NovelToon NovelToon
TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

TRANSMIGRASI KE ERA KOLONIAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Time Travel / Dokter Genius / Romansa / Fantasi Wanita / Transmigrasi / Era Kolonial
Popularitas:6.2k
Nilai: 5
Nama Author: Archiemorarty

Aruna Prameswari tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah dalam sekejap. Seorang dokter muda abad ke-21 yang penuh idealisme, ia mendadak terhempas ke abad ke-19, masa kelam kolonial Belanda di tanah Jawa. Saat rakyat tercekik oleh sistem tanam paksa, kelaparan, dan penyakit menular, kehadiran Aruna dengan pengetahuan medis modern membuatnya dipandang sebagai penyelamat sekaligus ancaman.

Di mata rakyat kecil, ia adalah cahaya harapan; seorang penyembuh ajaib yang mampu melawan derita. Namun bagi pihak kolonial, Aruna hanyalah alat berharga yang harus dikendalikan.

Pertemuannya dengan Gubernur Jenderal Van der Capellen membuka lembaran baru dalam hidupnya. Sosok pria itu bukan hanya sekedar penguasa, tetapi juga lawan, sekutu, sekaligus seseorang yang perlahan menguji hati Aruna. Dalam dunia asing yang menyesakkan, Aruna harus mencari arti keberadaannya: apakah ia hanya tamu yang tersesat di masa lalu, atau justru takdir membawanya ke sini untuk mengubah sejarah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Archiemorarty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 34. MALU

Malam kian larut. Langit Batavia yang tadi bertabur bintang perlahan tertutup oleh awan tipis, membuat cahaya bulan redup namun tetap menenangkan. Di dalam kamar, Aruna duduk gelisah, menatap kain sutra yang kini terlipat rapi di atas ranjang. Bayangan kata-kata Van der tak kunjung sirna dari benaknya.

Ia menggenggam erat botol minyak wangi kecil itu, seakan benda tersebut adalah jawaban dari kebimbangannya. Namun semakin lama ia menatapnya, semakin bergetar pula hatinya.

Haruskah aku benar-benar mendatangi kamarnya malam ini?

Pertanyaan itu terus menghantui.

Aruna mengingat kembali tatapan Van der ketika mengucapkannya. Tatapan itu bukan sekadar main-main. Ada kesungguhan di dalamnya, ada semacam ketegasan yang membuat Aruna merasa tidak bisa begitu saja mengabaikannya. Namun, ini pertama kalinya permintaan semacam itu keluar dari bibir lelaki itu. Pertama kali ia diminta begitu terang-terangan untuk menyerahkan dirinya.

Ia berdiri, berjalan mondar-mandir, jemarinya meremas kain gaun yang ia kenakan. Nafasnya terengah, bukan karena lelah, melainkan gugup yang menusuk hingga ke tulang.

Tiba-tiba, ia teringat kembali kejadian siang tadi, saat dirinya harus berdiri di ruang sidang, menghadapi cemooh dan tatapan penuh prasangka. Betapa tegar Van der berdiri membelanya, menyatakan di depan semua orang bahwa Aruna adalah bagian dari dirinya. Betapa ia tak pernah goyah meski semua orang mencoba meruntuhkan keyakinannya.

Ketukan pelan kembali terdengar di pintu. Kali ini suara seorang babu terdengar lembut, penuh rasa ingin tahu.

"Ndoro Aruna, apakah kau sudah bersiap? Tuan sudah berada di dalam ruangannya sejak tadi," beritahu salah satu babu.

Aruna menahan napas. Jantungnya berdegup semakin kencang, seolah didorong oleh kenyataan bahwa waktu semakin mendesak. Ia menatap bayangannya di cermin, wajah yang masih memerah, mata yang bergetar antara takut dan rindu, bibir yang tak tahu harus tersenyum atau menolak.

"Aku ... aku akan segera menyusul," jawabnya dengan suara nyaris berbisik.

Babu itu tidak menambahkan apa pun, hanya terdengar langkahnya menjauh dengan pelan.

Aruna menatap cermin itu lebih lama. Ia teringat bagaimana Van der selalu memandangnya, penuh penghargaan, seakan ia adalah sesuatu yang amat berharga. Namun perasaan takut masih mengekangnya. Apakah aku benar-benar siap?

Tangannya bergerak perlahan, meraih kain sutra itu. Ia menekannya ke dada, merasakan kelembutannya. Lalu, dengan ragu, ia membuka lipatan kain itu, melihat betapa indah dan sederhana potongannya. Tidak berlebihan, namun cukup untuk membuat siapa pun yang memakainya terlihat anggun.

Aruna menarik napas panjang, lalu menghembuskannya perlahan. "Baiklah. Aku tidak bisa terus bersembunyi. Jika Tuan sudah menungguku, aku harus aku harus berani."

Ia menyiapkan dirinya dengan tangan gemetar. Setiap gerakan terasa lambat, seakan waktu sengaja memperpanjang penderitaan gugup yang melingkupinya. Setelah selesai, ia berdiri di depan pintu, memejamkan mata sebentar untuk menguatkan hati.

Sementara itu, di ruangannya, Van der duduk santai di kursi besar dekat meja kerja. Lampu minyak menyinari wajahnya, memantulkan ketenangan yang begitu kontras dengan gejolak di dada Aruna.

Van der tidak membaca buku atau menulis seperti biasanya. Malam ini, ia hanya duduk dengan tenang, menunggu. Jemarinya mengetuk pelan permukaan meja, iramanya teratur. Sesekali, ia mengangkat gelas anggur, menyesapnya perlahan, sembari menatap pintu kamarnya.

Senyum samar menghiasi bibirnya. Bukan senyum mengejek, melainkan senyum seorang lelaki yang tahu pasti bahwa seseorang yang ia nantikan akan datang, meski dengan langkah ragu.

"Aruna," bisiknya, suaranya tenggelam dalam keheningan ruangan. "Apakah kau akan datang dengan wajah gugup itu? Atau dengan mata yang berani menatapku?"

Van der menghela napas pelan. Hatinya pun berdebar, meski ia tidak menunjukkan sedikit pun keraguan di wajahnya. Malam ini bukan sekadar tentang membalas fitnah yang dilontarkan orang pada Aruna, bukan pula sekadar keinginannya untuk menegaskan kedudukan perempuan itu di sisinya. Malam ini adalah tentang keberanian mereka berdua, keberanian untuk mengikat diri dalam sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata.

Van der bangkit dari kursinya, berjalan mendekati jendela besar yang terbuka. Angin malam menyentuh wajahnya, membawa aroma laut dan bunga-bunga dari taman. Ia menatap langit yang mulai gelap pekat, lalu kembali menoleh pada pintu.

Ia tahu, dalam beberapa saat, pintu itu akan berderit terbuka, dan sosok yang ia rindukan akan berdiri di ambangnya, dengan wajah yang setengah malu, setengah berani.

Dan ia sudah siap menyambutnya.

Di sisi lain, langkah-langkah Aruna terdengar pelan di lorong panjang rumah besar itu. Malam sudah semakin dalam, hanya cahaya lampu minyak yang temaram menemani jalannya. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seakan lantai kayu itu berusaha menahannya untuk tetap tinggal di kamarnya.

Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya. Napasnya pendek-pendek, dadanya naik turun cepat, dan wajahnya masih menyala merah. Pakaian tidur sutra lembut yang ia kenakan membuat kulitnya terasa lebih peka; setiap tiupan angin dari jendela terbuka seakan menambah debaran di hatinya.

Di balik sudut lorong, beberapa babu muda masih terjaga. Mereka menutupi mulut dengan tangan, menahan tawa kecil dan bisik-bisik penuh arti saat melihat Aruna lewat.

"Dia benar-benar menuju kamar Tuan," bisik salah satunya, matanya berbinar.

"Wajahnya merah sekali. Aduh, betapa manisnya," timpal yang lain.

"Seperti pengantin baru," sambung yang ketiga, lalu mereka bertiga menutup mulut dengan serbet agar tawa mereka tidak terdengar.

Aruna menunduk semakin dalam, berharap tanah bisa terbuka dan menelannya. Ia tidak sanggup menanggung tatapan penuh rasa ingin tahu itu. Namun, anehnya, ada juga kehangatan yang muncul di dadanya. Mereka semua mendukungnya, mendoakan kebahagiaannya, dan itulah sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Akhirnya, sampailah ia di depan pintu kamar Van der. Pintu besar itu tampak lebih kokoh dari biasanya, seakan menjadi gerbang menuju dunia baru yang tak pernah ia masuki. Aruna berdiri di sana cukup lama, telapak tangannya dingin, keringat dingin membasahi tengkuknya.

Ia mengangkat tangannya, siap mengetuk, namun segera menurunkannya lagi.

Bagaimana kalau aku salah paham? Bagaimana kalau maksud Tuan bukan seperti yang kubayangkan?

Ia menutup mata sejenak, mengingat kembali tatapan Van der. Tatapan itu begitu jelas, penuh ketegasan, dan bukan sesuatu yang bisa ia abaikan begitu saja.

Dengan keberanian yang tersisa, ia akhirnya mengetuk pintu perlahan. Suara ketukan itu nyaris tenggelam dalam keheningan malam, tapi cukup untuk membuat jantung Aruna semakin melonjak.

"Masuklah," suara berat Van der terdengar dari dalam.

Aruna menelan ludah, lalu memutar gagang pintu dengan tangan gemetar. Pintu berderit pelan, membuka jalan ke dalam ruangan luas yang diterangi cahaya lampu minyak. Aroma anggur bercampur dengan harum kayu memenuhi udara.

Van der berdiri di dekat meja, tubuhnya tegap dalam pakaian rumah yang sederhana namun tetap memancarkan wibawa. Tatapannya langsung tertuju pada Aruna. Senyum samar tersungging di bibirnya, senyum yang membuat lutut Aruna hampir lemas.

"Aruna?" panggilnya lembut, namun suaranya mengandung daya tarik yang tak bisa ditolak.

Aruna melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Ia menunduk, tidak berani menatap langsung wajah lelaki itu. Tangannya meremas kain sutranya sendiri, seakan mencari pegangan.

"Kau datang," kata Van der, nada suaranya terdengar puas sekaligus penuh kehangatan. Ia berjalan mendekat dengan langkah tenang, seperti singa yang sudah pasti pada buruannya.

Aruna mengangguk pelan, bibirnya bergetar. "T-tuan memintaku," jawabnya pelan, hampir seperti gumaman.

Van der berhenti tepat di hadapannya. Ia menunduk sedikit, mencoba menangkap mata Aruna yang masih bersembunyi. Jemarinya terulur, menyentuh dagu Aruna dengan lembut, mengangkat wajah itu perlahan hingga mata mereka akhirnya bertemu.

"Dan kau menurut," bisiknya, senyumnya bertambah hangat. "Aku senang kau tidak lari dariku."

Aruna merasa seluruh tubuhnya gemetar. Pandangan Van der terlalu dalam, terlalu membakar. Ia ingin berpaling, tapi tatapan itu menahannya.

Van der menghela napas pelan, lalu berkata, "Kau tahu, bukan? Aku tidak main-main. Setelah apa yang terjadi siang tadi, aku tidak ingin ada seorang pun meragukan tempatmu di sisiku. Dan malam ini, aku ingin kau tahu bahwa aku pun tidak pernah meragukanmu. Kau milikku, Aruna."

Kata-kata itu menusuk jantung Aruna, namun bukan dengan rasa sakit, melainkan dengan rasa hangat yang sulit dijelaskan.

"Tuan," ucap Aruna gemetar, nyaris patah suara.

Van der menyentuh pipi gadis di depannya, ibu jari Van der menyapu lembut kulit yang memerah itu. "Jangan terlalu gugup. Aku tidak akan menyakitimu."

Aruna menutup mata, berusaha menenangkan diri. Tapi bibirnya mengulas senyum kecil yang tulus, senyum yang mengatakan bahwa ia percaya.

Dari luar pintu, samar terdengar tawa kecil para babu yang masih terjaga. Mereka saling berbisik dengan antusias, seolah sedang menonton bagian terindah dari sebuah kisah asmara yang mereka nantikan sejak lama.

Keheningan di dalam kamar itu terasa kental. Lampu minyak di sudut ruangan menebarkan cahaya keemasan yang berpendar lembut di dinding, menciptakan bayangan yang menari pelan. Aruna berdiri terpaku, wajahnya masih merah, tubuhnya bergetar halus seperti dedaunan yang disentuh angin malam.

Van der masih menatapnya dengan tatapan dalam yang nyaris membuat napasnya tertahan. Senyum tipis itu tidak pernah hilang dari bibir lelaki itu, senyum yang penuh kelembutan, namun juga mengandung sesuatu yang membuat dada Aruna semakin sesak.

"Aruna," suara Van der terdengar lagi, berat namun hangat. "Lihat aku."

Aruna perlahan membuka mata, menuruti permintaannya. Tatapan mereka bertemu, dan seketika seluruh dunia di luar kamar itu lenyap. Hanya ada mereka berdua, ia, yang masih penuh keraguan, dan lelaki itu, yang berdiri begitu teguh, menanti dengan kesabaran.

"Aku tahu kau masih bingung," lanjut Van der, suaranya rendah seperti bisikan rahasia. "Tapi satu hal yang harus kau mengerti: aku tidak pernah main-main denganmu. Hari ini, di depan semua orang, aku menunjukkan bahwa kau berarti bagiku. Dan malam ini, aku ingin kau sendiri yang merasakannya."

Aruna menggigit bibir bawahnya, matanya bergetar. "T-tapi aku ...," suaranya terputus, tenggelam dalam perasaan yang bercampur aduk.

Van der mendekat, jaraknya kini hanya sejengkal dari Aruna. Ia bisa merasakan aroma melati lembut yang dipakai gadis itu, aroma yang membuatnya semakin sulit menahan diri. Tangannya terangkat, menyentuh pipi Aruna lagi, lembut seperti menyentuh sesuatu yang rapuh.

Senyum Van der melebar sedikit, matanya berkilau dengan kebahagiaan yang tulus. Ia menunduk, bibirnya hampir menyentuh kening Aruna. "Malam ini aku hanya ingin berduaan denganmu. Memelukmu semalaman. Tenang saja, yang kau takutkan tidak akan terjadi. Walau aku harus berusaha mati-matian menahan diriku untuk tidak melakukan yang tidak kau inginkan, itu tidak masalah. Aku hanya ingin dekat denganmu."

Hening sejenak, hanya ada suara napas mereka berdua yang saling beradu. Lalu Van der menarik Aruna perlahan ke dalam dekapannya. Pelukan itu hangat, kokoh, dan membuat Aruna merasa seakan seluruh beban di pundaknya luruh begitu saja.

Aruna menenggelamkan wajah di dada Van der, mencium aroma khas lelaki itu, campuran wangi kayu, anggur, dan sesuatu yang tak bisa dijelaskan, sesuatu yang membuatnya merasa aman.

Van der menepuk lembut punggungnya, seakan menenangkan. "Kau sudah cukup menanggung banyak hal sejak menginjakkan kaki di Batavia, Aruna. Mulai malam ini, biarkan aku yang menjaga sisimu. Jangan menanggung semuanya sendirian lagi. "

Aruna mengeratkan pelukannya, jantungnya seperti akan meledak saat ini juga.

Pelan-pelan, Van der mengendurkan pelukannya, menatap wajah Aruna yang malu-malu. Ia mengusap lembut pipi gadis itu, lalu menunduk sedikit. Bibirnya menyentuh pelipis Aruna dalam sebuah ciuman singkat, penuh ketulusan.

Aruna terperanjat, wajahnya semakin merah. Namun ia tidak menolak. Tubuhnya justru semakin melembut dalam pelukan lelaki itu.

Dari luar, samar-samar masih terdengar bisikan para babu yang setia berjaga.

"Ah, mereka pasti sedang berpelukan sekarang."

"Aku yakin Tuan mencium Nyonya. Lihat, aku benar, kan?"

"Tssst, jangan ribut! Nanti ketahuan. Biarkan mereka menikmati waktu mereka. Lebih baik kita kembali ke kamar kita."

Aruna hampir pingsan mendengar bisikan itu, tapi Van der justru tertawa kecil di telinganya. Suaranya rendah, penuh godaan yang lembut.

"Mereka terlalu bersemangat. Tapi biarlah. Mereka hanya mencintaimu, Aruna, sama sepertiku," kata Van der lembut.

Aruna menatapnya dengan mata membelalak. Akhir kalimat tadi membuat darah Aruna berdesir. Ia ingin memastikan maksudnya, namun Van der hanya tersenyum, seolah memang sengaja membiarkan gadis itu tenggelam dalam kebingungan manis.

Van der lalu meraih tangan Aruna, menggenggamnya erat, lalu menuntunnya perlahan ke arah ranjang besar yang berdiri megah di sisi ruangan. Langkah Aruna terasa berat, namun genggaman hangat itu membuatnya berani.

"Duduklah," kata Van der lembut.

Aruna menuruti, duduk di tepi ranjang dengan wajah menunduk. Jantungnya berdebar kencang, namun anehnya, rasa takut yang tadi menghantuinya kini mulai sirna, berganti dengan kehangatan yang menenangkan.

Van der berdiri di depannya, menatapnya dengan mata teduh. Ia lalu berlutut di hadapan Aruna, sesuatu yang membuat gadis itu terkejut. Seorang gubernur berlutut di depan dirinya, pemandangan yang mustahil bagi banyak orang, namun nyata di matanya.

"Aruna," suaranya penuh kesungguhan. "Aku tidak meminta apa pun darimu malam ini selain satu hal: datanglah ke kamarku setiap malam dan tidurlah bersamaku."

Wajah Aruna kembali merah padam mendengar ucapan Van der. Aruna tahu kalau pria ini tidak ada niat buruk seperti menjadikan Aruna pemanas ranjangnya. Tapi seperti kebutuhan akan oksigen, yang mana ingin Aruna hanyut dalam pelukan Van der.

Aruna mengangguk menjawab permintaan Van der.

Van der tersenyum, lalu meraih kedua tangannya, mengecup punggung tangannya dengan lembut. "Terima kasih. Dan ada satu hal lagi yang ingin kuberikan."

"Apa itu?" tanya Aruna penasaran.

Senyum Van der membuat Aruna menelan ludah, gugup apa yang akan Van der berikan.

1
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
cie cie yang mau MP jadi senyum" sendiri 🤣🤭😄
Archiemorarty: Hahahaha.... astaga /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
menjadi melow deh dan jadi baper sama perkataan nya Van Der 😍😭❤❤
Archiemorarty: waktunya romance dulu kita...abis itu panik...abis itu melow...abis itu...ehh..apa lagi ya /Slight/
total 1 replies
Jelita S
gantung z si Concon itu
Archiemorarty: Astaga 🤣
total 1 replies
Jelita S
adakah ramuan pencabut nyawa yg Aruna buat biar tak kasihkan sama si Concon gila itu😂
Archiemorarty: Tinggal cekokin gerusan aer gerusan biji apel aja, sianida alami itu /Slight/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Van Der lucu banget
Archiemorarty: Hahaha /Facepalm/
total 3 replies
gaby
Tukang Fitnah niat mempermalukan tabib, harus di hukum yg mempermalukan jg. Dalam perang sekalipun, Dokter atau tenaga medis tdk boleh di serang.
Archiemorarty: Benar itu, aturan dari zaman dulu banget itu kalau tenaga medis nggak boleh diserang. emang dasar si buntelan itu aja yang dengki /Smug/
total 1 replies
Wulan Sari
semoga membela si Neng yah 🙂
Archiemorarty: Pastinya /Proud/
total 1 replies
gaby
Jeng jeng jeng, Kang Van der siap melawan badai demi membela Neng Aruna/Kiss//Kiss/
Archiemorarty: Sudah siap sedia /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya sang pujaan hati datang plisss selamat Aruna 😭😭😭😭
gaby
Aduuh Kang Van der kmanain?? Neng geulisnya di fitnah abis2an ko diem aja, kalo di tinggal kabur Aruna tau rasa kamu jomblo lg. Maria & suaminya mana neh, mreka kan berhutang nyawa sm Aruna, mana gratis lg alias ga dipungut bayaran. Sbg org belanda yg berpendidikan harus tau bakas budi. Jadilah saksi hidup kebaikan Aruna. Kalo ga ada Aruna km dah jadi Duda & kamu Maria pasti skrg dah jadi kunti kolonial/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...sabar sabar /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
plisss up yang banyak
Archiemorarty: Hahaha...jari othor keriting nanti /Facepalm/
total 1 replies
Jelita S
dasar si bandot tua,,,tak kempesin perutnya baru tau rasa kamu kompeni Belanda
Archiemorarty: Hahaha...kempesin aja, rusuh dia soalnya /Facepalm/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh bagaimana Aruna menangani fitnah tersebut
Archiemorarty: Hihihi...ditunggu besok ya /Chuckle/
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
seru bangettt, ternyata Van deer romantis juga yaa kan jadi baperrr 😍😍😭😭😭
Archiemorarty: Bapak Gubernur kita diem diem bucin atuh /Chuckle/
total 1 replies
gaby
" Jangan panggil aq lagi dgn sebutan Tuan, tp panggilah dgn sebutan Akang". Asseeek/Facepalm//Facepalm/
Archiemorarty: Asyekkk
total 1 replies
gaby
Akhirnya rasà penasaranku terbayarkan. Smoga Maria & suaminya menyebarluaskan kehebatan & kebaikan Aruna, agar Aruna makin di hormati. Kalo Aruna dah pny alat medis, dia bisa jd dokter terkaya di Batavia, ga ada saingannya kalo urusan bedah. Kalo dah kaya Aruna bisa membeli para budak utk dia latih atau pekerjakan dgn upah layak. Ga sia2 Van der membujang sampe puluhan tahun, ternyata nunggu jodohnya lahir/Grin//Grin/
Archiemorarty: Hahaha...membujang demi doi dateng ya/Proud/
total 1 replies
gaby
Babnya lompat atau gmn thor?? Kayanya kmrn babnya tentang Aruna yg menolong wanita belanda yg namanya Maria, apa kabarnya Maria?? Bagaimana reaksi publik ketika melihat Aruna menyelamatkan pasien sesak napas di tengah2 keramaian pasar. Dan bagaimana respon warga kolonial ketika mendengar kesaksian dr suami Maria yg jd saksi kehebatan Aruna. Ko seolah2 bab kmrn terpotong
Archiemorarty: owalah iya, salah update aku...astaga. maapkan othor... update lagi ngantuk ini. ku ubah ya
total 1 replies
gaby
Keren Van der, bisa ga nafsu berada di dekat Aruna yg cantik bening. Jd curiga jgn2 Van der biksu/Grin//Grin/
Archiemorarty: Astaga biksu gx tuh 🤣
total 1 replies
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
aduh deg degan banget baca nya
RJ §𝆺𝅥⃝©💜🐑
Akhirnya Aruna sembuh juga 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!