Kata sah terdengar lantang dari dalam ruangan minimalis itu. Pertanda ijab kabul telah selesai dilaksanakan seiring dengan air matanya yang terus menerus menetes membasahi pipinya.
Apa jadinya jika, karena kesalahpahaman membuat seorang wanita berusia 25 tahun harus menjadi seorang istri secara mendadak tanpa pernah direncanakan ataupun dibayangkan olehnya.
Kenyataan yang paling menyakitkan jika pernikahan itu hanyalah pernikahan kontrak yang akan dijalaninya selama enam bulan lamanya dan terpaksa menjadi istri kedua dari suami wanita lain.
Mampukah Alfathunisa Husna menerima takdir pernikahannya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32
Bilqis menarik ujung gamis Nisa yang baru saja hendak masuk ke mobil suaminya.
“Apa Tante Nisa nggak denger apa yang aku katakan!? Aku nggak mau Tante Nisa duduk di kursinya Mama Dianti!” teriak Bilqis, matanya berkaca-kaca.
“Astaghfirullah al-adzim, Bilqis berhenti. Kenapa harus melarang Tante Nisa duduk di depan? Nggak apa-apa kok Tante Nisa duduk di depan, kan Mama Dianti nggak ada,” bujuk Azhar, suaranya berusaha tenang walau jelas ia menahan kesal melihat tingkah egois anak sulungnya.
“Kakak Bilqis, Mama cantik itu baik banget sama kita jadi nggak apa-apa Mama cantik yang duduk di depan,” sahut Berliana polos.
Bilqis memegang bahu adiknya yang tertutup hijab, wajahnya memerah. “Dia itu bukan Mama cantik, dek! Dia cuma pembantu dan pengasuh yang kerja sama kita. Jadi berhenti bilang dia Mama cantik!”
Azhar dan Nisa sama-sama terdiam. Kalimat itu menusuk keduanya; Azhar menatap Nisa dengan perasaan bersalah, sementara Nisa menarik napas panjang, menahan gejolak di dadanya.
Azhar hendak berbicara, namun Nisa cepat menggeleng, tangannya lembut menahan lengan sang suami. “Nggak usah, Mas. Nggak apa-apa kok aku duduk di belakang. Lagian duduk di belakang atau di depan sama saja,” ucapnya pelan, bibirnya bergetar menahan sedih.
Nisa mengusap lengan suaminya yang berseragam kebesaran TNI Angkatan Laut itu. “Redakan emosinya, Mas. Jangan mudah terpancing. Bilqis itu masih anak-anak, wajar kalau emosinya labil. Insha Allah, dia akan berubah kalau kita terus menuntun dan mendidik dengan sabar,” bisiknya, meski hatinya sendiri bertanya-tanya mengapa Bilqis semakin sulit dikendalikan.
“Aku nggak tau bagaimana Dian dan Bu Retno mendidik kedua putriku. Aku nggak nyangka ada darah dagingku sendiri yang bisa bicara seperti anak jalanan begitu!” Azhar mengusap wajahnya gusar.
Nisa tersenyum lembut, matanya teduh, berusaha menenangkan suaminya. “Perbanyak sabar dan doa, Mas. Semoga Bilqis bisa jadi anak yang sholehah,” ucapnya, walau ada sedih yang ia telan bulat-bulat.
Mereka pun masuk ke mobil. Bilqis menatap tajam Nisa, tatapan yang menyiratkan permusuhan. Ia berbisik di telinga adiknya, “Kata nenek, Tante Nisa itu jahat dan mau rebut Papa dari Mama. Jadi kamu nggak boleh sayang sama Tante Nisa.”
Nisa hanya tersenyum simpul. Tangannya bergerak mengusap perutnya sambil membuka aplikasi Al-Qur’an digital. Bibirnya lirih membaca surah-surah pendek demi ketenangan hati dan kebaikan calon bayi kembarnya.
“Ya Allah, jadikanlah rupa yang berada di dalam perutku dengan rupa yang baik. Tetapkanlah dalam hatinya keimanan kepada-Mu dan Rasul-Mu…” doanya bergema dalam hati.
Azhar menatap lewat kaca spion. Rasa kasihan menghantamnya melihat istrinya tetap sabar. Ia merasa gagal menjadi ayah. “Ya Allah, panjangkanlah umur anak-anak dan istriku. Karuniakanlah akhlak yang baik dan lisan yang fasih. Karuniakanlah baginya suara indah untuk membaca Al-Qur’an…” lirihnya berdoa.
Beberapa menit kemudian, mobil memasuki garasi rumah.
Malamnya, Azhar menyiapkan barang bawaannya untuk keberangkatan ke Jakarta sebelum ke Lebanon. Ia membuka pintu kamar; terlihat Nisa sedang shalat Magrib. Azhar baru pulang dari masjid. Ia berdiri sejenak, menatap perempuan itu—perempuan yang telah mengubah hidupnya.
“Suara doanya begitu merdu. Terima kasih ya Allah Engkau mempertemukanku dengan istri sholehah ini,” cicitnya dalam hati.
Di tangannya sebuah kotak persegi panjang berisi perhiasan 24 karat emas putih. “Aku yakin dia akan menyukainya,” gumamnya tersenyum.
Nisa selesai shalat, berdoa khusyuk. Doanya kali ini dikhususkan untuk suaminya. Azhar tertegun. Air mata hangat jatuh ketika mendengar istrinya menyebut namanya dalam doa.
“Ya Allah, jadikanlah suamiku selalu memperhatikan dan mencintai keluarganya. Berkahilah cintaku dan cintanya kepada-Mu…” suara Nisa lirih.
Azhar mendekat pelan. Dalam hati ia mengulang, “Aku berkali-kali jatuh cinta padanya dengan orang yang sama. Mungkin aku salah pernah berselingkuh, tapi aku tak sanggup hidup tanpa mencintai Alfathunisa Husna.”
Nisa menoleh, menyadari suaminya sudah di sana. “Mas sudah lama?” tanyanya seraya merapikan alat sholat.
“Barusan. Aku nggak mau gangguin kamu jadi aku nunggu,” jawab Azhar lembut.
Nisa berjalan mendekat, hendak mengenakan hijab rumahan. “Nggak usah dipakai. Teman Mas sudah pergi kok. Suamimu ini ingin memandangi wajahmu yang semakin cantik habis wudhu,” godanya.
Nisa menyimpan hijabnya, duduk di hadapan suaminya. “Mas, apa semua barang yang aku masukin tadi sudah lengkap? Takutnya ada yang kelupaan.”
“Alhamdulillah lengkap. Kalau kamu yang atur, pasti rapi. Nggak ada yang kelupaan,” jawab Azhar.
Nisa tersenyum. “Anak-anak sudah balik dari rumah Mama Nurul?”
Azhar menahan jawaban. Ia lebih dulu menarik tubuh istrinya, mendekatkan wajah. Hidung mereka bersentuhan. Azhar membelai pipi Nisa yang mulai bersemu merah.
“Cinta sejati bukan berarti tak terpisahkan. Tak mengapa terpisah, asalkan tidak berubah,” bisiknya sambil mengusap bibir Nisa.
“Aku selalu berdoa agar kita dipertemukan kembali dalam keadaan sehat, Mas,” balas Nisa lirih.
Azhar mengangkat dagu istrinya, menatap mata teduh itu. “Jika aku bisa memilih, aku akan selalu memilihmu. Kamu adalah wanita yang aku cintai, aku kagumi, dan aku hormati.”
Nisa tersipu, menunduk, senyum kecil merekah. Gombalan suaminya yang kadang terdengar lebay justru jadi obat hatinya.
Azhar lalu menyerahkan kotak biru itu. “Ini hadiah untuk istriku tersayang. Maafkan suamimu yang dulu hanya sanggup memberi mahar sederhana.”
Nisa membuka kotak itu, terkejut. “Masya Allah… Mas, cantik banget. Perhiasan yang dulu Mas berikan juga indah. Kenapa masih memberi hadiah lagi? Aku sudah bahagia kok,” ucapnya, matanya berkaca-kaca.
Azhar memakaikan satu per satu perhiasan itu pada istrinya. “Jangan pernah lepaskan. Lihat, di jari Mas juga ada cincin yang sama dengan punyamu.”
Nisa mengangguk, senyum kecil terukir. Ia menatap suaminya dalam. “Mas… terima kasih. Aku bahagia punya suami yang selalu berusaha.”
Azhar menariknya ke pelukan. “Aku yang harus berterima kasih. Kamu sudah jadi rumah buatku,” bisiknya.
Azhar mendekat perlahan. Ia menatap wajah Nisa yang masih berkilau air wudhu, seperti menatap permata yang tak pernah ia miliki sebelumnya.
Tangan kasarnya yang biasa memegang senjata kini menyentuh lembut pipi istrinya.
“Kalau aku bisa berhenti waktu, aku ingin waktu berhenti di sini. Di detik aku memandang wajahmu,” bisiknya.
Nisa menunduk, jantungnya berdegup pelan. Ada rasa hangat merayap ke dadanya. Ia membalas genggaman tangan suaminya.
“Mas selalu bisa membuat aku merasa tenang… meski kita sebentar lagi harus berpisah,” ucapnya lirih.
Azhar mengusap rambut di pelipisnya yang tergerai, jemarinya menyapu lembut hingga ke ujung dagu. Ia menarik Nisa ke dalam pelukannya. Tidak ada kata-kata lain selain desir napas mereka yang saling bertemu.
“Cukup dengan begini aku merasa pulang,” gumamnya di telinga Nisa.
Nisa memejamkan mata. Air hangat mulai menggenang di sudutnya. Ia merasakan dada suaminya yang kokoh menjadi tempatnya bersandar.
“Aku selalu mendoakan Mas dalam setiap sujudku. Semoga Allah jaga Mas di mana pun,” katanya pelan.
Azhar mengangkat wajah Nisa hingga mereka saling bertatapan. Hanya beberapa sentimeter jaraknya. Senyum yang selalu ia rindukan itu ada di depan matanya.
“Jika esok aku berangkat jauh, aku akan membawa doa dan wajah ini dalam setiap sujudku,” ucap Azhar.
Nisa mengangguk, bibirnya gemetar. “Aku juga selalu membawa Mas dalam doa.”
Azhar mengecup keningnya lama, penuh rasa hormat. Bibirnya tidak mencari lebih; ia menempelkan keningnya pada kening Nisa. Mereka berdua diam dalam keheningan yang hangat, hanya doa dan cinta yang bergetar di udara.
“Insya Allah kita akan dipertemukan lagi dalam keadaan sehat. Aku cinta sama kamu,” bisik Azhar.
“Aku juga,” jawab Nisa, suaranya hampir tak terdengar, tapi cukup membuat Azhar tersenyum.
Mereka berpelukan lebih erat. Dalam diam, mereka saling mengirimkan doa, rasa syukur, dan kerinduan yang akan dibawa masing-masing selama berpisah nanti.
Suara bel rumah tiba-tiba terdengar nyaring, memutus keintiman mereka. Nisa tersenyum kecil, mengusap pipi suaminya.
“Mas, kita sambung nanti ya. Tamu mungkin datang,” katanya lembut.
Azhar menarik napas, menenangkan diri. Dalam hatinya ia berjanji akan pulang secepat mungkin, kembali ke rumah yang selalu membuatnya merasa utuh.
Mampir Baca novel baru aku kakak judulnya:
Air Mata Duka Dimalam Pertama
Pawang Dokter Impoten
Terjerat Pesona Ustadz Tampan
nanti bagaimana nasib anak2nya Pak Mayit.
semngat ya.....
aku agak binggung bacanya 🙏🙏🙏
Nisa lebih baik menikah dengan duda dari pada jadi plakor