Kecelakaan yang merenggut istrinya menjadikan Arkana Hendrawan Kusuma tenggelam dalam perasaan kehilangan. Cinta yang besar membuat Arkan tak bisa menghilangkan Charissa Anindya—istrinya—dari hidupnya. Sebagian jiwanya terkubur bersama Charissa, dan sisanya ia jalani untuk putranya, Kean—pria kecil yang Charissa tinggalkan untuk menemaninya.
Dalam larut kenangan yang tak berkesudahan tentang Charissa selama bertahun-tahun, Arkan malah dipertemukan oleh takdir dengan seorang wanita bernama Anin, wanita yang memiliki paras menyerupai Charissa.
Rasa penasaran membawa Arkan menyelidiki Anin. Sebuah kenyataan mengejutkan terkuak. Anin dan Charissa adalah orang yang sama. Arkan bertekad membawa kembali Charissa ke dalam kehidupannya dan Kean. Namun, apakah Arkan mampu saat Charissa sedang dalam keadaan kehilangan semua memori tentang keluarga mereka?
Akankah Arkan berhasil membawa Anin masuk ke kehidupannya untuk kedua kalinya? Semua akan terjawab di novel Bring You Back.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aquilaliza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Hari sudah mulai gelap ketika Anin terbangun dari tidurnya. Tadi, sekembalinya dari makan siang bersama Arkan, Anin langsung tertidur. Sekarang, ia merasa tubuhnya jauh lebih baik dari sebelumnya.
Sedikit meregangkan tubuhnya, Anin kemudian meraih handphone miliknya. Sepuluh panggilan tak terjawab dari Arkan membuatnya begitu terkejut.
"Kenapa sebanyak ini? Apa ada masalah mendesak?"
Anin jadi panik sendiri ketika menerka-nerka kenapa Arkan menelponnya sebanyak itu. Segera ia mencoba menghubungi Arkan lagi. Tapi, hingga empat panggilan, tak satupun dijawab oleh Arkan.
"Kenapa tidak dijawab? Jangan-jangan, terjadi sesuatu pada Pak Arkan."
Lekas Anin turun dari ranjangnya dan berlari kecil keluar kamar. Langkahnya langsung tertuju pada kamar Arkan. Perempuan itu segera mengetuk dengan sedikit keras.
"Pak! Pak Arkan!" Anin mencoba untuk memanggil. Namun tak ada jawaban ataupun tanda-tanda pintu akan dibuka dari dalam. Anin mencoba lagi, tapi hasilnya tetap sama.
Perempuan itu tak menyerah. Dia mencoba mengetuk dan memanggil Arkan bersamaan. Dan caranya itu berhasil. Pintu terbuka, namun menampilkan Arkan hanya menggunakan handuk yang melilit pinggang, sementara bagian atas tubuhnya yang kokoh dan kekar dibiarkan terekspos.
"Astaga!" Anin dengan cepat menutup matanya. Pemandangan ini terlalu tak sopan. Membuatnya tiba-tiba berpikir terlalu jauh.
"Anin?"
"Maaf, Pak. Sebaiknya anda kenakan pakaian dulu," ujar Anin masih menutup matanya.
"Baiklah," jawab Arkan. Namun, dengan gerakan tiba-tiba Arkan menarik tangan Anin hingga perempuan itu ikut masuk ke dalam kamar. Arkan lalu dengan santainya mengunci pintu.
"Pak—"
"Bantu siapkan baju saya."
"Tapi Pak, saya menemui anda bukan untuk menyiapkan baju untuk anda. Saya kesini—"
"Saya tidak peduli." Arkan kembali menarik tangan Anin. "Saya ajak kau jalan-jalan sekaligus makan malam. Pilihkan baju untuk saya."
Anin menarik nafas panjang. Kenapa dia malah terjebak pada sikap Arkan yang sering berubah-ubah seperti ini? Sudahlah, dia tidak bisa melawan lelaki itu.
Tanpa mengatakan apapun, Anin meraih beberapa baju dari koper Arkan, melihat-lihat lalu menjatuhkan pilihannya pada kemeja polos berwarna hitam, berikut dengan celana berwarna senada.
"Pakai yang ini saja." Anin menyerahkan dua potong kain itu pada Arkan. Segera ia meraihnya dan berlalu ke kamar mandi untuk mengenakan pakaiannya.
"Pak, kalau begitu saya pamit kembali ke kamar saya!" Anin setengah berteriak. Tanpa menunggu jawaban dari Arkan, Anin berlalu meninggalkan kamar Arkan.
"Hah, syukurlah ... Akhirnya aku terbebas juga dari Pak Arkan. Tapi, apa aku terlalu lancang, ya? Sudahlah, aku juga berbuat begitu untuk melindungi diriku. Ya, walaupun sebenarnya aku tidak merasa terancam sekalipun."
"Lebih baik aku mandi saja. Setelah itu pesan layanan kamar."
Anin melangkah santai menuju kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan berpakaian, Anin segera memesan makan malamnya melalui layanan kamar. Hari ini ia ingin benar-benar mengistirahatkan tubuhnya, mempersiapkan dirinya untuk perjalanan besok.
Tak berselang lama, pintu kamarnya diketuk. Segera Anin membukanya, namun bukan hanya seorang perempuan yang mengantar makanan pesanannya, tapi Arkan juga berdiri santai, bersandar pada dinding sambil melipat kedua tangan di dada.
Anin menerima makannya sambil sesekali melirik Arkan yang masih pada tempatnya. Sungguh dia merasa tak enak pada lelaki itu. Entah sejak kapan dia berdiri disana?
"Ini yang ketiga kalinya saya mengantar makanan di lantai ini. Dan dia masih berdiri di tempat yang sama sejak tadi. Saya tidak bermaksud untuk ikut campur. Tapi, jika kalian memiliki masalah, bicarakan baik-baik. Jangan menghukum suami anda seperti ini, Nyonya. Disini banyak wanita penggoda. Suami setampan dia, sangat disayangkan jika jatuh ke tangan wanita penggoda."
"Maaf, dia—"
"Kami tidak memiliki masalah. Terima kasih sudah peduli pada kami," potong Arkan cepat. Biarkan saja wanita itu mengira dia dan Anin suami istri. Memang kenyataan nya seperti itu.
"Sama-sama. Kalau begitu saya permisi. Selamat menikmati," ucapnya usai menerima bayaran dari Anin.
Setelah kepergian wanita itu, Anin masih tetap berdiri di ambang pintu kamarnya. "Pak, maaf. Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak tahu anda berdiri disini sudah cukup lama. Saya sedang di kamar mandi tadi."
Arkan menegakkan tubuhnya. Perlahan ia mendekat pada Anin, lalu tanpa permisi memasuki kamar perempuan itu.
"Saya lapar. Kebetulan kau memesan makanan, jadi saya makan disini." Arkan dengan santainya mendudukkan tubuhnya di tepi ranjang. Matanya tak lepas menatap Anin yang tersenyum paksa.
"Saya hanya memesan satu porsi. Jika anda sudah lapar, makanlah terlebih dahulu. Saya akan memesan lagi."
"Tidak perlu. Kau saja. Saya akan memesan sendiri."
"Pasti akan menunggu. Lebih baik anda makan saja yang ini. Saya belum begitu lapar."
"Bagaimana kalau kita makan berdua?"
Anin melotot marah. Tapi setelah beberapa detik kembali melunak. Dia rasa sudah tak waras melototi atasannya.
"Tidak perlu. Biarkan saya pesan lagi saja."
Arkan mendesah pelan. "Sebenarnya saya ingin mengajak kau jalan-jalan. Kau baru pertama kali datang, kan? Suasana disini saat malam hari sangat bagus."
Anin yang hendak memesan layanan kamar lagi pun menghentikan gerakan tangannya. Ditatapnya Arkan yang duduk santai di tepi ranjangnya.
"Anda yakin mengajak saya?"
"Kenapa tidak? Ayo selesaikan makan malam, setelah itu kita pergi. Akan saya tunjukkan tempat yang bagus."
Anin tersenyum lalu mengangguk pelan. "Terima kasih. Sekarang anda makan lah. Makanan saya sebentar lagi pasti diantar."
"Tidak. Makan sama-sama saja."
***
Benar kata Arkan, suasana malam di kota ini begitu mengagumkan. Namun, sepanjang langkah mereka menyusuri jalanan, Anin merasa bahwa dirinya pernah memiliki kenangan bersama kota itu. Setiap jalan yang ia lewati terasa sangat familiar.
"Ada apa?" Arkan menatap lembut Anin yang mendadak berhenti melangkah.
"Anin?"
"Sa-Saya .... Saya merasa tempat ini tidak asing. Saya merasa telah memiliki banyak kenangan di kota ini. Perasaan yang sangat kuat. Tapi, tidak ada satu pun kenangan yang saya ingat. Ada apa ini? Saya ... Kenapa bisa merasakan semua ini? Apa—akh ...."
"Anin?" Sigap Arkan menangkap perempuan itu yang hampir limbung karena merasakan denyutan kuat di kepalanya. "Jangan dipikirkan."
"Tidak. Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Aku merasakan banyak hal pernah terjadi padaku. Tapi, aku tidak mengingatnya sama sekali." Anin menekan kepalanya, mencoba menahan rasa sakit yang berdenyut.
"Jangan paksakan untuk mengingat. Kau cobalah untuk lebih tenang." Arkan memeluk Anin sambil mengusap-usap pelan kepala perempuan itu.
"Lebih baik kita kembali ke hotel saja." Arkan membungkukkan tubuh lalu menggendong Anin dan membawanya menuju mobil. Mereka harus segera kembali agar Anin bisa beristirahat.
Saat tiba di hotel, Arkan tanpa mempedulikan penolakan Anin pun langsung menggendong perempuan itu memasuki lobi hotel. Aksi Arkan membuat dua karyawan resepsionis tersenyum iri.
"Pak, anda seharusnya tidak melakukan ini. Saya sakit kepala, bukan tidak bisa berjalan. Lagi pula kepala saya sudah tidak sakit lagi."
"Diamlah." Arkan berucap rendah, namun tersirat kelembutan.
Anin tak berbicara lagi. Hingga keduanya tiba di kamar Anin, barulah Arkan menurunkannya ke atas kasur. Lelaki itu dengan lembut melepaskan heels Anin, lalu menyelimuti perempuan itu.
"Istirahatlah." Arkan mengusap pelan kepala Anin. Wajahnya sedikit menunduk, hendak mengecup kening Anin. Namun, kewarasan dengan cepat menguasainya kembali. Arkan menggeleng pelan lalu menjauhkan tubuhnya.
Lelaki itu berbalik dan duduk di sofa, mengamati Anin dari jarak yang cukup jauh.
Anin cukup bingung saat Arkan malah duduk di sofa kamarnya, bukannya kembali ke kamarnya sendiri.
"A-anda tidak kembali ke kamar anda, Pak?"
"Kenapa? Kau takut saya macam-macam?" Anin terdiam. "Tidur lah. Saya tidak akan macam-macam. Saya temani kau sampai tertidur. Setelah itu saya kembali ke kamar saya."