"Ini putri Bapak, bukan?" 
Danuarga Saptaji menahan gusar saat melihat ponsel di tangan gadis muda di hadapannya ini. 
"Saya tahu Bapak adalah anggota dewan perwakilan rakyat, nama baik Bapak mesti dijaga, tapi dengan video ini ditangan saya, saya tidak bisa menjamin Bapak bisa tidur dengan tenang!" ancam gadis muda itu lagi.
"Tapi—"
"Saya mau Bapak menikah dengan saya, menggantikan posisi pacar saya yang telah ditiduri putri Bapak!"
What? Alis Danu berjengit saking tak percaya. 
"Saya tidak peduli Bapak berkeluarga atau tidak, saya hanya mau Bapak bertanggung jawab atas kelakuan putri Bapak!" sambung gadis itu lagi.
Danu terenyak menatap mata gadis muda ini.
"Jika Bapak tidak mau, maka saya akan menyebarkan video ini di media sosial!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon misshel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 36. Meni Pedih, euy!
Beby beneran melongok keluar begitu melihat sisi lain rumah Danu ini. Ada akses lain jika halaman depan penuh seperti sekarang.
"Garasinya nembus ke depan sana, emang di kasih pintu soalnya mobil Bapak di parkir disana, sementara di sini hanya dipake buat darurat aja, parkirnya diluar gerbang begini," jelas Isa seraya mematikan mesin mobil. "Nah, nanti Aa siomay bandung akan ada di sini, biar kalian semua bisa makan puas tanpa sungkan sama tamu Bapak."
"Ya, ampun ...," ujar Zizah, sebelum Beby sempat berkata-kata. "Beneran calon imam yang luar biasa deh. Perintilan kecil, hal-hal yang bahkan aku belum bilang aja, Mas Isa udah tau. Peka banget si Mas, jadi pengen tepuk sakinah sama kamu, Mas."
Beby menghela napas. "Segala tepuk sakinah ni anak! Masih belum nyerah juga lo?" sembur Beby jijik.
"Sama saya aja, Mas ... kebetulan pas kelas pernikahan kemarin saya lihat Beby latihan tepuk sakinah." Moa menyahut seraya duduk tegak.
"Berpasangan, berpasangan, berpasangan, prok-prok-prok. Janji kokoh, janji kokoh, janji kokoh, prok-prok-prok, tangan sampai siku, kepala dan telinga, terakhir ... basuh ... kaki lalu doa—"
"Nah kan jadi tepuk wudhu anak TK!" protes Zizah. "Ketahuan kalau aslinya masih paud! Diajari sama bu guru, bukan petugas KUA!"
"Eh, aku dengarnya pas Beby pra nikah ya, ngawur aja dikatain anak paud!" balas Moa tidak terima.
Isa tertawa dibuatnya. Mereka benar-benar masih paud cuma beda kelompok bermain saja. Ia hanya geleng-geleng kepala, lalu menyilakan semuanya naik ke atas, lewat tangga batu yang berada di luar halaman, menuju halaman atas yang langsung menuju ruangan bilyard.
"Ngomong-ngomong, mbak-mbak salonnya keburu makan gaji buta, loh ... soalnya mereka disewa per jam." Isa mengingatkan dengan sebuah senyuman, sehingga perdebatan itu segera terhenti.
Zizah dan Moa langsung mengecilkan suaranya, melanjutkan perdebatan itu sambil jalan.
"Kamu sih—"
"Kamu yang sok pinter tadinya!"
"Kamu yang sotoy!"
"Ck, bisa diam nggak!" bentak Beby sehingga membuat mereka terdiam seketika.
Ruangan itu sementara ini dialihfungsikan sebagai ruang perawatan, dimana ada 4 orang salon sedang menunggu mereka dan tanpa basa basi lagi meminta mereka berganti pakaian dengan handuk kimono di tempat yang telah disediakan.
"Ya ampun, kita bakal di meni pedih euy! Ck, sedetik aja langsung bisa bahasa Sunda," celetuk Zizah sembari duduk. Bergaya seperti orang yang terbiasa diberi perawatan kakinya.
Celetukan itu membuat pegawai salon tertawa kecil.
"Norak lu, Jah!" balas Moa kejam. "kek gini aja gak tau namanya! Menikyur sama pedikyur! Meni pedih-meni pedih! Ini bahasa enggres, apaan bahasa sunda?!"
"Kalian ini bisa nggak sih, jangan malu-maluin Beby!" bisik Anggun penuh peringatan pada dua temannya, tetapi masih dalam nada suara rendah.
Semuanya sontak menoleh ke arah Beby yang melintasi halaman menuju kamarnya yang berada di lantai 2. Tangganya lagi-lagi berada di luar ruangan, sepertinya memang bangunan baru mengingat rumah yang depan masih model lama.
"Dia yang bulan madu, kita yang kecipratan untung," ujar Anggun cekikikan. "Beby mah nggak tau aja kalau ini hanya modus Pak Danu biar Beby makin cinta sama beliau—hihihi."
Zizah dan Moa menatap Anggun dengan kening mengerut. "Kirain kamu bakal waras diatas kita, lah, ternyata malah parah. Bisa-bisanya ngomong begitu, meski itu benar! Dari tadi aku cuma mbatin, eh malah diceplosin!"
"Lagian ya, lu punya pikiran kenapa sebegitunya, Nggun ...!" Moa menoyor kepala Anggun dengan anggun, sampai si empunya kepala terkekeh-kekeh. "Isi kepalaku juga begitu, anehnya Beby nggak ngeh, bzir! Tu anak lempeng apa bloon, yak?"
Ketiganya tertawa. Meski polos tapi tidak polos-polos banget, beda sama Beby, dia polos kadang bloon, lemot nggak ketulungan.
"Tapi kok kita tau kalau Beby masih ori?" tanya Moa heran pada kedua temannya setelah tawanya reda.
Anggun tanpa babibu menarik telinga Moa mendekat ke mulutnya, ditimpa Zizah yang kepo ingin tahu apa yang akan disampaikan Anggun dalam nada rendah tersebut.
"Taruhan seluruh gaji bulanan ku, kalau Beby udah jebol, minimal tuh anak jalannya kek pinguin! Ini masih petakilan, masih sumringah, dan belum kuyu mukanya! Tunggu entar kalau udah dibobol, pasti kek sayur kepanasan lupa disiram!"
Mereka sontak menutup mulut untuk menahan tawa. Itu benar! Masuk akal. Beby cuma segede guling, suaminya segede gaban, pasti ada adegan pingsan pula nantinya. Anak itu pasti langsung darah rendah seketika.
"Kuat-kuatin deh, Beb! Bapak-bapak nafsu makannya gede biasanya!" Zizah berkomentar tapi lirih.
"Dih, kek lu pernah aja digarap bapak-bapak!" bantah Moa sengit.
Zizah mencebik kesal. "sensi amat buk, kaya pantat bayi! Bedakan nih bedakan biar gak ruam! Orang cuma bercanda juga!"
Mereka lagi-lagi tertawa karena perdebatan dua gadis jomlo itu. Suasana seketika riuh dan menyenangkan, tetapi tidak sampai terdengar keluar, soalnya ruangan ini kedap suara.
Tidak ada yang tahu, bahwa Beby di atas dibuat kaget oleh kehadiran Mila dan Cakra yang bisa ia lihat dari ruang santai dekat kamarnya.
Cakra tampak bahagia, pun dengan Mila yang benar-benar sedang mendalami aktingnya sebagai Nyonya Danu yang kini sedang sakit dan tak berdaya. Kursi roda yang tampak baru itu bukti kalau dia benar-benar sakit.
"Iya, biasanya saya yang dampingi, tapi karena sakit, jadi Pak Danu sowan sendiri."
"Pas tirakatan, saya juga nggak bisa hadir, bener—itu udah baikan, tapi sama Pak Danu nggak dikasih izin hadir."
"Clara ada, mungkin di atas. Iya, kan saya juga harus banyak istirahat, jadi terpaksa acaranya dipindah ke sini, nanti juga ke rumah Senopati."
Rumah Senopati adalah rumah Mila yang berada di jalan Senopati V, hal ini membuat Beby menghela napas. Apa dia akan ikut kesana lalu adegan istri muda dan tua saling sindir? Kalau iya, itu seru sekali. Sayang saat ini Beby hanya bisa bersembunyi, membiarkan Mila menang karena dia yang paling dianggap istri sah sekarang.
"Apa ini trik dia buat nyolok mataku, ya? Tapi kok aku nggak kepanasan? Kok aku nggak insecure?" gumam Beby seraya mencebik, meraba-raba perasaannya sendiri yang terasa datar-datar saja.
"Disini rupanya?" Danu mendekat, berdiri sejajar dengan Beby, ikut melihat kemana Beby mendaratkan pandangannya.
Beby menoleh. "Mau ke kamar dulu."
Karena Danu sudah tahu, jadi dia tidak merespon, tetapi justru menjelaskan keadaan.
"Dia datang bareng Mas Hasan," ujar Danu datar. "Saya biarkan dia mendapatkan perhatian semua orang, tapi tidak dari saya. Sama sekali saya tidak menyapanya, pun membantunya masuk."
Beby berpikir sedikit. "Pasti Bapak tadi sibuk ngirim-ngirim uang ke aku, kan? Sampe penuh rekeningku!"
Danu tertawa, "kebetulan tadi Mila disebelahku, jadi karena saya khawatir kamu tidak paham keadaan disini kalau saya kirim WA yang romantis, akhirnya saya pilih kirim uang saja ke kamu."
"Ya ampun, Pak—"
"Cuma itu yang bisa bikin Mila kesal, soalnya aku tahu dia kesini mau minta uang." Danu menjeda ucapannya. "Bahkan saya minta Isa buat mutasi tabungan pribadi saya jadi atas nama kamu."
Beby menoleh saat Danu juga menoleh ke arahnya. "Itu saya katakan tepat di depan muka dia, pas dia mendekati saya."
"Bapak mau saya bantu tidak?" Beby berinisiatif. "Ya, ini buat kepentingan diri saya sendiri juga sih benarnya."
"Apa?" Danu masih belum ngeh dengan maksud Beby ketika gadis itu mendadak berjinjit untuk menciumnya.
Mata Danu membola. Napasnya berhenti untuk beberapa detik dan refleks mencari pegangan karena takut ambruk. Sialnya, pegangan itu ya hanya Beby saja yang paling dekat.
Danu mungkin mencengkeram lengan Beby sehingga Beby segera melepas ciuman di sudut bibir yang hangat dan lembut itu. Beby tersenyum kemudian saat menatap Danu.
"Semoga Bu Mila tidak kena stroke lagi, Pak ... soalnya beliau melihat ke arah sini—hmmph!"
Beby tersudut di tembok oleh ciuman Danu yang menuntut hingga Beby hanya bisa menerima semua itu dengan perasaan campur aduk. Ia takut kalau terbawa arus terlalu dalam. Meski ia yakin, Danu bukan orang yang akan dengan mudah mempermainkan perasaannya. Tapi, Beby hanya waspada.
Hanya saja, sisi dewasa Beby menyukai semua itu. Sisi yang Beby sendiri bingung menjelaskan. Pokoknya dia suka dengan sesuatu yang seperti ini. Yang mendebarkan, panas, dan menggelora seolah dia baru pertama kali melakukannya.