NovelToon NovelToon
Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Terjerat Pesona Ustadz Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Anak Genius / Aliansi Pernikahan / Anak Kembar / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: fania Mikaila AzZahrah

Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.

Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.

"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.

Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab. 22

Flashback…

Setahun lalu di sebuah ruangan penuh kaca di Munich, angin musim dingin menyelinap di sela-sela tirai mahal yang menggantung. Zamara berdiri di hadapan pria tinggi berjanggut perak, mengenakan setelan jas abu-abu.

Dialah Emir Steinbach ayah kandungnya, CEO perusahaan energi terbesar di Eropa Tengah. Sikapnya dingin, sorot matanya tajam, dan suaranya serupa palu yang menghantam logam.

“Kamu makin keras kepala,” ujar Emir seraya melemparkan selembar dokumen di atas meja kaca.

“Papi cuma kasih dua pilihan, Zamara. Nikah sama Leonid Krauss, atau kamu keluar dari hidup Papi. Dan jangan harap sepeserpun dari perusahaan ini jadi milikmu,” lanjutnya nada suaranya makin meninggi.

Zamara menahan napas. Bahunya tegang, tapi matanya tetap lurus menatap pria yang dulu begitu ia idolakan. “Kenapa harus dia, Papi? Aku dokter. Aku punya rencana hidup. Aku gak mau dikekang sama pria yang bahkan dua kali usiaku,” sahutnya tajam.

“Leonid sahabat Papi! Dia bisa jagain kamu, bisa bawa perusahaan ini tetap di tangan keluarga,” sanggah Emir sambil menunjuk meja dengan telunjuk gemetar.

Zamara menepis pelan tangan ayahnya dari dokumen itu. “Jagain aku? Atau jagain warisan Papi biar gak jatuh ke tangan asing?” ucapnya sinis.

“Ini bukan tentang cinta, bukan juga masa depanku. Ini tentang ambisi Papi yang buta.”

Emir menghela napas, lalu berjalan mendekat. “Dengar ya, Zamara. Kamu anak perempuan. Di keluarga ini, laki-laki yang bawa nama besar. Bukan kamu. Kecuali kamu lahirin pewaris. Anak laki-laki. Dalam setahun. Kalau kamu bisa, kamu tetap jadi pemilik tunggal grup ini.”

“Dan kalau yang lahir perempuan?” tanya Zamara, suaranya pelan tapi penuh tekanan.

Emir menatapnya tajam, rahangnya mengeras. “Jangan bawa ke rumah ini. Jangan pernah. Perempuan gak punya tempat di warisan Steinbach,” katanya tanpa ragu.

“Jadi di mata Papi, aku gak lebih dari alat untuk lahirin anak laki-laki?” bentak Zamara.

“Bukan anak, bukan pewaris, tapi rahim hidup buat lanjutkan bisnis?”

“Jangan drama, Zamara,” balas Emir cepat. “Dunia ini keras. Kamu harus realistis.”

“Tapi Papi lupa,” ujar Zamara sambil berdiri dan mengambil tasnya, “aku setengah Kazakh, setengah Jerman, setengah Indonesia dan sepenuhnya manusia. Aku bukan pion bisnis.”

Zamara menarik napas panjang. Suaranya tenang, tapi sorot matanya dingin dan tak bisa digertak.

“Aku setuju, Papi,” ucapnya pelan tapi jelas.

“Aku akan buktikan aku bisa punya pewaris tanpa harus ikut permainan konyol Papi,” lanjutnya mantap.

Emir sempat terdiam. Alisnya mengernyit, mencoba mencerna maksud di balik ucapan itu.

“Tapi satu hal,” sambung Zamara sambil menatap langsung mata ayahnya, “selamanya aku nggak akan menikah dengan pria manapun.”

“Zamara, jangan main-main!” bentak Emir, nadanya naik setingkat.

“Anak seperti apa yang lahir dari perempuan tanpa suami? Apa kamu mau bikin aib?”

Zamara tersenyum miris. “Aib di mata siapa? Di mata orang-orang yang menjunjung kehormatan palsu, tapi menjual anak perempuan demi saham?”

“Ini bukan soal kehormatan palsu!” seru Emir. “Ini soal nama besar keluarga, masa depan perusahaan, reputasi internasional!”

“Persis,” potong Zamara cepat. “Itu semua yang Papi jaga. Tapi tidak pernah menjaga perasaanku, kehendakku, bahkan kehidupanku.”

Emir terdiam. Genggaman tangannya mengepal di sisi tubuh.

“Aku akan jalani hidupku dengan cara yang kupilih sendiri. Dan aku akan buktikan, perempuan juga bisa melahirkan pewaris tanpa harus tunduk pada sistem patriarki Papi,” katanya tegas.

“Kamu gila,” ucap Emir akhirnya, lirih tapi penuh amarah.

Zamara melangkah pelan menuju pintu, lalu menoleh sekali lagi.

“Gila, mungkin. Tapi lebih waras daripada dipaksa kawin demi angka di laporan keuangan.”

Bbbbbnnnnnbb

Langit sore mulai meredup di balik jendela kaca besar rumah keluarga Steinbach. Aroma teh hitam yang diletakkan di meja kecil di sudut ruangan mulai menguap bersama panasnya.

Emir masih berdiri tegak, tapi matanya mulai goyah. Sementara Zamara berdiri di ambang pintu, mengenakan mantel panjang dan syal abu-abu, siap pergi.

“Aku akan ke Indonesia,” ujar Zamara tenang. “Ke tempat Mami lahir dan dimakamkan.”

Emir menyipitkan mata, rahangnya menegang. “Sendirian?”

Zamara mengangguk pelan. “Ya. Di sana aku akan menikah. Bukan dengan Leonid, bukan juga dengan siapa pun yang Papi anggap pantas. Tapi dengan pria yang aku pilih sendiri. Seseorang yang tahu bagaimana memperlakukan perempuan sebagai manusia, bukan properti.”

“Tega kamu, Ma. Setelah semua ini?” balas Emir tajam, nadanya meninggi. “Kamu hancurkan semua fondasi yang udah Papi bangun bertahun-tahun!”

Zamara menatapnya lekat. “Fondasi yang Papi bangun? Untuk siapa? Untuk saham? Untuk klien? Atau untuk ego Papi sendiri?”

Emir memalingkan wajah. Tangannya mengepal lagi, kali ini sampai urat-urat di pergelangan tangannya menonjol.

“Aku nggak akan hidup seperti boneka cantik yang dikendalikan dari balik layar,” imbuh Zamara lantang. “Dan aku juga nggak butuh restu dari sistem yang menindas lalu menyebutnya warisan.”

“Lalu setelah menikah? Kamu tinggal di sana?” tanya Emir, suaranya mulai lirih, antara takut dan marah.

Zamara menggeleng. “Setelah anakku lahir, aku akan kembali ke Jerman. Bukan untuk tinggal di bawah atap ini, tapi untuk meneruskan pekerjaanku di rumah sakit. Sebagai dokter bedah. Sebagai ibu. Dan sebagai perempuan merdeka.”

Emir membuang napas panjang, berat. Ia mendekat satu langkah, tapi berhenti di tengah.

“Kamu pikir ini semua bisa kamu hadapi sendiri?” katanya lirih. “Dunia nggak akan semudah itu, Ma. Terutama untuk perempuan yang melawan tradisi.”

Zamara tersenyum tipis. Bukan senyum kemenangan, tapi keteguhan yang lahir dari luka.

“Justru karena aku tahu itu, aku nggak akan mundur,” ucapnya tenang. “Aku udah hidup bertahun-tahun di dunia yang menuntutku sempurna. Harus berprestasi, harus sopan, harus tunduk, harus cantik. Tapi selalu salah kalau aku punya kemauan sendiri.”

Ia menoleh ke arah ayahnya untuk terakhir kalinya.

“Kalau Papi merasa kehilangan... ingatlah, Papi nggak pernah benar-benar punya aku. Yang Papi punya cuma bayanganku, bukan diriku yang sesungguhnya,” katanya pelan, lalu membuka pintu dengan tenang.

Zamara baru saja menarik gagang pintu ketika suara Emir kembali terdengar pelan, tapi cukup jelas untuk membuat langkahnya terhenti.

“Rumah ini tetap terbuka asalkan kamu melahirkan cucu laki-laki untuk Papi, Zamara.”

Perempuan itu menoleh perlahan, menatap ayahnya yang kini berdiri dengan bahu yang masih tegak, tapi nada suaranya menyiratkan tuntutan lama yang dibungkus dengan syarat baru.

Tatapan Zamara menajam, seperti mengiris lapisan tipis kesabaran yang tersisa.

“Jadi, nilai keberadaanku masih bergantung pada jenis kelamin anakku?” tanyanya dingin. “Bukan pada cinta. Bukan pada tanggung jawab. Tapi pada testis bayi yang bahkan belum lahir?”

Emir menghela napas, mencoba tetap tenang. “Zamara, kamu tahu garis keturunan kita. Pewaris harus laki-laki. Itu sudah jadi aturan keluarga sejak dulu.”

Zamara menggeleng, pelan tapi tegas. “Papi terlalu takut kehilangan kekuasaan sampai lupa kalau darah yang mengalir di tubuhku juga darah Steinbach. Tapi aku bukan rahim sewaan, Papi. Bukan pabrik produksi anak laki-laki,” ucapnya getir.

Suasana mendadak hening. Tak ada suara lain di dalam rumah itu, hanya detik jam di dinding yang terus bergerak seperti menyindir keterlambatan peradaban di tengah kemewahan.

“Aku akan melahirkan anak di tempat yang tidak menilai manusia dari jenis kelaminnya,” sambung Zamara. “Dan anakku, laki-laki atau perempuan, akan tumbuh tanpa tekanan untuk menjadi pewaris apa pun. Cukup menjadi manusia.”

Emir mulai melangkah maju, kali ini tanpa ragu.

“Ma... kamu ini keras kepala seperti ibumu,” ujarnya pelan. “Tapi Mami-mu dulu juga nggak pernah menentang keluarga sekeras ini. Dia tahu batasnya.”

Zamara menatapnya dalam-dalam. “Mami menyesal karena terlalu diam, Papi. Dan aku tidak akan mengulang kesalahan yang sama.”

Ia membalikkan badan, meraih gagang pintu sekali lagi. Namun sebelum keluar, ia menoleh terakhir kali.

“Kalau suatu hari Papi kangen sama aku, jangan cari aku di rumah besar ini. Cari aku di tempat yang lebih kecil, lebih sederhana tapi ada cinta dan harga diri di dalamnya,” ucapnya lirih.

“Kalau kamu ninggalin rumah ini sekarang,” seru Emir keras, “anggap aja kamu udah bukan anak Papi!”

Zamara menoleh. “Terima kasih atas kejelasannya. Dan selamat tinggal, Tuan Steinbach.”

Dan dalam langkahnya yang menjauh, tak ada getar ragu. Yang tinggal hanya Emir Steinbach, berdiri kaku di ruang keluarganya yang dingin dan sepi, menatap punggung anak perempuan yang tak pernah ia benar-benar kenal.

Dan dengan satu helaan napas, ia melangkah keluar meninggalkan ayah kandungnya, sistem yang selama ini membelenggunya dan nama besar yang tak pernah bisa mengayomi jiwanya.

Pintu kaca tertutup keras di belakangnya, dan sejak saat itu, hidup Zamara tak lagi sama.

Ruangan itu mendadak sunyi. Hanya terdengar detak arloji mahal di dinding belakang Emir Steinbach yang berdiri kaku di dekat jendela.

1
Abel Incess
nangis bombay pagi" Thor 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: nggak tanggung tissu yah kakak 🤣🤭🙏🏻
total 1 replies
Abel Incess
Asli ini sangat menyakitkan 😭😭😭
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: sabar kak ini ujian 🤣☺️🤗🙏🏻
total 1 replies
Enz99
jangan lama-lama sedihnya Thor.... balikin zamara nya y
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: hehehe 🤭
total 1 replies
Mami Pihri An Nur
Wooowww,, perempuan egois, menantang bpknya sndri masalh keturunan, tp dia sndri yg utamakn keturunan laki2 buat penerus trs ditingglkn ank ceweknya,, aku kecewa thour di tengh crtanya ko gini, dikira Setelah punya ank akn bhgia
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: masih panjang kak ceritanya 🤭😂
total 1 replies
Isma Isma
apa zamara punya penyakit bikin penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: tungguin selanjutnya
total 1 replies
Abel Incess
apa sih tujuannya Zamara, makin penasaran
Enz99
Alhamdulillah akhirnya zamara pulang buat menyelamatkan ustadz yasir,lanjutkan Thor tpi jangan bikin ustadz yasir amnesia ya
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: Alhamdulillah makasih banyak
total 1 replies
darsih
zamara penuh teka teki JD penasaran
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak sudah mampir baca
total 1 replies
darsih
JD penasaran SM zamara penuh teka- teki
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: baca lanjutannya kakak biar kejwab
total 1 replies
Eva Karmita
ada misi apa kamu Zamara...dalam satu Minggu harus bisa menaklukkan ustadz Yassir...??
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: rahasia 😂🤣
total 1 replies
Eva Karmita
mampir otor 🙏😊
GeGe Fani@🦩⃝ᶠ͢ᵌ™: makasih banyak kakak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!