Khanza hanya berniat mengambil cuti untuk menghadiri pernikahan sepupunya di desa. Namun, bosnya, Reza, tiba-tiba bersikeras ikut karena penasaran dengan suasana pernikahan desa. Awalnya Khanza menganggapnya hal biasa, sampai situasi berubah drastis—keluarganya justru memaksa dirinya menikah dengan Reza. Padahal Khanza sudah memiliki kekasih. Khanza meminta Yanuar untuk datang menikahinya, tetapi Yanuar tidak bisa datang.
Terjebak dalam keadaan yang tak pernah ia bayangkan, Khanza harus menerima kenyataan bahwa bos yang sering membuatnya kesal kini resmi menjadi suaminya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Khanza menarik napas dalam-dalam, seolah mengumpulkan keberanian yang tersisa dalam tubuhnya yang masih lemah.
“Dev…” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Boleh aku pinjam ponselmu?” tanya Khanza.
“Untuk apa?” ucap Devan sambil mengernyitkan keningnya.
“Aku mau hubungi Mas Reza. Aku janji, ini yang terakhir.” jawab Khanza sambung menatap wajah suaminya.
Devan menahan nafanya dengan ekspresi tidak suka.
Beberapa detik kemudian Devan berdiri, mengambil ponselnya dari saku.
Ia menatap layar sesaat, lalu menyerahkannya ke Khanza.
“5 menit,” ucapnya pelan.
“Setelah itu tidak akan ada lagi nama Reza di antara kita.”
Khanza menganggukkan kepalanya dan dengan tangan gemetar, ia mengetik nomor yang sejak dulu ia hafal.
Sementara itu di Rumah Sakit Swiss, ruang Perawatan Reza
Reza masih terbaring lemah, wajahnya pucat, selang oksigen masih terpasang.
Ponselnya yang berada di meja samping tiba-tiba bergetar. Nomor Tidak Dikenal.
Dengan napasnya yang berat, ia mengangkat ponselnya.
“Halo, siapa ini?”
Suara di seberang pelan, hampir berbisik.
“M-mas…”
Reza langsung tekejut ketika mendengar suara Khanza.
“Khanza?”
Air matanya langsung jatuh bahkan sebelum ia sempat menjawab.
“Mas, aku minta maaf.”
"JANGAN MINTA MAAF! DI MANA KAMU!? AKU AKAN..."
“Mas…” potong Khanza dengan suara yang bergetar, namun tenang.
“Aku sudah menikah dengan Devan.”
Reza tidak percaya dengan apa yang baru ia dengar.
“Za, jangan bercanda. Kamu dimana? Aku akan datang—”
"Lupakan aku, Mas.”
“Mas bisa cari wanita lain yang lebih baik dari aku.”
“TIDAK!” suara Reza pecah.
“Aku cuma mau kamu! Aku akan tetap cari kamu meskipun seluruh dunia ngelarang!”
Khanza menutup matanya dan air matanya jatuh satu demi satu.
Devan berdiri tak jauh, menatap dengan ekspresi gelap namun tidak mencegah
“Za,.aku mohon. Jangan tutup teleponnya." pinta Reza sambil menangis sesenggukan.
Khanza menahan isak, lalu tersenyum tipis meskipun air mata terus jatuh.
“Mas, terima kasih sudah datang ke hidupku.”
“Khanza!!! JANGAN TUTUP—”
Panggilan berakhir dan ponsel jatuh dari tangan Khanza.
Ia menangis dalam diam, sementara Reza di seberang sana menjerit histeris.
Ponsel masih tergeletak di atas selimut. Air mata belum berhenti mengalir di pipi Khanza.
Tubuhnya gemetar, seperti baru saja kehilangan sesuatu yang tak mungkin kembali.
Dalam diam, Devan melangkah mendekat.
Tanpa berkata apa-apa, ia langsung menarik tubuh Khanza ke dalam pelukannya.
Pelukan itu erat. Sangat erat. Seolah ia takut jika sedikit saja longgar, perempuan itu akan lepas dan menghilang selamanya.
Khanza meronta kecil di awal, namun tubuhnya terlalu lemah. Hanya isakannya yang terdengar, makin pecah di dada Devan.
“Za…” suara Devan berat, nyaris pecah.
“Aku memang egois.”
Tangannya mengusap punggung istrinya pelan, namun suaranya penuh tekanan, seperti sumpah yang diukirkan ke tulang.
“Tapi aku janji, aku akan meratukan kamu.
Tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu. Termasuk aku.”
Khanza menggigit bibir, bahunya bergetar hebat.
"Tapi kamu ambil aku dari Mas Reza…” isaknya lirih.
Devan mengecup puncak kepala istrinya perlahan.
“Kalau aku tidak ambil kamu. Kamu sudah mati, Za.”
Perkataan Devan membuat Khanza terdiam sejenak.
Devan mempererat pelukannya, suaranya berbisik namun dalam.
“Aku lebih baik jadi pria jahat yang menculikmu, daripada jadi pria baik yang membiarkanmu pergi tanpa nyawa.”
Isak Khanza pecah lagi, kali ini lebih keras. Tapi pelan-pelan tangannya mulai membalas pelukan Devan.
Devan terdiam sejenak, lalu menarik wajah Khanza agar menatapnya.
Mata mereka bertemu. Khanza masih berlinang air mata. Devan pun matanya merah.
“Mulai sekarang kamu boleh benci aku. Tapi kamu tidak boleh mati. Itu satu-satunya syaratku.”
Khanza menatapnya lama dan air matanya jatuh lagi, tapi kali ini disertai suara lirih.
"Aku capek…”
Devan menarik napas berat, lalu mengusap pipinya.
“Kalau kamu capek, bersandar lah di aku.”
Lalu tanpa izin lagi Devan mengangkat tubuh Khanza pelan dan mendekapnya seperti benda paling berharga.
“Mulai hari ini, kamu tidak akan sendirian lagi.”
Disisi lain terdengar suara beep monitor jantung Reza berdetak pelan, tapi suasana ruangan dipenuhi ketegangan.
Reza duduk di tepi ranjang, wajahnya pucat, kemeja rumah sakit basah oleh keringat dingin.
Tangan kirinya menggenggam erat selang infus dan ia cabut paksa dari lengannya.
Darah Reza langsung menetes di pergelangan tangannya.
“REZA! GILA KAMU?!”
Yanuar menerjang ke arahnya dan menahan tubuh adiknya yang masih goyah. Reza meronta, matanya merah berair.
“JANGAN TAHAN AKU, YAN!”
suaranya pecah, parau, seperti tercekik.
Yanuar mengguncang pundaknya.
“KAMU MAU MATI?!”
Reza menepis tangan Yanuar, napasnya memburu.
“BIARIN!!!”
Air matanya jatuh deras dari matanya.
“KHANZA MENELPON AKU DAN DIA BILANG KALAU AKU HARUS MELUPAKAN DIA…”
Yanuar terdiam saat mendengar perkataan dari Reza.
Reza menunduk, bahunya bergetar, suaranya hancur.
“Dia suruh aku cari perempuan lain…”
Reza mengangkat wajahnya, air matanya deras namun tatapannya liar.
"Aku nggak mau perempuan lain, Yan! Aku cuma mau dia. Aku janji jaga dia! AKU JANJI!!!”
Yanuar langsung menarik Reza ke dalam pelukan kuat.
Reza meronta sebentar, tapi akhirnya luluh dan menangis keras di bahu kakaknya.
"Yan, aku gagal…”
Yanuar memeluk lebih erat, suaranya rendah namun tegas.
“Kamu nggak gagal. Dia cuma lagi disandera. Dan kita akan rebut dia balik.”
Reza terdiam. Isakannya pelan-pelan mereda.
Yanuar menatap lurus ke depan, seperti membuat sumpah kepada dunia.
“Dengar, Za. Mulai sekarang, kamu nggak akan berjuang sendiri. Kalau Devan pikir dia bisa sembunyikan Khanza." senyum tipis muncul di rahangnya yang mengeras
"Kita bakal bikin seluruh dunia bantu kita cari.”
Reza mengepalkan tangan, meski tubuhnya gemetar.
"Aku tetap akan jemput dia.”
Reza duduk di kursi roda, wajahnya masih pucat namun matanya penuh tekad.
Ia menggenggam ponselnya erat, menekan nomor seseorang.
"Halo, ini aku. Aktifkan semua jaringan. Pelabuhan pribadi, bandara kecil, heli pad, kapal pesiar. Cari nama Devan Atala dan siapa pun yang bersamanya.”
“Tuan, anda yakin ingin menggerakkan tim sebesar itu hanya untuk....”
“Hanya untuk calon istriku,” potong Reza tajam.
“Aku nggak peduli seberapa besar uangnya atau seberapa kuat dia sembunyi. Kalau perlu, kita lacak satelit. Aku mau keberadaan Khanza ditemukan, berapa pun harganya.”
Ia menutup telepon dengan tangan gemetar — bukan karena lemah, tapi karena amarah.
Yanuar berdiri di samping, menatap adiknya dengan bangga sekaligus ngeri.
“Reza, kamu siap perang, ?” tanyanya pelan.
Reza menatap lurus ke depan. Mata yang tadinya penuh air mata kini berubah dingin seperti baja.
“Aku cuma mau istriku pulang,” jawabnya pelan. “Kalau harus jadi monster untuk itu, aku siap.”
Kembali ke Pulau Pribadi — Laut Aegea
Ruangan villa kembali sunyi dan Khanza terbaring di ranjang, selang infus masih menempel di tangannya.
Lantai dikelilingi suara debur ombak.
Tiba-tiba — BRUK!
Suara tubuh jatuh terdengar dari arah ruang tamu.
Khanza terkejut ketika mendengar suara jatuh. Ia mencoba bangun, meski tubuhnya masih lemah. Ia menyeret langkah kecilnya keluar kamar.
Dan di sana Devan terduduk di lantai, tubuhnya bersandar ke dinding.
Wajahnya pucat, bibirnya kering, napasnya pendek-pendek.
“Tuan Devan! Anda belum makan dan minum sejak semalam! Tekanan darah Anda terlalu rendah!”
“Aku, tidak apa-apa. Bawa dokter untuk Khanza, bukan aku…”
Khanza menatap pria yang ia benci, tapi sekarang tengah gemetar lemah karena menjaga dirinya.
Perawat akhirnya memasang selang infus di lengan Devan, membaringkannya di sofa.
Devan menutup mata, wajahnya lelah tapi begitu sadar Khanza berdiri di sana, ia langsung membuka matanya dan berusaha bangkit.
“Za, kamu bangun? Kamu butuh sesuatu?”
Suaranya serak. Bahkan nafasnya goyah.
Devan masih mencoba tersenyum meski tubuhnya gemetar.
“Maaf aku nggak bisa jaga kamu…” ucap Devan pelan.
Khanza menggenggam selimut di dadanya, bibirnya bergetar.
“Kenapa dia bisa menyiksa dirinya, cuma demi aku?” gumam Khanza.
Dokter selesai memeriksa keduanya. Wajahnya tegas namun kelelahan jelas terlihat.
“Saya tidak mengizinkan kalian saling menjaga tapi diri sendiri hancur,” tegur dokter dalam bahasa Inggris.
“Pasien leukemia dan pria stres dehidrasi tidak boleh tinggal terpisah. Mulai hari ini kalian berdua istirahat di ruangan yang sama. Saya tidak mau ada yang pingsan lagi.”
Tanpa menunggu protes, dokter memberi instruksi pada perawat.
Dua ranjang khusus langsung digeser berdampingan dan jaraknya hanya sekitar satu meter.
Devan masih terbaring dengan infus di lengan, sementara Khanza dibantu kembali ke ranjang sebelah.
Beep… beep… beep…
Suara monitor jantung masing-masing berbunyi dengan ritme berbeda.
Devan menoleh pelan ke samping. Khanza juga. Pandangan mereka bertemu lalu cepat-cepat saling menghindar seperti anak kecil ketahuan curi-curi lihat.
Beberapa menit berlalu tanpa suara hingga akhirnya Devan bersuara pelan.
“Za…” panggil Devan.
Khanza menoleh saat mendengar panggilan dari Devan.
"Kalau kamu ikut sakit, siapa yang aku paksa makan nanti?”
“Kalau kamu pingsan lagi, siapa yang mau aku bentak-bentak?”
Devan yang mendengarnya langsung tertawa kecil.
"Za, aku janji tidak akan pingsan lagi. Za, boleh aku tanya satu hal?”
Khanza tidak menjawab, tapi ia tidak menghindar. Itu saja sudah dianggap izin.
Devan menarik napas panjang.
"Apa kamu sudah mencintai aku?”
Khanza menatap langit-langit. Pura-pura tidak dengar.
“Hmmm…”
"Itu artinya apa?” tanya Devan lirih.
Khanza menoleh pelan. Ekspresinya datar, tapi ada kilatan kecil nakal di matanya.
“Artinya…” ia menggulirkan selimutnya, lalu menutupi wajahnya sampai hanya matanya yang terlihat.
“…aku belum tuli. Tapi pura-pura nggak denger dulu aja.”
“Berarti masih ada harapan?” tanya Devan
Khanza tak menjawab. Tapi kali ini, ia tidak menepis.
Perlahan, ia menggulingkan tubuhnya ke arah Devan meski tetap menjaga jarak.
Wajahnya masih dingin. Tapi suaranya, lebih lembut dari sebelumnya.
“Tidur lah, Van. Nanti kamu pingsan lagi. Aku males ngajak berantem orang yang gak kuat berdiri.”
Devan menatapnya lama. Sorot matanya hangat dan kali ini tidak mengandung paksaan.
“Baik, istriku.”
Ia memejamkan mata. Senyum kecil masih tertinggal di wajahnya.
Khanza menoleh ke depan, pura-pura tidak peduli.
Tapi tangannya pelan-pelan bergerak. Hingga ujung jarinya menyentuh ujung jari Devan hanya sebatas itu.
Tapi cukup untuk membuat dua monitor jantung berbunyi sedikit lebih cepat.