lemah tapi sangat familiar.
“Arkan, aku haus…”
Dunia seakan berhenti sejenak.
Jovan membeku di tempatnya, matanya membesar.
Itu suara yang tidak akan pernah ia salah dengar.
“Arkan!” seru Jovan keras.
“Di mana kamu?! Kenapa aku dengar suara Husna barusan?!”
Arkan langsung tersentak, panik. Ia buru-buru menjauhkan ponsel dari telinganya, menatap Husna yang sedang duduk di kursi taman sambil menatapnya bingung.
Tanpa pikir panjang, ia menekan tombol “end call”.
Tuuut—
Sambungan terputus.
Jovan menatap layar ponselnya dengan napas tersengal, wajahnya memucat.
“Dia bersama Arkan…” bisiknya pelan, tapi penuh amarah.
Dengan tangan gemetar, Jovan segera berdiri.
“Ayah Burak! Aku tahu di mana Husna berada!” serunya keras, berlari keluar dari kantor dengan langkah tergesa.
Sementara itu, di tempat persembunyiannya yang jauh dari kota, Arkan berdiri kaku menatap ponselnya.
Keringat dingin menetes dari pelipisnya.
“Dia dengar suara Husna, aku harus segera pindah tempat,” gumamnya tegang, menatap ke arah wanita yang kini sedang menatap bunga liar tanpa menyadari apa pun.
Arkan dengan tergesa memasukkan pakaian-pakaian Husna ke dalam koper.
“Cepat, Na. Kita harus pindah. Tempat ini sudah tidak aman,” katanya sambil berusaha tersenyum.
Husna yang masih dalam kondisi linglung hanya menurut, menatapnya tanpa banyak bicara.
“Ke mana kita, Arkan?” tanyanya pelan.
“Ke tempat yang lebih tenang. Di sana cuma ada kita berdua.”
Mobil melaju cepat di jalan raya malam itu. Lampu-lampu kota memantul di kaca depan, sementara Husna sesekali menatap jendela, memegang perutnya yang mulai membesar.
Namun dari kejauhan, sirine polisi terdengar mendekat.
Arkan melirik kaca spion dan matanya melebar.
“Tidak, ini tidak mungkin. Mereka sudah tahu.”
Ia menekan pedal gas, mencoba melarikan diri.
“Arkan, kenapa kamu ngebut?” tanya Husna dengan suara ketakutan.
“Tenang, Na! Aku nggak akan biarkan siapa pun memisahkan kita!”
Tapi begitu mobil memasuki area dekat bandara, puluhan mobil polisi sudah mengepung jalan masuk.
Lampu biru dan merah berputar, menerangi seluruh area.
“Arkan Wijaya! Turunkan kendaraanmu sekarang!” terdengar suara dari megafon.
Mobil berhenti perlahan. Arkan menatap Husna, matanya bergetar.
“Na aku janji, aku cuma mau melindungi kamu.”
Ia membuka pintu dan keluar, namun tiba-tiba Husna juga ikut turun dan berlari ke arah Arkan, memeluknya erat di depan semua orang.
“Lepaskan suamiku! Jangan sakiti dia!” teriak Husna dengan suara gemetar.
Para polisi saling menatap bingung, tak berani mendekat terlalu cepat.
Jovan yang baru tiba berlari menembus barisan polisi.
“Husna!” serunya keras.
Namun begitu ia mencoba mendekat, Husna justru berteriak,
“Jangan dekat-dekat! Jangan sakiti suamiku!” sambil mempererat pelukannya pada Arkan.
Mata Jovan memerah. Ia berdiri beberapa langkah di depan mereka, menatap Arkan dengan penuh amarah dan sakit hati.
“Apa yang sudah kamu lakukan padanya, Arkan?” suaranya serak, tapi tajam.
Arkan hanya tertawa kecil, suara tawanya getir dan dingin.
“Aku cuma membuatnya ingat siapa yang pertama kali ia cintai…”
Polisi segera bergerak cepat. Dua orang menarik Husna perlahan dari Arkan, sementara yang lain memborgol pria itu.
Arkan tidak melawan. Ia hanya menatap Husna yang berteriak histeris.
“Arkan! Arkan!!” tangisnya pecah, mencoba meronta dari pelukan polisi.
Arkan tersenyum tipis meski wajahnya mulai dipenuhi air mata.
“Tenang, Na. Aku akan selalu ada di hatimu.”
Suara pintu mobil polisi menutup keras, dan kendaraan itu melaju meninggalkan lokasi.
Husna terjatuh, tubuhnya lemas, suaranya masih bergetar memanggil nama yang sama.
“Arkan! Arkan!”
Jovan segera menghampirinya, memeluk tubuh istrinya yang menggigil.
“Na, ini aku Jovan. Kita pulang, ya. Kamu aman sekarang.”
Namun Husna hanya memandangnya kosong dengan matanya kehilangan cahaya, bibirnya terus menggumam satu nama yang sama.
“Arkan… Arkan…”
Jovan membawa istrinya ke rumah sakit dan dokter segera memeriksanya.
Husna berbaring di ranjang, kabel infus terpasang di tangannya.
Dokter menatap hasil pemeriksaan dengan wajah khawatir.
“Pak Jovan,” katanya hati-hati, “kondisi mental istri Anda tidak stabil. Kemungkinan besar, dia mengalami trauma berat dan kehilangan sebagian ingatannya. Untuk saat ini di pikirannya hanya ada satu nama.”
Jovan menggenggam tangan istrinya erat-erat.
“Husna, dengar aku. Aku suamimu. Aku Jovan.”
Namun Husna menatapnya dengan senyum samar, lalu berbisik pelan,
“Arkan…”
Air mata Jovan jatuh tanpa bisa ia tahan.
Ia menunduk, mencium tangan istrinya, lalu berbisik lemah,
“Aku akan menunggumu sadar, Na. Sekalipun kamu sudah lupa, aku nggak akan berhenti mencintaimu.”