Berawal dari seorang Pelukis jalanan yang mengagumi diam-diam objek lukisannya, adalah seorang perempuan cantik yang ternyata memiliki kisah cinta yang rumit, dan pernah dinodai oleh mantan tunangannya hingga dia depresi dan nyaris bunuh diri.
Takdir mendekatkan keduanya, hingga Fandy Radistra memutuskan menikahi Cyra Ramanda.
Akankah pernikahan kilat mereka menumbuhkan benih cinta di antara keduanya? Ikuti kelanjutan cerita dua pribadi yang saling bertolak belakang ini!.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ramadhan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25.
Siang itu udara memang terasa panas. Hawa panasnya seakan terbawa hingga ke dalam mobil travel yang ditumpangi oleh Fandy dan Glen. AC mobil seakan tak mampu menahan hawa panasnya matahari.
Meskipun keduanya merasa tak nyaman dengan kondisi cuaca saat itu, tetapi berusaha menikmati perjalanan ini hingga tiba di Bandung. Janji siang hari tiba nyatanya mereka masih berada di jalan.
“Fandy. Kudengar tadi istrimu seperti tidak rela kamu ke Bandung. Kenapa?” tanya Glen penasaran.
“Biasa Bang feeling perempuan, setelah aku cerita pelanggan yang kulukis ini adalah wanita dia langsung merasa cemburu, padahal dia belum bertemu sama sekali,” ungkap Fandy.
“Wajar sih Fandy kalau istrimu cemburu. Pelangganmu itu memang cantik dan sepertinya dia menaruh hati padamu,” tebak Glen.
“Masa sih Bang? Jangan buatku gede rasa dong, aku sudah bilang ke dia kita profesional saja. Dia pasti sudah punya pacar enggak mungkin ada hati sama aku,” bantah Fandy.
“Sorry Fandy. Kali ini aku setuju sama feeling istrimu. Siapa nama pelangganmu itu?”
Fandy menggaruk tengkuknya. “Mira namanya. Yah… Bang kok begitu? Aku bersikap biasa kok layaknya penjual kepada pembelinya.”
“Saat di lapak waktu itu, dia berbicara padamu tapi matanya menyiratkan kekaguman saat menatapmu. Percaya sama aku dan kita lihat saja nanti.”
“Siapkan dirimu dan usahakan jangan terpancing nanti!” peringatan Glen sangat jelas.
“Baik Bang. Tolong awasi dan ingatkan aku lagi saat kita di rumahnya nanti!”
“Oke siap. Saat kamu bicara dengan istrimu tadi, aku tahu dia sangat menyayangimu dan enggan jauh darimu. Jadi jangan kecewakan dia pesanku.”
“Baik Bang. Terima kasih juga sudah mengingatkan,” ucap Fandy dengan senyum tipis.
Mobil travel itu terus melaju menyusuri jalan raya. Fandy dan Glen memilih tidur karena kantuk yang melanda. Dua jam lebih estimasi mereka akan tiba di Bandung. Cukup untuk keduanya istirahat sementara dalam perjalanan.
***
Fandy dan Glen akhirnya tiba di Bandung. Fandy lalu memesan GrabCar menuju Favehotel Braga. Karena Cyra akan menyusul, jadi dia putuskan untuk memesan hotel saja demi kenyamanan istrinya.
Beberapa saat kemudian mereka tiba di hotel. Favehotel ini berada dalam di kompleks Braga City Walk. Cyra pasti senang nanti, karena hotel yang dipesan memiliki akses langsung ke fasilitas mal. Perempuan rata-rata senang sekali jalan-jalan ke mal.
Alasan utamanya Fandy memilih Favehotel untuk menginap karena akan mengunjungi Grey Art Gallery yang letaknya tidak jauh dari hotel. Sedangkan ke rumah Mira setengah jam jaraknya jika menyewa GrabCar lagi.
“Fandy, tidak kemahalan ini aku ikut menginap di hotel?”
“Tidak masalah Bang. Cyra ingin menyusul, daripada aku dua kali pesan vila dan hotel. Lebih baik pilih hotel sekalian saja.”
“Abang juga membantuku melukis di rumah Mira nanti, jadi akupun harus buat Bang Glen nyaman juga,” ujar Fandy.
“Makasih Fandy. Semoga nanti kerja kita dimudahkan, lukisannya bagus hasilnya juga memuaskan Mira dan keluarganya.”
“Aamiin…. semoga Bang. Sekarang kita mandi dan bersiap dulu, lalu lanjut ke rumah Mira.”
Glen mengangguk. “Oke aku duluan saja mandinya. Kamu siapkan saja semua perlengkapan untuk melukis nanti.”
“Oke Bang… siap!”
Disaat Glen mandi, Fandy bergegas menyiapkan semua keperluan melukisnya, mengeluarkan semua yang dibawa juga di tas kopernya. Dia pisahkan dulu dengan perlengkapan pribadinya seperti pakaian dan lainnya.
Selesai menyiapkan lalu Fandy menelepon Mira.
Fandy: “Halo Mira. Saya baru saja sampai hotel, ini beneran enggak masalah kamu dan keluarga dilukisnya mulai sore ini?”
Mira: “Halo Bang Fandy. Tidak masalah, keluargaku menyetujui dan mengerti alasan Abang terlambat sampai Bandung.”
Fandy: “Oh begitu. Kira-kira lima belas menit lagi saya dan bang Glen menuju rumahmu. Tolong shareloc ya!”
Mira langsung mengirim lokasi rumahnya ke whatsapp Fandy.
Mira: “Sudah kukirim ya Bang. Sekalian kukirim rute jalan lain untuk alternatif. Aku tunggu ya di rumah.”
Fandy: “Oke Mira. Terima kasih ya.”
Setelah itu Fandy mandi dan bersiap. Tak lama GrabCar yang dipesan sudah menunggu mereka di lobi, keduanya langsung bergegas menghampiri dan naik mobil tersebut.
Dua puluh lima menit kemudian mereka tiba di rumah mewah Mira. Orang tua dan kedua adiknya menyambut lalu bersalaman dengan Fandy dan Glen sangat ramah.
“Ayo masuk! Nak Fandy dan Nak Glen,” ajak Papa Ifan.
“Iya Om. Terima kasih,” sahut Fandy dan Glen sopan.
Semuanya saling berbincang santai di ruang tamu. Fandy dan Glen menikmati dulu teh dan cemilan khas Bandung yang disuguhkan sebelum mulai melukis.
“Maaf… siapa yang akan saya lukis terlebih dahulu?” tanya Fandy pelan.
“Keluargaku dulu saja Bang. Kalau aku besok saja dengan baju toga pastinya,” jawab Mira cepat.
“Iya Nak Fandy. Kami saja lebih dulu dilukisnya,” sambung Mama Ira.
Fandy mengangguk. “Baik Om dan Tante. Tolong tunjukkan spot yang menurut kalian bagus untuk latar lukisannya. Saya tinggal mengikuti.”
Mereka berjalan mendahului ke ruang keluarga. Fandy mengamati seluruh tampilan ruang keluarga ini.
Bergaya modern tropis dengan penggunaan warna coklat dan krem yang hangat. Dilengkapi furnitur nyaman dan elegan, salah satuya sofa empuk berwarna krem.
“Disini Nak Fandy kami dilukisnya,” kata Pak Ifan.
Fandy dan Glen dengan cepat menyiapkan semuanya. Mulai dari easel, kanvas, pensil dan penghapus untuk membuat sketsa dasar sebelum melukis.
Lalu cat minyak beserta kuas dan paletnya, terakhir kain lap untuk membersihkan kuas atau menyeka cat berlebih. Sepuluh menit kemudian Glen mengatur posisi keluarga Ifan.
Mereka minta dilukis dalam posisi duduk agar tidak lelah. Papa, mama mira duduk sambil memangku anaknya yang kecil di tengah sofa.
Mira dan adik yang satunya duduk di pinggir sofa mengapit papa dan mamanya. Tak lupa Glen meminta semuanya untuk tersenyum saat dilukis.
Fandy lalu mulai bekerja. Tangannya melukis sketsa dasar dulu di kanvas. Matanya fokus mengamati keluarga Ifan satu persatu. Tangannya begitu lincah melukis, dengan penuh presisi.
Satu jam kemudian sketsanya sudah jadi. Lalu Fandy mulai mewarnai orangnya lebih dulu, untuk latar belakang dia pilih terakhir.
Saat Fandy tengah fokus melukis tanpa dia sadari Mira menatapnya dengan penuh kekaguman. “Bang Fandy selalu tampan saat melukis, aku makin menyukainya,” batin Mira.
“Pasti bang Fandy tidak menyadari aku mulai menyukainya sejak enam bulan terakhir. Saat dia melukisku di lapaknya.”
“Sebelumnya aku memesan lukisan lewat foto, yaitu fotonya papa dan mama. Tapi saat di lapak itu aku ingin dilukisnya langsung. Mungkin saat itulah aku mulai menyukai bang Fandy,” ungkap Mira dalam hatinya.
Glen ternyata mengamati Mira sedari tadi Fandy mulai melukisnya. Dia merasa yakin, kalau Mira menyukai Fandy sebagai lawan jenis bukan hanya sebatas pelanggan dan pelukis.
“Fandy siapkan hatimu, jangan sampai kamu menyakiti perasaan Cyra dan Mira bersamaan,” batin Glen.
Fandy terus fokus mewarnai di kanvas yang sudah satu jam lebih berlalu. Glen sigap membantu jika ada yang dibutuhkan Fandy. Sedangkan Mira masih terus memperhatikan si pelukis tampan itu dengan intens.
“Besok saat bang Fandy melukisku aku hanya ingin berdua saja dengannya, jangan ada bang Glen ikut menemani,” batin Mira dengan senyum menyeringai.
Satu jam kemudian, pewarnaan sudah hampir selesai. “Maaf Om, Tante dan semuanya. Kalian bisa beranjak dari sofa jika merasa lelah.”
“Ini sisanya saya tinggal pewarnaan terakhir untuk latar belakang dan keseluruhannya. Mungkin dua atau tiga jam lagi baru selesai,” tambah Fandy.
“Oh begitu! Ya sudah kita makan malam saja dulu, Nak,” ajak Mama Ira.
“Maaf Tante. Saya pilih lanjutkan ini dulu. Biar bang Glen saja yang makan duluan bersama kalian,” tolak Fandy sopan.
Glen menatap Fandy ingin menolak tapi segan dengan orang tua Mira. Akhirnya dia mengalah. “Iya Tante. Saya saja dulu tidak masalah,” ucap Glen pasrah.
Lalu semuanya pergi ke ruang makan. Fandy terus melanjutkan lukisannya. Saat ingin mewarnai, Fandy ingat istrinya lalu meraih ponsel dan mengiriminya pesan.
Fandy: Malam istriku, maaf baru mengabarimu. Sekarang aku sudah di rumah keluarga Mira pelangganku itu.
Dikiriminya foto dan video kala dia sedang melukis di ruang keluarga Ifan. Lima menit kemudian Cyra membalasnya.
Cyra: Aku pikir baru besok kamu mulai melukis. Tidak lelah memangnya? Di foto dan video tadi kulihat masih tampan sih meski tampak lelah.
Fandy: Hehehe… tampan sudah dari sananya ini. Lelah memang iya, tadi sempat tidur kok di mobil travel.
Cyra: Oh begitu! Ya sudah lanjut saja kamu melukisnya. Kangen dan sayang banget kamu suamiku. Bye ganteng!.
Fandy: Iya istriku. Akupun sayang dan kangen kamu banget. Bye cantikku!.
Saat meletakkan ponselnya tiba-tiba Mira sudah ada di depannya membawa nampan berisi makanan.
“Bang Fandy. Aku besok dilukisnya hanya berdua denganmu titik!” ucap Mira dengan tegas.
Fandy mengernyit. “Kenapa harus berdua? Aku lebih nyaman kalau ada bang Glen temani,” ujar Fandy.
“Tidak ada penolakan Bang. Lihat saja besok dan tolong kamu ingat itu!” tegasnya lagi dengan senyum licik.