Setelah ditolak oleh gadis pujaan kampus, Rizky Pratama tiba-tiba membangkitkan sebuah sistem ajaib: setiap kali ia mendapat satu pengikut di siaran langsung, ia langsung memperoleh sepuluh juta rupiah.
Awalnya, semua orang mengira Rizky hanya bercanda.
Namun seiring waktu, ia melesat di dunia live streaming—dan tanpa ada yang menyadari, ia sudah menjelma menjadi miliarder muda Indonesia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon apa aja 39, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Minta Maaf Segera
Bagas terhuyung, wajahnya babak belur akibat pukulan Rizky. Nafasnya tersengal, tubuhnya gemetar. Begitu melihat Pak Nurdin datang dengan langkah cepat, mata Bagas berbinar penuh harapan, seolah melihat seorang penyelamat.
“Direktur Nurdin, tolong saya! Anak ini gila, dia menyerang saya tanpa alasan!” teriak Bagas sambil menunjuk Rizky dengan jari yang bergetar.
Pak Nurdin memandang pemandangan di hadapannya dengan wajah muram. Melihat Bagas dan dua temannya yang babak belur, sementara Rizky berdiri dengan dada terangkat, membuatnya segera bersuara lantang.
“Rizky! Apa yang kamu lakukan?!”
Namun bukannya takut, Rizky justru mendongakkan kepala, menggerakkan lehernya hingga terdengar bunyi krek, lalu berteriak dengan suara lantang penuh keberanian:
“Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau!”
Suara Rizky yang bergema membuat beberapa siswa di sekitar merinding. Bahkan Pak Nurdin tertegun sejenak. Sejak kapan anak ini berani begitu blak-blakan?
Pak Nurdin merasa cemas. Ia takut Rizky benar-benar kehilangan kendali dan akan kembali membongkar rahasia kelamnya di depan orang banyak. Tanpa sempat berpikir panjang, ia segera berteriak keras kepada Bagas:
“Bagas, minta maaf sekarang juga!”
“Hah?” Bagas melongo, tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Apakah Pak Nurdin sudah buta? Jelas-jelas dia yang dipukuli, kenapa malah dirinya yang disuruh meminta maaf?
Bahkan para siswa yang menonton dari jauh juga terkejut. Mereka saling berbisik, wajah mereka penuh tanda tanya.
“Eh, aneh banget. Biasanya kalau ada ribut, Pak Nurdin itu keras. Harusnya dua-duanya dihukum.”
“Iya, biasanya dia nggak pernah pilih kasih. Tapi sekarang? Kok Bagas yang disuruh minta maaf?”
Sementara itu, Rizky hanya berdiri tegak dengan senyum tipis di wajahnya.
Pak Nurdin melangkah cepat, memisahkan Rizky dari Bagas dan adik-adiknya yang masih terhuyung. Ia menatap Bagas dengan mata tajam, lalu berkata dengan nada menghina:
“Kamu dan dua adikmu jelas-jelas yang mulai cari masalah. Kalau bukan kalian yang minta maaf, siapa lagi?”
Salah satu adik Bagas buru-buru bersuara, menutup hidungnya yang masih berdarah. “Direktur, meskipun kami bertiga, kami sama sekali belum sempat menyentuh Rizky!”
Begitu kalimat itu keluar, seisi kerumunan langsung meledak tertawa.
“Hahaha… tiga lawan satu dan masih kalah telak? Malu banget.”
“Bener. Udah babak belur malah ngeles.”
Bahkan wajah Bagas berubah merah padam karena malu.
Pak Nurdin menatap mereka dengan dingin. “Tiga orang melawan satu saja tidak bisa menang, dan sekarang masih berani beralasan? Dasar tidak tahu diri!”
Ia menghardik lebih keras. “Cepat minta maaf pada Rizky! Kalau tidak, kalian bertiga tidak usah datang ke sekolah besok!”
Bagas dan adik-adiknya saling pandang, wajah mereka pucat. Mereka tahu, melawan Pak Nurdin berarti tamat. Tidak ada pilihan lain selain menelan rasa malu.
Dengan gigi terkatup rapat, Bagas mengepalkan tangan dan menunduk. Suaranya bergetar menahan amarah.
“Rizky… maafkan aku.”
Rizky menggerakkan bahunya, lalu berkata dengan nada santai, seolah dirinya raja yang sedang memberi pengampunan.
“Karena Direktur Nurdin sudah turun tangan, hari ini aku tidak akan mempermasalahkanmu. Sekarang pergilah.”
Bagas hampir meledak karena kesal. Tapi ia tahu dirinya tidak punya daya lagi. Dengan wajah merah padam, ia segera menyeret kedua adiknya. Mereka bertiga keluar dengan langkah terhuyung, menundukkan kepala di tengah tatapan penuh ejekan para siswa.
“Wuuuih, jadi kayak pecundang beneran tuh Bagas.”
“Pantesan belagu doang tiap hari, ternyata cuma omong kosong.”
Bagas menggertakkan gigi, tapi tak bisa membalas.
---
Setelah suasana agak tenang, Pak Nurdin menoleh ke Rizky dengan tatapan penuh arti. “Rizky, kenapa kamu masih berkeliaran di sini? Bukannya sudah waktunya pulang sekolah?”
Rizky memutar matanya santai. “Tadinya aku mau pulang, tapi ada saja orang yang menghadang jalanku.”
Pak Nurdin menghela napas, lalu berkata dengan nada yang tidak bisa dibantah. “Kalau begitu, biar aku antar kamu pulang.”
Rizky segera mengibaskan tangannya. “Tidak perlu, Pak. Aku bisa pulang sendiri.”
Namun Pak Nurdin tidak memberi ruang untuk menolak. “Jangan membantah. Masuk saja ke mobil.”
Dengan sedikit malas, Rizky akhirnya menurut. Siswa-siswa yang menonton tadi semakin terkejut ketika melihat Rizky masuk ke dalam BMW Seri 7 milik Pak Nurdin.
“Gila… Rizky diantar pulang sama Direktur?”
“Wah, jangan-jangan mereka ada hubungan keluarga?”
“Pantesan Bagas disuruh minta maaf tadi. Direktur jelas-jelas membela Rizky.”
Rizky duduk di kursi penumpang depan. Ia memandangi interior mobil mewah itu, lalu berkata sambil tersenyum sinis.
“Mobil Bapak lumayan keren juga. Harganya berapa?”
Pak Nurdin tersenyum tipis, “Tidak banyak. Sekitar satu koma satu miliar.”
Rizky langsung menyahut cepat, “Wah, berarti Bapak cukup korup juga ya.”
Mata Pak Nurdin berkedut hebat. Ia buru-buru menjelaskan dengan batuk kecil. “Eh-hem… ini bukan dari gaji. Orang tua saya yang membelikan lewat bisnis keluarga.”
Rizky hanya terkekeh kecil, tak memberi komentar lebih lanjut. Namun setelah beberapa saat, Pak Nurdin akhirnya membuka pembicaraan yang sesungguhnya.
“Rizky, dengarkan baik-baik. Aku tidak peduli apakah kamu mau belajar serius atau hanya bermain-main di sekolah. Itu pilihanmu. Tapi ada satu hal yang harus aku katakan… jangan terlalu dekat dengan Sinta.”
Rizky menoleh, alisnya terangkat. “Kenapa?”
Pak Nurdin mengetuk-ngetuk kemudi, lalu berkata dengan nada serius. “Keluarga Sinta berbeda jauh denganmu. Lihat saja mobilku, harganya sudah lebih dari satu miliar. Tapi mobil keluarganya sepuluh kali lipat lebih mahal. Dunia kalian berbeda. Kamu tidak akan pernah bisa mengejarnya.”
Rizky mengangkat bahu santai. “Benarkah? Kalau begitu bagaimana kalau aku dan Sinta masuk universitas yang sama nanti? Bukankah itu akan jadi persimpangan lain?”
Pak Nurdin terdiam sejenak. Entah Rizky benar-benar polos atau sedang pura-pura bodoh. Ia akhirnya menghela napas panjang. “Kamu tidak mengerti. Jalan hidup Sinta sudah ditentukan keluarganya. Bukan untuk orang sepertimu.”
Rizky hanya tersenyum tipis. “Kalau begitu, urusanmu dengan Bu Zahra juga tidak akan ada hasilnya, kan?”
Mendengar itu, wajah Pak Nurdin langsung memerah. Ia hampir saja kehilangan kendali di balik kemudi. “Bocah…!”
Rizky tertawa kecil. “Tenang saja, Pak. Aku nggak akan cerita ke siapa-siapa. Kita nggak punya dendam, kan? Jadi anggap saja selesai.”
Pak Nurdin menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk pelan.
Tak lama kemudian, mobil BMW itu berhenti di depan stasiun kereta bawah tanah dekat rumah Rizky. Ia turun dengan santai, lalu berjalan pulang.
Begitu membuka pintu rumah, ia terkejut melihat ada dua pasang sepatu asing di depan pintu.
“Anakku sudah pulang,” sapa ibunya, Bu Yuliani. “Paman kedua dan bibi keduamu datang berkunjung.”
Alis Rizky langsung berkerut. Ia memang tidak pernah punya kesan baik pada keluarga paman keduanya. Sejak dulu, mereka sering memanfaatkan ayahnya, Pak Hendra, bahkan meminjam uang ratusan juta tanpa pernah benar-benar membayar kembali.
Kini, meski hidup serba mewah, tinggal di apartemen besar dan mengendarai mobil mewah, mereka masih suka berpura-pura tidak punya uang.
Rizky mengganti sepatu dan masuk ke ruang tamu. Di sana, ia melihat Pak Budi, pamannya, duduk santai dengan perut buncit sambil merokok. Di sampingnya, Bu Ratna mengenakan perhiasan emas berkilauan, kalung tebal di leher, rambut dikeriting gaya salon mahal.
Rizky menundukkan kepala dengan sopan. “Halo, Paman. Halo, Bibi.”
“Oh, keponakan kesayangan sudah pulang,” sambut Pak Budi sambil tersenyum palsu.
Pak Hendra segera melambai. “Sini, Rizky. Duduk.”
Bu Ratna menyambut dengan suara manis, namun penuh kepura-puraan. “Rizky, kamu pasti capek sekolah terus ya. Gimana hasil tes penempatan terakhir kemarin? Nilaimu berapa?”
Rizky hanya memutar matanya pelan. Ia tahu, percakapan ‘manis’ ini pasti ujung-ujungnya akan mengarah ke hal yang sama: uang.
---